Selasa, 18 Jumadil Akhir 1446 H / 29 Oktober 2013 15:13 wib
21.904 views
Dosen, Ilmuwan Yang Terbelenggu Kapitalis?
Menjalankan profesi sebagai dosen terlihat terhormat di mata umum. Gaji lumayan, mendapat tunjangan sertifikasi pula. Memang betul, dengan gaji golongan 3 lebih dari 5 juta sebulan, paling tidak kebutuhan sandang dan papan untuk diri sendiri dapat terpenuhi, bohong kalau tidak! Betulkah itu yang terjadi? Sebagai seorang ibu, dengan tanggung jawab utama sebagai pengelola rumah tangga, rasanya pekerjaan ini cukup melelahkan. Evaluasi Beban Kinerja Dosen yang setiap semester harus dilaporkan, memaksa para dosen, terutama wanita, harus arif membagi waktu.
Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat merupakan kewajiban utama seorang dosen dan wajib dilaporkan secara tertulis kepada Direktorat Pendidikan Tinggi. Pendidikan, yang utamanya adalah mengajar, membimbing tugas akhir mahasiswa dan menjadi dosen wali bagi mahasiswanya sepertinya sudah menjadi rutinitas. Setiap dosen paham kalau inilah tugas utamanya. Oleh sebab itu, mengajar walau jam 7 pagi atau jam 5 sore tetap diupayakan untuk dijalani. Pengaturan harus dijalankan karena jam-jam begini adalah waktunya mengantar dan menjemput si kecil ke sekolah atau les.
Pengabdian Masyarakat idealnya memang harus melibatkan diri dalam proyek pengabdian masyarakat. Mengabdi? Hmm..seorang dosen semestinya diharapkan mengabdi walau dalam lingkungan terkecil sekallipun misalnya di RT atau lingkungan kantor. Sudah sehari-hari dilaksanakan, hanya perlu dinyatakan dalam bentuk laporan tertulis, dan ini bukan hal yang terlalu sulit.
Bagaimana dengan Penelitian? Nah, bidang ini sangat menarik hati, sungguh.. Seorang dosen idealnya mempunyai “good scientific sense”. Memang, sebagai seorang dosen saya sangat menyukai pekerjaan di laboratorium dan terlibat penelitian dengan mahasiswa. Suatu atmosfer akademik yang sangat menarik sekaligus menantang. Pengalaman riil ini sungguh jauh berbeda dengan hanya membaca buku di belakang meja.
Setiap kali menemukan jawaban atas keingintahuan, timbul inspirasi untuk menciptakan capaian baru. Subhanallah, rahasia Sang Maha Mencipta.. Semakin ingin hamba mengetahui rahasiaMu, semakin kerdil rasa diri. Tetapi, begitu sederhanakan urusan Penelitian?
Penelitian yang sifatnya pendahuluan, barangkali bisa didanai dari honor sertifikasi dosen. Bila ingin semakin dalam menggali, ternyata harus mengusulkan dana dari pihak luar. Banyak sekali sumber dana, baik dalam maupun luar negri. Proposal yang berkualitas pasti akan mendapat kesempatan untuk didanai.
Lalu apa yang menjadi kendala?
Wow…tanpa terasa, para dosen sangat di sibukkan dengan urusan teknis. Mulai dari bekerja di laboratorium, perijinan, mencari alat dan memesan reagen dan menyiapkan laporan. Bidang penelitian Bioteknologi membutuhkan reagen yang mahal dan celakanya, sering impor dari luar. Artinya harus indent duluan. Mending kalau barangnya cepat datang. Barang lama datang, laporan kemajuan sudah harus siap. Hmmh.. Anehnya lagi, reagen yang datang ke Indonesia harganya tiga kali lipat dari price list. Beruntung bagi yang punya kolega di luar negri, harga bisa terpaut jauh walau plus ongkos krim sekalipun. Tidak hanya itu, yang paling berat adalah membuat laporan pertanggung jawaban keuangan alias SPJ. Bagaimana tidak berat? Para dosen harus mempertanggungjawabkan sejumlah uang yang tidak sesuai dengan uang yang diterima. Bagaimana caranya? Apapun caranya, yang jelas harus berbohong. Mengapa tidak menyerahkan kuitansi riil saja? Setahu saya, saat di luar negri nota riil bisa diterima, bahkan hanya dengan secarik kertas yang dibubuhi tanda tangan saya.
Sebetulnya apa yang para dosen cari?
Cobalah evaluasi, berapa jam dalam sehari dosen di sibukkan dengan urusan teknis yang sangat menyita waktu dan perhatian. Kesibukan dan kelelahan teknis membuat otak kita terblokir untuk tidak lagi dapat memaknai, apa yang sejatinya terjadi.
