Sabtu, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Januari 2014 07:19 wib
16.242 views
Ayah-Bunda; Sebab Sang Anak Berada pada Suatu Agama
Oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”
Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Qadar (no. 2658).
Terlalu sering dan akrab pada pendengaran manusia, teguran dan sapaan yang mengajak (memperingatkan) kepada setiap diri, untuk menjadi seorang yang pandai mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertakwa, bertawakal dan beribadah hanya kepada-Nya. Namun hal ini kadang dianggap sebagai perkara yang membosankan. Menjadi perkara yang berlalu tanpa arti, masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri. Semua orang paham, bahwa setiap diri pasti mempunyai hati, dan bukan ia yang memegang kendali, sehingga bisa bertindak semaunya sendiri. Namun ketahuilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang menguasai hati manusia, yang membolak-balikkannya, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi. Karena bisa jadi, peringatan yang terulang berkali-kali akan menjadi manfaat dan faedah yang berarti, bagi orang yang ingin mengubah dan membersihkan diri dari dosa (perbuatan keji), juga bagi orang yang ingin mendapatkan pengajaran serta orang yang beriman dengan keimanan yang hakiki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
عَبَسَ وَتَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat kepadanya?” (‘Abasa: 1-4)
Demikian pula pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Juga sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” (Al-A’la: 9)
Pada asalnya, hati memiliki kecenderungan dan kecondongan untuk mencintai apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala benci. Jika diingatkan akan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, keagungan dan kebesaran, serta ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, hati akan teringat kepada-Nya. Jika ditakut-takuti akan berat dan sakitnya azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hati akan takut kepada-Nya. Inilah hati yang mendapatkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az-Zumar: 23)
Namun, apabila hati telah ternodai, berkarat seperti pada besi, diingatkan akan ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, kepada kenikmatan-kenikmatan dan siksaan-Nya, dia tidak akan ingat. Bahkan akan mengingkari, terus menerus berdiri dan berjalan di atas kebatilan –baik dalam keyakinan maupun ucapan–, di sekitar keburukan dan kerusakan ucapan dan perbuatan… Jika demikian, ini bukanlah hati seorang muslim, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
بَلْ عَجِبْتَ وَيَسْخَرُونَ. وَإِذَا ذُكِّرُوا لاَ يَذْكُرُونَ
“Bahkan kamu menjadi heran (terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghinakanmu. Dan apabila mereka diberi peringatan mereka tidak mengingatnya.” (Ash-Shaffat: 12-13)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 206)
Di antara sekian bentuk peringatan yang tersebut dalam Al-Qur`an maupun dalam hadits-hadits yang shahih adalah ajakan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, dan peringatan dari mengkufuri (mengingkari)-nya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
Demikian pula adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia secara umum untuk mengingat nikmat-Nya. Karena apapun bentuknya, segala yang telah diperoleh setiap manusia berupa kenikmatan baik yang lahir maupun yang batin, kesehatan, kelapangan waktu maupun rizki, banyak maupun sedikit, baik dirasakan dan disadari maupun tidak, semuanya datang dari-Nya. Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menganugerahkan rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Dia; maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)
Dari sekian nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi anak yang baik lagi beragama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah Allah l agungkan hak kedua orangtua atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua orangtuanya). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
Adakah harapan dan dambaan serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman, jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: ياَ رَبِّ أَنَّى لِيْ هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia berkata: ‘Wahai Rabbku, dari mana ini?’ Maka Allah berfirman: ‘Dengan sebab istighfar (permintaan ampun) anakmu untukmu’.” (HR. Ahmad)
Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan lafadz:
أَوْ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ
“Dengan sebab doa anakmu untukmu” (Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)
Memang tidak semua anak yang lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di manakah dia berada?
Makna dan Faedah Hadits
Lafadz:
مَا مِنْ مَوُلُودٍ
Pada riwayat lain: كُلُّ مَوْلُودٍ, artinya setiap yang dilahirkan (bayi).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Yaitu dari bani Adam, seperti yang tersebut dalam riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah dari Al-A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Demikian pula Khalid Al-Wasithi meriwayatkan dengan lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq dari Abu Zinad dari Al-A’raj. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya At-Tamhid.
