Senin, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 13 Juli 2009 11:31 wib
16.262 views
Pentingnya Belajar Bahasa Arab.
Sudah menjadi ijma' para ulama sepanjang zaman, bahwa batas aurat seorang wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Dalam bahasa arab dituliskan begitu: “..wa 'auratunnisa' i sairu jasadiha illa al-wajha wal kaffaini”.
Artinya: “dan batas aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya dan kedua tapak tanganny”.
Namun seringkali karena kesalahan penerjemahan, akhirnya muncul kerancuan pemahaman. Al-kaffaini sering diartikan dengan kedua telapak tangan. Padahal makna yang benar bukan telapak. Sebab kalau diartikan dengan telapak, berarti hanya bagian dalam saja.
Yang benar bukan telapak tangan tetapi tapak tangan. Tapak tangan itu terdiri dari bagian dalam dan bagian luar (punggung). Maka bagian dalam dan luar (batinul kaffi dan zhahiruhu) bukan termasuk aurat, sehingga boleh nampak dan terlihat.
Maka tidak bisa disalahkan ketika ada wanita shalat, dengan punggung tangan terbuka dan terlihat. Sebab punggung tangan itu bukan aurat baginya.
Kesalahan interpretasi karena hanya mengandalkan terjemahan itu memang sangat fatal akibatnya. Karena itu, belajar bahasa arab itu hukumnya nyaris sudah wajib bagi tiap muslim. Agar jangan sampai terjadi kesalahan interpretasi dalam hukum.
Sayangnya, sedikit sekali kesadaran umat Islam untuk belajar bahasa arab. Dan tetap masih asyik membaca buku terjemahan. Padahal membaca buku terjemahan mengandung resiko terjadinya kesalahan pemahaman.
Salah satunya contoh adalah tentang dalil kewajiban memakai jilbab. Seorang Wanita mempertanyakan dasar ayatnya. Menurutnya, di Al-Quran tidak pernah ada perintah yang mewajibkan wanita untuk memakai jilbab.
Marilah kita lihat ayat 59 dari surat Al-Ahzab, dengan sigapnya wanita tadi menepis dengan komentar bahwa di dalam ayat itu Allah tidak pernah memerintahkan wanita pakai jilbab. Sebab terjemahannya begini:
”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al-Ahzab:59)
Menurutnya, karena cuma diawali dengan kata 'hendaklah', maka hukumnya bukan wajib, melainkan anjuran.
Nah, kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan? Kata 'hendaklah' dalam rasa bahasa Indonesia, memang tidak bisa diartikan sebagai kewajiban. Masalahnya sekarang, siapa yang mengartikan ayat itu dengan lafadz 'hendaklah'? Sehingga muncul kesalahpahaman fatal seperti ini.
Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian 'lucu' seperti ini, sehingga menambah semangat kita untuk sadar akan pentingnya belajar bahasa arab dan sekaligus belajar ilmu syariah. Kalau hanya mengandalkan buku bacaan terjemahan Al-Quran atau hadits saja, memang akan begitu jadinya.
Jangan sekali-kali baca terjemahan Al-Quran, kecuali anda baca juga kitab-kitab tafsirnya. Jangan baca terjemahan hadits, kecuali anda baca juga kitab-kitab syarahnya (penjelasan) . Kalau tidak tahu, maka bertanyalah kepada yang punya ilmunya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!