Dosen menjadi tidak peka lagi terhadap fakta yang terjadi disekitarnya. Sistem pertanggung jawaban keuangan betul-betul membuat sangat tidak nyaman. Lebih repot lagi, sistem ini diperkenalkan mulai mahasiswa. Sejak awal generasi muda di didik sistem yang tidak benar. Maka jangan heran jikalau saat menjadi pejabat, mereka ahli dalam merekayasa keuangan. Proyek-proyek yang di”markup”, tender-tender palsu sudah menjadi keseharian.
“Bagaimana lagi sistemnya sudah begini”
Begitu selalu yang jadi alasan dan komentar dari para kolega. Sistem? Sistem ternyata jawabannya. Secara tidak langsung, para intelektual sudah diarahkan dan dikendalikan oleh sistem kapitalis global.
Dosen tidak sadar bahwa dana yang besar berasal dari pemodal besar yang pasti punya target besar pula. “There is no free lunch”, itu ungkapan mereka yang paling populer.
Mereka tidak mengenal akhirat, sehingga segala sesuatu, bahkan satu rupiah sekalipun harus kembali berlipat ganda.
Ada yang salah?
Jelas salah. Tanpa terasa, karena “menikmati” dana dari mereka, nilai-nilai hidup mereka kita adopsi dengan sangat baik dan menerapkannya dalam keseharian kita. Dan ini dilakukan, tanpa terasa. Camkan, tanpa terasa!
Uang mereka dalam genggaman kita, artinya, tanpa terasa pula, tenaga, nilai-nilai hidup bahkan harga diri sudah terbeli. Lalu bagaimana pula dengan sistem di negara ini? Seharusnya, memfasilitasi riset pada ilmuwan menjadi tanggung jawab negara.
Kita tentu ingat, di masa kejayaan Islam, ilmuwan tersohor seperti Ibnu Shina yang sering merawat pasien tanpa meminta bayaran. Al Khawarizmi, seorang tokoh Islam berpengetahuan luas sekaligus ahli Aljabar yang bekerja dibawah pemerintahan Khalifah Al Ma’mun.
Ibnu Ismail Al Jazari, penemu konsep robotika modern. Dunia Baratpun mengakui kehebatan ilmuwan-ilmuwan Muslim ini. Penyebabnya karena negara mengatur urusan tersebut. Negara mempunyai kewajiban mengelola riset para ilmuwannya.
Bagaimana dengan karya dosen yang notabene ilmuwan saat ini?
Buku yang hanya ditumpuk di almari atau perpustakaan, topik penelitian yang tumpang tindih bahkan duplikasi atau sengaja di duplikasikan karena skema pendanaan yang terlalu beragam dan tujuan kekayaan materi dari riset.
Manfaat apa yang dapat didapat dari umat dengan kepengelolaan semacam ini? Berapa banyak dana dihamburkan?
Dikatakan bahwa ilmuwan Indonesia seperti raksasa yang sedang tidur. Bukan tidur, sudah terbangun tapi terbelenggu oleh sistem sehingga salah langkah. Maka jangan heran, kalau kiprah ilmuwan Indonesia kurang atau boleh dikatakan tidak berdengung di dunia Internasional. Tentu saja bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, kenyataan ini sangatlah miris.
Dengan jumlah orang miskin yang mencapai 96 juta jiwa (nasional.kontan.co id, 17/01/2013), itukah yang disebut dengan sejahtera?
Ataukah data dari Kementrian Pertanian tentang impor gandum dan kedelai yang 100% atau kenaikan nilai impor dari 5 M USD di tahun 2004 hingga nilai mencapai USD 20,6 M di tahun 2011? Atau barang-barang sehari-hari mulai kecap, teh, sabun mandi, sabun cuci, shampoo, susu yang sebagian besar sahamnya milik asing?
Lalu dimana karyamu wahai para ilmuwan?
Saatnya bergerak, sejatinya seorang ilmuwan ditinggikan derajatnya oleh Allah. Ilmuwan adalah seorang HAMBA ALLAH, yang tidak saja serius dalam mencari ilmu (QS 3:7), tetapi juga mampu memisahkan yang buruk dengan yang baik, kemudian memilih yang baik walau harus sendirian (QS 5:100). Ilmuwan juga wajib menyampaikan ilmu untuk memperbaiki dan memberi peringatan masyarakat (QS 14:52) serta yang terakhir, tidak takut kepada siapapun kecuali Allah (QS 5:179 dan 65:10).
ERVIA YUDIATI
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!