Sekilas, riwayat ini mengandung kejanggalan, karena berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada yang menjadi Yahudi atau yang lain seperti tersebut dalam hadits. Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan itu tetap menjadi seorang muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan). Jawabnya adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan bawaan diri sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena adanya sebab dari luar. Jika seorang bayi selamat dari sebab luar yang memengaruhinya, ia akan terus berada pada kebenaran (fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang benar dalam mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits, dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari jalan Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-’Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya Abdurrahman bin Ya’qub, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”
Lafadz:
يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Dilahirkan dalam kedaan fitrah.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Yang nampak bahwa sifat ini umum pada seluruh anak yang dilahirkan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat sebelumnya (dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359), dari jalan Yunus bin Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafadz:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23) dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Ibnu Abdil Bar menghikayatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi keumuman (meliputi setiap bayi). Namun maksud dari hadits ini adalah, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan ia memiliki kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada agama selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits ini ialah: Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, sedangkan kedua orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah menjadikan anaknya Yahudi. Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi dengan apa yang sesuai padanya.
Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Al-Fath, 3/303)
Makna Fitrah
Para ulama salaf berbeda pendapat dalam memaknai kata fitrah dengan pendapat yang cukup banyak. Pendapat yang paling masyhur dalam hal ini ialah bahwa maknanya Islam. Ibnu Abdil Bar berkata: “Pendapat inilah yang dikenal di kalangan ulama salaf.” Para ulama sepakat pula dalam menafsirkan makna fitrah pada ayat:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Yakni Islam.
Mereka berhujjah dengan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada akhir haditsnya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Bacalah oleh kalian jika kalian berkenan:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Juga dengan hadits ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’i dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi):
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ
“Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus bertauhid (Islam), kemudian setan mendatangi (menggoda)nya, lalu memalingkan mereka dari agamanya (supaya tersesat).” (HR. Muslim no. 2875)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu juga memastikan pendapat ini, seperti yang beliau sebutkan dalam Kitab Tafsir, surat Ar-Rum ayat 30, bahwa al-fitrah adalah Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ucapan ini bersumber dari Ikrimah dengan sanad yang sampai kepadanya, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu dalam tafsirnya.”
Ibnu Baththal rahimahullahu dalam syarahnya (5/417, Maktabah Syamilah) berkata setelah menyebutkan pendapat ulama yang memaknai fitrah adalah agama Islam: “Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ikrimah, Al-Hasan (Al-Bashri), Ibrahim (An-Nakha’i), Adh-Dhahhak, Qatadah, dan Az-Zuhri.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang meninggal (yakni seorang anak) dan kedua orangtuanya dalam keadaan kafir, maka ia dihukumi sebagai anak muslim.” Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas. Hal ini menunjukkan bahwa beliau menafsirkan al-fitrah dengan Islam. Dan inilah pendapat beliau yang terakhir dalam hal ini, sebagaimana yang dihikayatkan oleh Muhammad bin Nashr.
Ibnu Abdil Bar dan yang lain menyatakan adanya pendapat lain dalam masalah ini. Di antaranya adalah ucapan Abdullah ibnul Mubarak, bahwa maksud dari hadits ini adalah: Seorang anak yang lahir akan berada pada apa yang akan terjadi padanya, celaka atau bahagia. Barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi seorang muslim maka ia dilahirkan di atas keislaman. Dan barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi orang kafir, maka ia dilahirkan di atas kekafiran. Seolah-olah beliau menakwilkan makna fitrah dengan ilmu Allah.
Pendapat ini disanggah dengan alasan, bahwa kalau memang demikian maknanya, maka sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka kedua orangtuanyalah yang akan mengubah anak itu menjadi Yahudi…” menjadi tidak bermakna. Karena kedua orangtuanya berbuat sesuatu yang telah menjadi fitrah anaknya ketika lahir. Hal ini bertentangan dengan permisalan yang dibuat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits (yaitu anak lahir dalam keadaan selamat, seperti hewan lahir tanpa cacat. Kalau kemudian terjadi buntung (putus telinganya), siapa yang berbuat?)
Sebagian ulama menyatakan, maknanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kepada mereka pengenalan dan pengingkaran (terhadap Penciptanya). Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil persaksian dari keturunan (anak-anak Adam), semuanya berkata (menjawab): “Betul.”1 Ahlu sa’adah (orang-orang yang bahagia/ selamat) akan menjawabnya dalam keadaan suka (menerima). Adapun ahlu syaqawah (orang-orang yang celaka) menjawabnya dalam keadaan terpaksa. Muhammad bin Nashr berkata: Aku mendengar dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia condong kepada pendapat ini, dan beliau menguatkannya.
