Selasa, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 7 Juli 2009 14:13 wib
19.719 views
Perempuan dalam Islam: Hadith Misoginis versi Fatima Mernissi
Kajian, perbincangan, atau diskursus masalah perempuan, merupakan topik yang terus hidup sejak lama sampai sekarang. Hal ini berkembang seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia, yang tidak hanya berimplikasi pada tataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, dan diantaranya adalah permasalahan perempuan dalam Islam.
Islam muncul di saat perempuan mengalami puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Islam datang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan menuju cahaya. Islamlah yang mengangkat derajat dan martabat perempuan dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Islam menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki, seperti firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujârah ayat 13,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Artinya derajat laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah, ketaqwaan lah yang membedakan satu sama lainnya. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, ada saja dikalangan orang Islam sendiri yang dengan pemahamannya yang liar mendkonstruksi ajaran Islam, dan berakhir dengan menyalahkan ajaran Islam. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, yang mengungkapkan keresahannya tentang peranan perempuan dalam Islam, mempertanyakan hadis-hadis yang dianggap meminggirkan perempuan, yang dikenal sebagai ayat-ayat misoginis.
Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap perempuan” (Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, 1986, Jakarta, Gramedia, hal: 382). Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan.
Mengenal Fatima Mernissi
Fatima Mernissi adalah seorang penulis, sosiolog, dan feminis kelahiran Marokko tahun 1940. Ia kuliah tentang ilmu politik di Universitas Mohammed V Rabat , Marokko, dan melanjutkan ke jenjang berikutnya Universitas Sorbonne, Perancis dan Universitas Brandeis, Amerika Serikat , hingga mendapatkan gelar doktor pada tahun 1973. Disertasinya dalam bahasa Perancis, kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berbahasa Ingris Beyond the Veil: Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam judul Seks dan Kekuasaan, penerbit Al Fikr, 1975. Selain buku tersebut, karya mernisi yang telah diterjemahkan antara lain Perempuan dalam Islam ( Pustaka, 1994), Pemberontakan Perempuan: Peranan Intelektual Kaum Perempuan dalam Sejarah Muslim ( Mizan,1999), Teras Terlarang ( Mizan, 1999), Ratu-ratu Islam yang Terlupakan ( Mizan, 1994), Demokrasi dan Islam: Antologi Ketakutan (LKis, 1994), Setara Dihadapan Allah (LSPAA Yayasan Prakarsa,1995).
Di Indonesia, ia dikenal oleh pengamat masalah perempuan dan jender melalui berbagai seminar dan diskursus yang diselenggarakan beberapa tahun terakhir ini. Melalui buku-buku tersebut, Mernissi menggugat penafsiran ayat-ayat Qur'an mengenai hijab, hak waris dan sebagainya. Mernissi juga menghujat Imam Bukhari, Abdullah bin Umar dan beberapa sahabat sebagai orang-orang yang tidak mempedulikan dan menyia-nyiakan perempuan melalui hadith-hadith yang disebutnya misoginis.
Sebagai seorang aktivis feminis yang kontroversial, Mernissi dipuji setinggi langit dengan penuh nada kekaguman oleh sesama aktivis feminis, mereka memuji tulisannya, dan menjadi 'idola' baru kaum feminis. Bukunya jadi acuan, tidak saja di kalangan feminis sendiri, tapi juga di kalangan muslim pemerhati masalah-masalah jender secara umum. Melalui buku-bukunya yang semula diterbitkan dalam bahasa Perancis, kemudian bahasa Inggris, buku-bukunya tersebar ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dan ia menjadi terkenal di banyak negara dimana feminisme berkembang. Tapi ironisnya, ia sama sekali tidak terkenal di negaranya sendiri yang berbahasa Arab, karena Mernissi tidak menuliskan bukunya dalam bahasa Arab. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, mengapa dia tidak menulis buku-bukunya dalam bahasa Arab, padahal apa yang menjadi pokok bahasannya adalah tentang permasalahan-permasalahn tentang perempuan di dalam Islam, yang bersumber dari inti ajaran Islam, yaitu Al Quran dan As Sunnah yang tentu aslinya berbahasa Arab. Bisa jadi ia khawatir apabila karyanya ditulis berbahasa Arab, semua hujahnya yang ngawur dengan mudah akan dipreteli oleh ahli-ahli tafsir dan hadith.
