Ahad, 28 Jumadil Akhir 1446 H / 20 September 2020 22:22 wib
8.441 views
Mati Rasa Demokrasi, Mencari Alternatif Sistem Pengganti
Oleh: Dessy Fatmawati
“Partai politik umumnya mendapatkan uang dari upeti-upeti dari Pilkada dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Disitulah dimulai ‘Politik Uang’. Cabub, Cagub, Capres tinggal sewa bus-bus Parpol, apalagi ada syarat Threshold — itu adalah ‘sekrup pemerasan’ yang menghasilkan demokrasi kriminal !! Itulah mengapa demokrasi di Indonesia tidak membawa kesejahteraan rakyat. Sehabis itu mereka lupakan rakyat, karena sibuk menjadi begal untuk kembalikan uang ke sponsor sewa bus partai & perkaya diri & keluarganya,” ujar Rizal Ramli atau biasa disapa Bang RR dalam cuitan di Twitter-nya, @RamliRizal, di Jakarta, Senin (4/5).
Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) per 23 April mencatat 51 negara menunda pemilu. 17 negara di antaranya menunda pemilu nasional. Dan ada 8 negara menyelenggarakan pemilu di tengah corona. Salah satunya Korea Selatan (Korsel) yang menyelenggarakan pemilu DPR pada 15 April dengan 10 ribu lebih orang positif covid-19.
Kini Korea Selatan sedang menghadapi gelombang kedua COVID-19 yang lebih dahsyat dari gelombang pertama. Korea Selatan dijadikan contoh yang menjanjikan bahwa pesta demokrasi tetap bisa digelar. Angka partisipasi sebesar 66%, terlebih ini adalah angka partisipasi terbaik sejak 1992, harusnya membuat pengusung demokrasi meninjau ulang sistem ini. Namun, dari tiga opsi tanggal pelaksanaan baru yang ditawarkan oleh KPU yakni tanggal 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021. Pemerintah memilih opsi pelaksanaan tanggal 9 Desember.
“Masalah COVID-19 ini kalau kita disiplin selesai. Tapi kan banyak yang lalai, tidak disiplin sehingga diusulkan Pilkada ditunda tahun depan. Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu nggak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk Prolegnas, itu hanya bisa dengan Perppu, Perppu tergantung KPU mau usulkan nggak,” terang Mahfud dalam diskusi daring Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertajuk ‘Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan COVID-19 di Indonesia’, Sabtu 12 September 2020
Egois adalah Nama Tengah Demokrasi
Pada diskusi "Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia" sekitar 91% yang mengikuti polling meminta agar pilkada ditunda karena tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada. Sekitar 99% peserta mendesak pemerintah menerbitkan payung hukum yang memberikan kenyamanan kepada para pengambil keputusan untuk mengatasi Covid-19 dan mencegah masyarakat dari kelaparan dan kekurangan nutrisi.
Peneliti Mohammad Qodarimenyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik.
Jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) x 77,5% = 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, kata Qodari, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari "H" mencapai 82,15 juta orang x 19% = 15,6 juta orang.
Maka kekehnya pemerintah mengadakan pilkada tahun ini menegaskan bahwa pilkada menjadi instrument penting mempertahankan kekuasaan demokrasi. Tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan, sebagaimana kita berkaca atas gugurnya 700 petugas pemilu tahun lalu.
“Sometimes democracy must be bathed in blood” - Augusto Pinochet
Mencari Alternatif selain Demokrasi, Adakah?
Di tengah dominasi opini, bahwa hampir-hampir tidak mungkin melepas demokrasi, sesungguhnya penerapan demokrasi sejak kemerdekaan RI diakui atau tidak mengalami penurunan pamor. Meski agenda Islamophobia, deradikalisasi, penderasan moderasi Islam digalakkan, bahkan gelar negara paling demokratis diraih Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak membantu menaikkan kepercayaan masyarakat kepada demokrasi khususnya di kalangan intelektual.
Survei Alvara Research Center (2017) dilakukan terhadap 4.200 milenial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia, 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara. "Di kalangan profesional, yang setuju ideologi Islam sebagai ideologi Indonesia 15,5 persen." ujar CEO Alvara, Hasanuddin Ali di Wahid Foundation, Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Endy Bayumi, yang pada tanggal 9 Mei 2013 di Jakarta Globe menyerukan secara terbuka menyerukan pada media-media di Indonesia agar bekerja sama memastikan bahwa kelompok ekstrimis Islam yang ia labeli “radikal dan garis keras” tidak memiliki suara yang dipublish media. Namun tak lama, tahun 2017 Jakarta Globe justru menerbitkan hasil survey 11 persen pelajar di Indonesia setuju khilafah sebagai sistem pengganti demokrasi.
Pelan tapi pasti, tuduhan bahwa penerapan syariah selalu berlumuran darah, tidak manusiawi, membawa manusia pada kemunduran peradaban, menghilang. Bersamaan dengan tersibaknya tabir-tabir peradaban Barat yang kita kenal mempropagandakan keadilan, kebebasan, kemakmuran namun tak lebih dari kebutralan hukum buatan manusia.
Teruntuk kaum muslim, mengutip tulisan Yudha Pedyanto, sebenarnya yang kita perlukan bukan data aktual atau riset saintifik, tapi leap of faith, lompatan keimanan, bahwa semua yang Allah dan RasulNya perintahkan, pasti membawa kebaikan dan keberkahan, dunia dan akhirat, sekalipun belum tergambar manfaat-mudahratnya oleh kita. Seperti ketika Allah SWT memerintahkan Musa 'alaihi salam untuk menghentakkan tongkatnya, atau Nuh 'alaihi salam untuk membangun bahtera, mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi mari kita saling berpegangan tangan, kemudian “lompat” bersama-sama untuk menerapkan syariah kaffah dalam sistem Islam. Bismillah. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!