Pendapat ini disanggah dengan alasan bahwa perincian semacam ini (yaitu menjawab dengan suka atau terpaksa) membutuhkan penukilan (dalil) yang shahih. Tidak ada yang meriwayatkan seperti ini kecuali As-Sudi, itupun tanpa sanad. Ada kemungkinan pula diambil dari kisah Israiliyat. Demikian kata Ibnul Qayyim rahimahullahu, beliau dapatkan dari gurunya.
Ada pula yang berpendapat, yang dimaksud dengan fitrah ialah Al-Khilqah (ciptaan) yaitu dilahirkan dalam keadaan selamat, tidak tahu kekufuran dan keimanan. Kemudian ia akan meyakini apabila telah sampai masa taklif (dibebani syariat). Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar, dengan alasan sesuai dengan hadits (penyerupaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lahirnya hewan yang selamat, tidak buntung), dan hal ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Iyadh bin Himar. Karena maksud kata hanif dalam hadits tersebut adalah dalam keadaan istiqamah.
Pendapat ini terbantah, dengan alasan bila yang dimaksud demikian tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencukupkan perubahan (fitrah) kepada agama kufur saja tanpa menyebut agama Islam. Juga, ucapan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan menyebut ayat setelah menyebutkan hadits menjadi tidak berarti.
Termasuk yang menguatkan pendapat yang benar dalam hal ini adalah kalimat “…maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikan ia Yahudi.” Bukanlah berarti adanya fitrah menjadi syarat, namun untuk menjelaskan apa yang akan menghalangi sebab terjadinya. Seperti seorang anak lahir, kemudian ia menjadi seorang Yahudi. Hal ini terjadi karena adanya perkara dari luar fitrah yang memengaruhi. Berbeda bila ia tetap dalam keadaan muslim (maka ia akan tetap berada pada fitrahnya).
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Yang menyebabkan perselisihan para ulama dalam memaknai kata fitrah dalam hadits ini adalah bahwa kaum Qadariyah (para pengingkar takdir) menjadikan hadits ini sebagai hujjah (alasan), untuk menyatakan bahwa kekufuran dan kemaksiatan terjadi bukan karena ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi manusialah yang memulainya. Dari sinilah, beberapa ulama berupaya untuk menyelisihi pendapat mereka dalam menakwilkan fitrah kepada makna lain selain makna Islam.”
Kemudian beliau berkata: “Yang demikian itu tidak perlu. Karena ucapan-ucapan yang dinukil dari para ulama salaf menunjukkan bahwa tidak ada di antara mereka yang memahami lafadz fitrah selain makna Islam. Memaknakan fitrah dengan Islam tidaklah berkonsekuensi menyepakati pendapat mereka. Karena makna “maka kedua orangtuanyalah…dst” adalah bahwa hal itu terjadi juga dengan takdir (ketentuan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari sinilah Al-Imam Malik rahimahullahu menyanggah mereka dengan kalimat yang terdapat dalam riwayat lain yang di akhirnya berbunyi:
اللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Allah lebih mengetahui dengan apa yang akan mereka perbuat nanti.” (Al-Fath, 3/303-305)
Lafadz:
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari jalan Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَوْ يُشَرِّكَانِهِ
“Menjadikannya seorang musyrik.”
Riwayat ini juga terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya Ath-Thahawi. Dalam kitab yang sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan riwayat dari jalan Suhail, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَوْ يُكَفِّرَانِهِ
“Menjadikannya seorang kafir.”
Ath-Thibi berkata: “(Huruf) fa` pada kalimat ini bisa sebagai at-ta’qib (mengikuti) sababiyyah (sebab) atau jaza` syarth muqaddar (jawaban dari kata kerja/fi’l syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila (setiap anak yang lahir) telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam), kemudian terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan (ajakan) orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya mengikuti agama orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu seperti hukum kedua orangtuanya.”
Asal Muasal Majusi
Abu Faidh Muhammad Al-Husaini berkata dalam kitabnya Tajul ‘Arus (1/4132, Maktabah Syamilah), menukil ucapan Al-Azhari: “Pencetus agama Majusi adalah seorang yang kecil/pendek kedua daun telinganya. Hal ini berdasarkan asal kata المجوس dari مِنج, artinya kecil/pendek, dan كُوس artinya dua daun telinga. Sebagian mengatakan bahwa Zaradusyt Al-Farisi bukanlah pencetus agama Majusi, karena ia hidup setelah Nabi Ibrahim q, sedangkan Majusi adalah agama lama (yang terdahulu). Hanya saja ia menjadi pembaru, menampakkan serta menyebarkannya.
