Senin, 16 Jumadil Awwal 1446 H / 17 November 2014 09:40 wib
34.159 views
Seragam Loreng yang Menggelisahkan Masyarakat
SOLO (voa-islam.com) - Dalam dunia kemiliteran dikenal 3 prinsip dasar yang menjadi landasan bagi terselenggaranya operasi militer oleh setiap prajurit dan pasukan. 3 Prinsip itu dikenal dengan sebutan 3 (triple)C, yakni Cover, Concealment dan Camouflage atau perlindungan, persembunyian dan penyamaran.
Cover adalah upaya untuk menghindari serangan lawan, sedangkan Concealment merupakan cara menghindari pengamatan musuh dengan menggunakan kontur alam bahkan bisa memanfaatkan kegelapan atau bayangan benda. Sementara, Camouflage dimaknai sebagai upaya menyerupai benda atau keadaan alam sekitar wilayah operasi.
Pasukan yang terlatih berperang dengan hebat pastinya bukanlah pasukan yang nekat melampui perhitungan, bahkan penerapan 3C akan semakin memperhebat kemampuan tempur pasukan. Semakin tinggi teknologi peperangan maka aktualisasi 3C terus juga meningkat. Apalagi perang modern semakin luas wilayah dan sektor pertempurannya, maka sudah semestinya para pakar pertahanan tidak mencukupkaan diri dengan strategi, teknik dan kebutuhan sebagaimana perang konvensional.
Nafsu kolonialisme dan imperialisme negara-negara besar sejatinya tidak pernah padam. Mereka akan tetap mengaktualisasikan penjajahan kepada negara-negara kecil, baik yang kuat apalagi yang lemah. Terkadang dibungkus dengan motivasi ideologis, tapi dilain waktu kemasan ekonomi dikedepankan. Tapi kekuasaan memang menarik banyak kenikmatan duniawi yang terlalu menggiurkan untuk diabaikan para penguasa yang tamak, rakus dan bejat.
Sialnya, tidak selalu negara besar memiliki standar moralitas kemanusiaan yang baik dan mulia. Kemajuan teknologi dan ilmu lain yang dimiliki negara-negara besar seringkali justru tidak selaras dengan standar moralitas manusia yang biasa-biasa saja. Ini menyebabkan nafsu terus berkuasanya akan selalu membara.
Nah, dengan penerapan 3C, nafsu imperialis-kolonialisme menjadi indah dalam bahasa pergaulan internasional. Sehingga rakyat negri-negeri kecil yang menjadi target nafsunya tidak pernah menyadari adanya ‘penjajahan’ baru itu. Apalagi ketika para penguasa dan aparat negeri-negeri target tersebut bermental penjilat/ ‘underdog’ atau terjangkiti inferiority complex. Maka kekayaan negri dan rakyatnya secara sadar atau tidak sadar akan tega dia jual kepada pihak asing. Yang penting mereka juga mendapat kompensasi dari konsesi yang mereka keluarkan.
Sedangkan rakyat kebanyakan diberbagai lapisan masyarakat pada umumnya akan tenang dan mengikuti penguasa sepanjang kesenangan lahir-bathinnya terpenuhi. Jadi sepanjang bisa kenyang dan senang maka tidak akan ada jiwa-jiwa yang meradang. Hingga utak-atik perekonomian dan budaya dijadikan senjata utama memperdaya dan menumpulkan insting sosial politik rakyat.
Bahkan kalaupun muncul kegelisahan rakyat maka akan diupayakan konflik yang dapat memuaskan kegalauan massal dalam bentuk yang tidak mengakibatkan perlawanan vertikal. Semua akan dikelola sedemikian rupa menjadi benturan horizontal, yang pastinya tidak membahayakan sendi-sendi kemapanan pemerintahan.
Penerapan 3C yang Salah Kaprah
Semangat bersatu diatas landasan hal-hal yang primordial seperti kesukuan, daerah asal, tempat tinggal, kesamaan paham politik dan seterusnya , dimana terkadang muncul menjadi organisasi, paguyuban atau perkumpulan lainnya, seringkali kemudian memunculkan sikap fanatik yang dipahami sebagai bagian patriotisme.
Hingga kemudian lahirlah satgas-satgas atau laskar-laskar primordial yang siap membela partai, kelompok, perhimpunan atau paguyuban serta tokoh-tokoh pimpinannya dari serangan pihak yang mereka nilai bersebrangan dengan semangat primordialnya. Kata-kata; siap mati, harga mati dan lain-lain menjadi mantera kunci yang semakin meningkatkan fanatisme semu mereka.