Masa Kecil, Remaja, dan Dewasa
Mernissi menulis buku-bukunya dengan bahasa yang cukup sederhana, bergaya novelis, bahkan terkadang puitis, dan lebih banyak bercerita tentang dirinya. Dalam bukunya yang pertama dan fenomenal, aslinya berbahasa Perancis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Veil and Male Elite, kemudian direvisi menjadi Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry, Mernissi bercerita tentang masa kecil dan remajanya yang bersikap ambivalen terhadap Qur'an. Ia bercerita tentang dirinya,
“Sikap ambivalen terhadap teks-teks suci ini tertanam kuat dalam perasaan saya selama bertahun-tahun.Tergantung pada bagaimana menyikapinya, ayat-ayat suci dapat menjadi pintu gerbang untuk melarikan diri atau bila masalah tidak bisa diatasi. Ia bisa menjadi ‘musik yang langka’ yang menghanyutkan ke dalam ‘mimpi’, tapi bisa juga sekedar suatu rutinitas yang membosankan. Semua ini tergantung kapada orang yang membacanya”. (Mernissi, Fatima, Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry, Blackwell Publisher Ltd,5TH ed., 1995, hal.62).
Dalam buku tersebut, iapun bercerita tentang dirinya ketika beranjak dewasa,
"Setelah beranjak remaja, kurasakan meredupnya musik al-Qur'an...Di sekolah menengah, sejarah agama ditandai dengan pengenalan terhadap as-sunnah. Beberapa hadith Bukhari yang dikisahkan para guru kami, membuat hati saya terluka ketika: “ Nabi mengatakan bahwa anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan shalat seseorang bila ia melintas di depan mereka, menyela dirinya di antara orang yang shalat dan kiblat..." Perasaan saya sangat terguncang mendengar hadith semacam itu. "Bagaimana mungkin Nabi dapat mengatakan hal yang sangat melukai diri saya. (Mernissi, Fatima, Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry, Blackwell Publisher Ltd,5TH ed., 1995, hal.65).
Hati Mernissi terluka oleh hadith! Ia mengeluhkan Rasulullah Saw yang telah melukai hatinya. Padahal, tidakkah ia menyadari bahwa keluhannya mengenai Rasulullah Saw telah melukai berjuta-juta ummat Islam...? Dalam buku-bukunya, setiap kali menyebut Nabi atau Muhammad Saw , Mernissi seperti halnya para orientalis, tidak mengiringinya dengan ungkapan shalawat dan salam untuk Beliau Saw, sebagai tanda kecintaan setiap muslim.
Terhadap hadith di atas, Mernissi mengkritik Abu Hurairah sahabat yang meriwayatkan hadith ini, sebagai satu-satunya sumber isnad, sehingga ia meragukan sanadnya. Bagi pembaca yang terlanjur terpesona dengan gaya bahasa paparannya serta semangat feminismenya, seringkali cenderung membenarkan pendapatnya. Padahal bila diteliti lebih jauh, sahabat yang meriwayatkan hadith tersebut selain abu Hurairah ada beberapa orang, yaitu : Abu Dzar r.a (diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain), Ibnu Abba r.a (diriwayatkan oleh Ibnu Majah), Anas bin Malik (diriwayatkan oleh Al Bazzar), Al Hakam bin ‘Amru (diriwayatkan oleh Ath Thabary), dan A’syah sendiri ! (diriwayatkan oleh Al Haitsamy) dimana hadith tersebut terkumpul dalam kitab Fathul Bari , Syarh Shahih Al Bukhari, karangan Ibn Hajar Al Asqalani, jilid I:588-589.
