Sabtu, 10 Rabiul Akhir 1446 H / 17 Agutus 2024 22:34 wib
16.914 views
Banjir Tekstil Impor dari China, Negara Abai Melindungi UMKM
Oleh: Nuraisah Hasibuan, S.S
Industri tekstil dalam negeri sedang tidak baik-baik saja, bahkan bisa dikatakan sekarat. Pasalnya produk tekstil dan pakaian dari China membanjiri pasar online dan offline di Indonesia, termasuk Pusat Grosir Tanah Abang Jakarta.
Baju-baju asal China bisa dengan mudah dikenali dari label yang menempel pada baju tersebut, dimana tertera merek dagang China seperti Yi Yi Ya, CUADN, dan Lebeia. Termasuk juga keterangan metode pencucian di baju tersebut yang bertuliskan aksara China.
Banyaknya pedagang lokal di pasar yang akhirnya memilih menjual baju-baju impor dari China dikarenakan harganya jauh lebih murah dibanding baju buatan dalam negeri. Belum lagi model-modelnya yang lebih bagus serta kekinian.
Meskipun jika diteliti lebih dekat, sebenarnya pakaian impor asal China kalah dari segi kualitas dibanding pakaian buatan dalam negeri. Jahitan pakaian asal China cenderung lebih renggang sehingga mudah sobek. Bahan yang digunakan juga merupakan katun kualitas standar, teksturnya lebih kasar, dan kurang menyerap keringat. Namun model-modelnya yang beragam serta menarik secara visual membuat konsumen rela mengesampingkan kualitas.
Fakta yang terjadi, bahwa di China sedang terjadi over supply dan over capacity. Penyebab utamanya adalah demand/permintaan konsumen dalam negeri China sendiri yang menurun. Sementara produksi harus terus berjalan. Sehingga kelebihan produksi pun mereka ekspor ke luar negeri.
Beberapa negara entah dengan alasan politis atau ingin melindungi produk dalam negerinya, termasuk Amerika dengan tegas telah menutup pintu impor dari negara China. Indonesia dibidik menjadi salah satu sasaran tujuan ekspor China karena memang kebijakan impor negeri ini yang terkenal agak longgar. Belum lagi banyaknya oknum-oknum nakal di Bea Cukai yang terlibat transaksi-transaksi di bawah meja, sehingga pengusaha tekstil China bisa memasukkan barang mereka dengan leluasa tanpa pemeriksaan hanya dengan menyogok, “ngajak ngopi”, dan pakai strategi titip barang di kontainer yang akan melewati jalur bebas pemeriksaan.
Masuknya pakaian impor tanpa bea cukai ini otomatis membuat pakaian tersebut bisa dijual dengan harga yang sangat murah. Masalahnya, pakaian ilegal dari China ini bukan hanya satu atau dua bal saja, dan ironisnya bukan hanya terjadi baru-baru ini saja.
Sejak tahun 2004, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melihat kejanggalan. Dimana data pakaian impor dari China yang tercatat pada mereka sekitar Rp. 19,11 miliar sementara berdasarkan data International Trade Center (ITC) impor mencapai Rp. 751,2 miliar. Artinya ada selisih yang sangat besar, sekitar Rp. 728,6 miliar pakaian impor China masuk tanpa pencatatan.
Ketidaksinkronan data ekspor impor ini terus terjadi hingga saat ini di tahun 2024. Badai pakaian impor dari China yang membanjiri pasar dalam negeri membuat order pakain pada perusahaan lokal terus menurun bahkan tidak ada order sama sekali. Ratusan industri tekstil dari skala kecil hingga besar telah gulung tikar semenjak itu, jutaan karyawan terpaksa di-PHK.
Data terbaru, sudah ada 10 (sepuluh) industri tekstil yang menyusul tutup dan puluhan ribu pekerjanya dirumahkan sejak Januari 2024 lalu. Sepuluh perusahaan itu adalah PT Dupantex, PT Alenatex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Apparel, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex, PT Djohartex, PT Pulomas.
Saat ini, langkah yang diambil pemerintah untuk menghentikan impor ilegal dari China adalah dengan membentuk Satuan Tugas (satgas) impor ilegal. Satgas ini terdiri dari sebelas Lembaga dan Kementerian yang akan bertugas hingga akhir Desember 2024 nanti.
