Rabu, 12 Jumadil Akhir 1446 H / 19 Oktober 2022 16:29 wib
38.778 views
Eksploitasi Atas Nama Investasi? Keruk!
Oleh: Vivin Indriani
Pemerintah berupaya mewujudkan transformasi ekonomi dengan penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi industri, diantaranya kepada PT Freeport Indonesia. Salah satu wujudnya adalah melakukan kolaborasi dengan dunia akademik. Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dipilih sebagai kampus pertama diadakannya penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) untuk pendidikan dan pelatihan sebagai bentuk hilirisasi industri tersebut. Bertempat di Graha Sepuluh November ITS Selasa (4/10/2022), Orasi Ilmiah bertajuk Transformasi Ekonomi melalui Hilirisasi dengan Kearifan Lokal yang juga akan digelar di sejumlah kota lainnya di Indonesia.
Dalam Orasi Ilmiah oleh Chairman of The Board and CEO Freeport McMoRan, Richard C. Adkerson menyebut bahwa PT Freeport Indonesia menjanjikan akan menambah nilai investasinya hingga USD 18,6 miliar atau setara Rp 282,32 triliun hingga tahun 2041. Nilai investasi tersebut terbagi menjadi USD 15,6 miliar untuk penanaman modal dan sebesar USD 3 miliar akan digunakan untuk pembangunan smelter di Gresik Jawa Timur. Artinya hingga tahun 2041, PT Freeport Indonesia mengklaim akan memberikan keuntungan investasi besar tidak hanya bagi Indonesia, namun juga Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dipilihnya pabrik smelter milik perusahaan Amerika tersebut. Benarkah demikian?
Atas Nama Investasi, Keruk!
Dari awal beroperasinya sejak 1967 yang diawali dengan Penandatangan Kontrak Karya (KK) 1, PTFI merupakan salah satu pionir Penanaman Modal Asing (PMA) pertama yang memperoleh hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1988 mereka menemukan cadangan Grasberg yang merupakan satu-satunya cadangan emas terbesar dan cadangan tembaga terbesar kedua di dunia. Dari temuan tersebut, Freeport terus mengupayakan perjanjian kontrak kerja baru. Alasannya, investasi yang dilakukan untuk operasi Grasberg sangat besar.
Alhasil, Pada 30 Desember 1991 Kontrak Karya/KK antara Freeport dan Pemerintah Indonesia ditanda tangani untuk masa berlaku selama 30 tahun, hingga berakhirnya tahun 2021. Padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.
Pertambangan Grasberg secara terbuka telah habis pada 2019 karena cadangan emas dan tembaganya telah habis dikeruk dan kini Freeport beralih dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah skala besar. Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan berdasarkan data 2018, Freeport memproduksi 6.065 ton konsentrat per hari.
Dalam data Freeport, dalam setiap ton konsentrat 26,5% adalah tembaga, Lalu setiap ton konsentrat mengandung 39,34 gram emas. Kemudian dalam setiap ton konsentrat mengandung 70,37 gram perak. Jadi pada praktiknya, Freeport mengambil 240 kg lebih emas per hari selama setengah abad lebih dari sana. Dengan hasil sebesar itu seharusnya sangat cukup untuk membangun Papua dan Indonesia secara keseluruhan jika saja proses penambangannya diambil alih sendiri oleh Indonesia.
Pada 2018 akuisi oleh Indonesia sebesar 51,24 persen saham PT Freeport Indonesia dilakukan. Penandatanganan Ijin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK) yang merupakan perubahan bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan sampai dengan 2041 serta 51,24% saham perusahaan kini telah dimiliki oleh perusahaan plat merah nasional Indonesia.
Presiden Joko Widodo berpidato tentang keberhasilan Indonesia menguasai separuh saham Freeport dan menyebutnya sebagai prestasi luar biasa. Namun ekonom senior Faisal Basri justru menyebut langkah ini adalah sesuatu yang menyedihkan, sebab area tambang itu sejak awal adalah milik Indonesia dan tidak pernah menjadi milik asing. Menurutnya ini sama seperti membeli milik sendiri. Kata Faisal, utang yang dipakai untuk membiayai transaksi tersebut banyak dari penerbitan obligasi global (global bond) dengan nilai yang sangat besar. Totalnya mencapai 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp55,8 triliun. Menurutnya, risiko utang dalam bentuk global bond lebih besar ketimbang pinjaman multilateral/bilateral. Utang lewat multilateral/bilateral bunganya lebih kecil. Pembayaran pun bisa direstrukturisasi jika ada potensi gagal bayar.
Persoalan berlanjut ketika Freeport memilih membangun smelter justru di Pulau Jawa. Pemerintah memberi akses dan perhatian cukup besar pada pembangunan smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik ini. Berbagai infrastruktur dibangun memuluskan perputaran aktifitas industri, mulai dari jalan, bandara, pelabuhan, tol hingga kereta api. Nilai investasi Freeport membuat peringkat Penanaman Modal Asing (PMA) Jatim tinggi.
Freeport sendiri mengklaim bahwa mereka berkontribusi cukup besar bagi Indonesia. Alhasil, eksploitasi terus berjalan, sedangkan masyarakat negeri ini tetap miskin. Harta mereka ditambang bertahun-tahun dari perut bumi, sementara rakyat hanya memperoleh sisa-sisa remahan dan mereka tetap seperti semula, miskin dan terbelakang.
Islam, Solusi Masalah Tambang Paripurna
Keputusan Rasulullah sebagai kepala negara pertama kaum Muslimin terkait persoalan sumber daya alam diambil dari dalil :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadits di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya, berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] perserikatan manusia dalam ketiga hal itu. Api diibaratkan pula sebagai energi atau barang tambang yang menjadi milik bersama bagi rakyat.
Maka demikianlah yang seharusnya terjadi dalam pengelolaan barang tambang di negeri ini. Negara hanya mengelolanya dan menjadikan hasilnya sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Bukan menyerahkannya kepada asing dan swasta. Dalam sebuah negara dengan Sistem Ekonomi Kapitalistik, Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse) akan senantiasa terjadi. Di mana sebuah negeri yang kaya SDA, justru penduduknya hidup miskin dan tak layak. Karena semua sumber daya alamnya dikeruk habis-habisan oleh asing sementara masyarakat sekitarnya tak mendapat banyak manfaat dari keberadaan barang tambang berharga tersebut.
Sudah saatnya masyarakat berpikir untuk menggali dan menemukan konsep tata kelola perekonomian dan perindustrian yang lebih manusiawi serta mengutamakan kepentingan masyarakat banyak, dibanding menyerahkan mentah-mentah kekayaan alam yang dimiliki atas nama investasi. Sistem layak yang perlu dikaji tersebut adalah sistem ekonomi Islam. Yang muara seluruh peraturannya dibuat oleh Sang Pencipta manusia dan alam semesta seisinya. Tentu saja tidak akan merugi manusia menggunakannya. Apalagi telah teruji sepanjang peradaban Islam berjaya 1300 tahun lebih pernah menguasai dua per tiga wilayah dunia. Wallahu’alam. (rf/vo-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!