Dijelaskan dalam Fathul Bari pendapat berbagai ulama tentang pemahaman hadith tersebut tidak seperti yang dipahami Mernissi. Ath Thahawy menyatakan bahwa hadith tersbut telah dimansukh oleh hadith A’isyah bahwa Nabi Saw shalat, sementara kaki beliau Saw tidak sengaja menyentuh ‘Aisyah yang tertidur didekatnya dan Nabi Saw tetap meneruskan shalatnya. Imam As Syafi’i menyatakan perempuan tidak membatalkan shalat, hanya dapat mengurangi kekhusyu’an, sedangkan Imam Ahmad menyatakan bahwa shalat memang batal dengan melintasnya anjing hitam, tetapi tidak karena perempuan, karena bertentangan dengan hadith A’isyah r.a di atas.
Watak emosional dan kecenderungan memberontak terhadap apa yang didapati dari teks Al Qur’an dan Hadith, yang ia alami semasa masih kanak-kanak dan remaja, makin kental ketika ia beranjak dewasa dan bertanya, “Dapatkah seorang perempuan menjadi pemimpin kaum Muslimin?” dan dijawab oleh yang ditanya sesuai hadith Nabi Saw, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mempercayakan urusannya kepada perempuan”. Mendengar jawaban ini Mernissi seperti terbungkam, terpojok, dan marah. Tiba-tiba ia tersentak, tergugat dan merasa perlu mencari tahu tentang hadith tersebut. Mernissi meragukan keshahihan hadith ini. Ia menganggap salah seorang perawi hadith ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khattab. (Mernissi, Fatima, Women and Islam: An Hystorical and Theological Enquiry, Blackwell Publisher Ltd,5TH ed., 1995, hal.1-2). Tetapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah menunjukkan bahwa Abu Bakrah ra. adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang tsiqah (terpercaya). Oleh karenanya, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keshahihan hadith ini yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra.
Kebencian Mernissi terhadap hadith yang dia klaim sebagai hadith misoginis lainnya, adalah hadith shahih Al Bukhari Abu Hurairah yang berbunyi; “Tiga hal yang membawa sial : rumah, perempuan , dan kuda ” (Lihat Jami’ Shahih Al Bukhari, dan Shahih Muslim). Ia menggugat, mengapa perempuan begitu hina dan dianggap pembawa sial. Mernissi menggugat hadith yang menurutnya misoginis, tidak berpihak kepada perempuan, dan membenci perempuan. Ia mengkritik Abu Hurairah sebagai rawi yang lemah karena satu-satunya yang meriwayatkan hadth ini tanpa lebih cermat merujuk kepada kitab-kitab rujukan yang shahih dan diriwayatkan oleh orang yang sudah dikenal tsiqoh. Padahal dari jalur sahabat yang lain yaitu Abdullah bin Umar ra. hadith ini diriwayatkan sbb: “Rasulullah s.a.w bersabda: Kesialan itu ada pada rumah, pada perempuan dan pada kuda yaitu kendaraan “ (Hadith shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Ironisnya, ditengah kebenciannya kepada hadith shahih yang menjadi rujukan kedua sesudah al-Qur’an, bagi agama Islam, agama Mernisi sendiri, ia begitu terpesona terhadap Barat dan perempuan-perempuan Barat. Ia menulis, “.. saya senantiasa memperoleh kejutan saat mengunjungi Amerika dan Eropa, yang menjual diri mereka sebagai masyarakat supra-moderen, karena sesungguhnya saya menemukan mereka tetap dengan iklim budaya Yahudi dan Krstennya”. Apa sebenarnya yang tengah berkecamuk dalam benak para feminis? Apa yang tengah mereka perjuangkan untuk agamanya? Atau mereka justeru ingin meruntuhkan agamanya sendiri? Kalau begitu mengapa mereka masih bersikukuh memeluk agama Islam sementara pada waktu yang sama mereka mengejek dan mencaci maki agama yang murni ini dan mengagung-agungkan agama lain yang nyata-nyata memusuhi Islam? Rabbunâ al musta’an. (Kemang Pratama Bekasi, Rajab 14,1430/Anita Masduki)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!