Penyerupaan Kaum Qadariyah sebagai Majusi Umat Ini
Adapun hadits yang menyebutkan adanya penyerupaan kaum Qadariyyah (para pengingkar takdir) dengan Majusi, seperti yang tersebut dalam hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ
“Al-Qadariyah majusinya umat ini.” (HR. Abu Dawud)
Karena kaum Majusi memiliki keyakinan adanya dua hal yang mendasar, adanya dua pencipta/dewa, yaitu Cahaya dan Kegelapan. Cahaya yang mendatangkan (menciptakan) kebaikan, sedang kegelapan yang mendatangkan (menciptakan) keburukan. Demikian pula dengan kaum Qadariyah, mereka meyakini bahwa kebaikan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakannya. Sedangkan keburukan, manusia atau setanlah yang menciptakannya. Keyakinan seperti adalah keyakinan yang batil (salah), karena segala sesuatu apapun bentuknya (kebaikan/keburukan), Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang menciptakannya. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dalam Al-Qur`an:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir (ketentuan/ ketetapan).” (Al-Qamar: 49)
Lafadz:
كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Seperti hewan yang melahirkan seekor hewan yang sempurna, apakah kalian melihat padanya ada buntung (perubahan)?”
Makna جَمْعَاءَ yaitu, tidak ada sesuatu pun dari badannya yang hilang. Dinamai demikian karena terkumpulnya seluruh anggota badan (tidak ada yang kurang/buntung).
Makna جَدْعَاءَ yaitu, yang putus (buntung) telinganya.
Ath-Thibi berkata: “Kata ini menjelaskan tentang selamatnya hewan tersebut dari cacat. Dalam lafadz ini terdapat penguat bahwa setiap orang yang melihat kepada hewan (yang baru lahir), ia akan mengatakan hal itu, karena nampak keselamatannya (tidak ada cacatnya).”
Pada lafadz ini terdapat isyarat kepada bahwa ketetapan mereka di atas kekufuran adalah disebabkan oleh ketulian (tidak mau mendengar) perkara yang benar (al-haq).
Makna هَلْ تُحِسُّونَ yaitu, apakah kalian melihat, berasal dari kata الْإِحْسَاسُ yaitu rasa. Maksudnya adalah pengetahuan terhadap sesuatu, yang dengannya menghendaki/ menginginkan bahwa hewan yang lahir itu dalam keadaan sempurna (tidak cacat/buntung). Hanya saja, setelah itu pemiliknyalah yang menjadikan hewan tersebut menjadi buntung/putus telinganya, bukan bawaan dari lahir. Seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu setelah menyebutkan hadits, beliau membaca:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus.” (Ar-Rum: 30)
Lafadzﯠ ﯡ ﯢ ﯣﯤ maknanya adalah لاَ تَبْدِيلَ لِدِيْنِ اللهِ “Tidak ada perubahan pada agama Allah”, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan Sa’id bin Jubair. (Lihat Al-Fath, 3/306, 8/630)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini
Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits yang mulia berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya-lah yang akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Majusi atau Nasrani.” Dan hadits lain berbunyi: “Setiap jiwa yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah ia celaka ataukah bahagia.” Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa perbedaan antara kedua hadits ini?
Jawabannya:
Pertama, hadits yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya perubahan (buntung)?”
Makna hadits ini adalah bahwa setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam), namun perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk tetap senantiasa berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan keadaannya sebagai orang yang beruntung (Islam), Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan baginya seorang yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan menjadilah anak itu siap untuk melakukan kebaikan. Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telantarkan dan tetapkan sebagai orang yang celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam mengubah anaknya (yang berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kedua, dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan: -Al-Hadits-. Makna ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal itu merupakan ketetapan yang azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir hidup seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah l yang telah mendahuluinya.
Ketiga, dengan menelaah makna hadits yang pertama dan kedua di atas serta memerhatikan pertanyaan yang diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Karena sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah yang baik. Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, jika keberadaanya sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan mendatangkan baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari jalan kebaikan, menemani dan mengajaknya pada jalan keburukan, dan selalu menyertainya hingga ditetapkan baginya akhir hidup yang buruk.
Telah banyak dalil yang menyebutkan adanya ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mendahului sebelum penciptaan manusia, baik kebahagiaan atau keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah setiap jiwa yang ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang yang ditetapkan bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).”
Hadits di atas menerangkan bahwa celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu ditentukan sesuai dengan amal perbuatan. Setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan amal perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan baginya, yang mana hal tersebut akan menjadi sebab dia bahagia atau celaka.
Wabillahi taufiq. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beserta sahabat beliau seluruhnya.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!