Mereka menjadikan UUD dan UU ataupun peraturan pemerintah yang memberi kebebasan berserikat sebagai cover. Aktualisasi Concealment bisa memanfaatkan asas kebangsaan yang berbhineka-tunggal ika yang menjamin plularitas bahkan pluralisme menjadi sesuatu yang halal atau legal. Sementara Camouflage bisa diterapkan karena memang akar dan semangat nasionalisme sendiri yang sangat absurd. Penguasa dan aparatnya lebih memberi teladan bahwa nasionalisme itu identik dengan pragmatisme.
...kita bisa lihat bahwa dada para penguasa itu hanya mampu membusung kepada rakyatnya sendiri, tapi membungkuk dihadapan pemimpin bangsa-bangsa asing!
Lihatlah bagaimana penghormatan dan apresiasi masyarakat terhadap adanya orang-orang asing yang juga membawa kultur asing ternyata lebih dihargai, daripada martabat bangsa sendiri. Seorang manager perusahaan, misalnya, gaji dan fasilitas yang diberikan kepada ekspatriat dengan manajer yang bangsa sendiri akan berbeda jauh, berkali-kali lipat.
Orang sendiri akan dihargai dengan rendah sedangkan orang lain–padahal kemampuannya sama- akan dihormati setinggi-tingginya. Belum lagi kalau terkait pergaulan internasional, maka kita bisa lihat bahwa dada para penguasa itu hanya mampu membusung kepada rakyatnya sendiri, tapi membungkuk dihadapan pemimpin bangsa-bangsa asing! Puiiih..
Hal yang amat kita sayangkan, ketika prinsip camouflage digunakan pada satgas-satgas primordial dengan seragam lorengnya, untuk menggertak pihak yang bersebrangan dalam masyarakat yang sama. Memang, seragam loreng ala camouflage itu dapat meningkatkan rasa percaya diri terhadap person yang memakainya. Kesan gagah yang muncul itu menjadikan pemakai seragam loreng mudah sombong dan menabrak batas-batas norma dan etika yang ada. Apalagi jika diterapkan hirarki kepangkatan dan indoktrinasi berkesinambungan.
Dan yang jauh lebih membahayakan adalah penyalahgunaan prinsip camouflage oleh pihak-pihak resmi, yang memang berwenang menggunakan kekuatan. Seperti kalangan militer atau sipil yang dipersenjatai, kekeliruan pemanfaatan mereka akan berdampak luar biasa bagi masyarakat . Semangat korps yang terbentuk dan pelampuan wewenang serta penyalahgunaan kekuatan justru akan menyakiti rakyat, padahal mereka ada dari, oleh dan untuk masyarakat.
Loreng Brimob Dikritik
Karena itu, munculnya kritik dan keberatan sebagian pakar terhadap penggunaan kembali seragam loreng ala camouflage oleh Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian RI, sebenarnya lebih bernuansa praktis dari akibat perilaku aparatnya di lapangan selama ini, daripada aspek filosofis penerapan prinsip camouflage itu sendiri.
Sebagaimana diberitakan Kompas bahwa Kepolisian Negara RI menggunakan kembali seragam loreng pelopor untuk Korps Brigade Mobil Polri. Keputusan itu sesuai keputusan Kapolri Nomor Kep/748/IX/2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Lapangan Loreng yang dikeluarkan pada 24 September.
Ajang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-69 Brimob, Jumat (14/11/2014), di Depok, Jawa Barat, menjadi peresmian penggunaan kembali seragam loreng itu. Pada perayaan itu, semua polisi dan anggota Brimob menggunakan seragam tersebut.
Loreng pelopor atau loreng ”darah mengering” berwarna dasar hijau, dipadu loreng berwarna hitam, putih, dan kuning. Seragam itu pertama kali dipakai Brimob pada 1962 ketika ikut serta dalam Operasi Mandala. Memasuki era reformasi, seragam itu dilarang digunakan seiring kedudukan Polri yang berpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), sekaligus mengukuhkan Polri sebagai kekuatan sipil yang dipersenjatai.
Jadi, sekali lagi bukan lorengnya, tapi Polri harus interospeksi diri apakah perilaku dan sikap-sikap mereka sebagai korps ataupun personal tidak menyakiti rakyat? Terutama bagaimana penangan pihak kepolisian terkhusus Densus 88 AT terhadap para terduga tindak pidana ‘terorisme’. Loreng atau tidak loreng jadi tidak relevan penggunaannya kalau rakyat terus yang disakiti. [Abu Fatih/voa-Islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!