Namun banyak pihak yang skeptis dengan langkah pembentukan satgas ini. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio menilai pemerintah sungguh tidak serius menangani masalah pertekstilan Indonesia. Tidak sesigap saat merespon masalah tambang. Seolah industri tekstil adalah anak tiri. Padahal industri tekstil memberi kontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Terbukti dari lambatnya penanganan pemerintah padahal masalah sudah ditemukan sejak 20 tahun lalu. Ibarat dokter yang datang terlambat, pasien sudah keburu sekarat.
Masih menurut hasil analisa INDEF, bahwa mayoritas warganet pesimis dengan kinerja satgas. Penggrebekan gudang pakaian ilegal dinilai kurang efektif untuk menghalau badai impor tekstil ilegal China. Karena yang kena tentunya hanya sebagian kecil saja. Belum lagi jika pedagang kecil tangan ke-tiga yang kena grebek sehingga justru merugikan pengusaha dalam negeri yang sudah terlanjur membeli dari tangan pertama.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana juga mengkritik kinerja pemerintah yang sedikit-sedikit membentuk satgas untuk urusan penanganan. Ini justru menunjukkan pemerintah yang lemah dalam hal koordinasi birokrasi sehingga harus membentuk satgas. Dan faktanya, belum pernah ada satgas yang menghasilkan penuntutan hukum. Pembentukan satgas lebih untuk menenangkan publik yang mulai risau saja.
Termasuk rencana pemerintah untuk menaikkan tarif bea cukai hingga 200 persen untuk impor pakaian dari China, dinilai Komisi VI DPR RI tidak tepat. Pasalnya hal itu hanya akan memperbanyak transaksi ilegal, sebab pengusaha tekstil China akan berat membayar bea cukai yang tinggi. Belum lagi jika ke depannya penetapan bea cukai yang tinggi potensial dalam memperburuk hubungan dagang dan maupun hubungan politik Indonesia-China.
Sebenarnya tanpa satgas dan tanpa kebijakan menaikkan bea cukai, Indonesia sudah memiliki perangkat yang cukup mampu memperkuat pemeriksaan di perbatasan terkait barang impor. Hanya saja, selama ini perangkat-perangkat tersebut tidak dimaksimalkan. Tidak tampak upaya menempatkan para petugas bea cukai yang amanah, juga tidak terlihat ada pemberian sanksi yang tegas pada petugas yang menerima sogok.
Negara justru lebih disibukkan dengan memberi imbauan-imbauan. Misalnya seperti yang dilakukan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, agar pakaian yang beredar di pasar dan e-commerce, baik buatan lokal maupun impor haruslah memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI). Faktanya pakaian tanpa label SNI tetap membanjiri pasar dalam negeri karena imbauan hanya sekedar imbauan saja.
Negara hanya berperan sebagai regulator yang mempertemukan penjual dengan pembeli dengan memberi aturan-aturan ala kadarnya. Negara telah abai dari melindungi produsen lokal seolah ratusan pabrik tekstil yang tutup belum dianggap sebagai bencana besar. Padahal dengan membanjirnya produk tekstil legal saja sudah membuat pengusaha tekstil lokal ketar-ketir, sekarang malah ditambah badai impor tekstil ilegal.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator dan bukannya pengurus urusan rakyat. Sangat kontras dengan negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam. Dimana seluruh warga negara dibolehkan memproduksi dan menjual produknya baik di dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi aturan-aturan Islam. Diantaranya tidak melakukan penimbunan, tidak menjual barang haram, tidak mematok harga, dan tidak curang. Dan jika ada barang ekspor impor yang akan berdampak buruk bagi rakyat, maka negara akan dengan tegas menghentikannya.
Terkait pemenuhan sandang, negara yang menerapkan hukum Islam akan mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan tekstil dan pakaian dalam negeri tanpa tergantung pada produk luar negeri. Impor hanya akan dilakukan untuk bahan baku yang tidak ada di dalam negeri saja. Negara juga akan membangun infrastruktur pendukung, meningkatkan strategi penjualan dan promosi tekstil dan pakaian lokal, serta memberi kemudahan memperoleh bahan baku produksi tekstil dalam negeri. Dengan begitu akan bisa dihasilkan tekstil dan pakaian yang berkualitas namun terjangkau oleh masyarakat.
Semoga pemerintah dan lembaga-lembaga terkait segera mengambil langkah sigap untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia sebelum bencana gelombang tutupnya industri-industri tekstil dan PHK besar-besaran terus terjadi. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!