Senin, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 25 November 2013 05:07 wib
25.585 views
Taqiyyah: Strategi Syi'ah di Tengah Mayoritas Sunni
Oleh: Ustadz Bakir
Diakui atau tidak. Syi’ah merupakan aliran yang lahir akibat pergolakan politik dan kepentingan-kepetingan ideologi. Keberadaannya selalu menjadi saingan ketat dengan kelompok sunni. Dontrin-doktrin, pemahaman fiqh dan lainnya selalu tidak sejalan dengan paham sunni. Salah satu dotrin Syi’ah yang tidak ditemukan dalam doktrin Sunni adalah ‘Taqiyah’.
Mayoritas Muslim indonesia adalah penganut Sunni yang dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang juga merupakan mayoritas penduduk muslim di dunia, tetapi terdapat juga penganut Syi’ah yang hidup di tengah kaum mayoritas tersebut.
Kemudian kami kerucutkan maksud Syi’ah dalam tulisan ini kepada syi’ah itsna ‘asyariyah (kadang-kadang di sebut syi’ah imamiyah), yakni aliran |Islam yang meyakini dua belas imam sepeninggal Rasulullah dan mempraktikkan fiqh Ja’fari dalam kehidupan sehari-hari. Syi’ah adalah aliran Islam (tepatnya sempalan Islam) minoritas yang dalam berbagai aspek berbeda dan bertentangan dengan Islam sunni.
Eksistensi kelompok Islam Syi’ah di Indonesia, seperti halnya di daerah lain di luar iran, masih belum banyak diketahui oleh pemimpin muslim sendiri. Padahal beberapa penulis beranggapan bahwa syiah sudah masuk ke wilayah nusantara sejak awal kedatangan Islam dan pengaruhnya cukup kuat dalam tradisi Islam di nusantara.
Dasar Doktrinal ‘Taqiyah’
Secara umum taqiyyah adalah strategi menyembunyikan keyakinan di hadapan musuh untuk menghindari terjadinya bencana (Alatas 2002: 142). Dalam pengertian ini, meskipun konsep ini sering dianggap sebagai khas Syi’ah, praktiknya sangat umum khususnya bagi kelompok penganut agama atau aliran minoritas yang berada di bawah penguasa otoritarian yang opresif. Hanya saja mereka tidak menggunakan konsep taqiyyah. Dalam pandangan sebagian besar kaum Sunni, konsep taqiyyah memiliki makna negatif yang identik dengan kebohongan dan kemunafikan. Oleh sebab itu, Jalaluddin Rahmat mengusulkan untuk tidak menggunakan istilah taqiyah untuk menyebut praktik tersebut. Sebagai alternatifnya, ‘pendekatan yang luwes dan silaturrahmi’, misalnya, adalah istilah netral yang bisa diterima secara umum. Dengan penggunaan istilah netral tersebut, prakteik taqiyah dapat dibenarkan.
Bagi kelompok Syi’ah, taqiyah tentu saja dipahami secara positif. Jalaluddin Rahmat (1998:1viii) yang mengutip pandangan Khomeini menulis bahwa taqiyah berbeda dengan kemunafikan. Kalau kemunafikan adalah penyembunyian kekufuran dan penampakan keimanan, taqiyah adalah sebaliknya yakni penampakan kekafiran dan penyembunyian keimanan karena alasan-alasan tertentu. Mereka mengakui bahwa ajaran dan praktik taqiyah mempunyai landaan doktrinal yang kokoh dalam ajaran islam. Mereka biasanya menggunakan sejumlah dalil naqli maupun dalil aqli untuk melegitimasi praktik taqiyah dimaksud. Selain itu, taqiyah juga diyakini sudah dipraktikkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW, dan praktik tersebut dibenarkannya. Salah satu dalil naqli yang paling sering dipakai adalah ayat al-Qur’an (3:28) yang artinya:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia daripertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali”
Menuru mereka, taqiyah dibenarkan tidak hanya karena alasan takut tetapi juga demi persatuan di kalangan kaum Muslimin. Berkenaan dengan tipe ini yakni taqiyah mudarat. Jalaluddin Rahmat (Rahmat 1998:1ix) mengutip fatwa khomeini:” yang dimaksud dengan taqiyah mudarat ialah taqiyah yang dilakukan untuk mempersatukan kaum muslimnin dengan menarik kecintaan para penentang dan memperoleh kasih sayang mereka; bukan karena menghawatirkan adanya ancaman seperti taqiyah khauf”. Dalam praktiknya, seseorang menyembunyikan sikap sesungguhnya, termasuk sikap negatif terhadap kelompok lain yang berbeda paham dengan menampilkan tindakan yang positif sehingga dapat mencapai ukhwah islamiyah. Singkatnya, bagi penganut Syi’ah Indonesia terdpat dua tipe taqiyah yakni taqiyah karena takut dan taqiyah untuk persaudaraan yang memiliki landasan doktrinal yang kokoh.
Strategi Taqiyah
Meskipun taqiyah tidak identik dengan rahasia, namun praktik taqiyah berkaitan erat dengan rahasia. Yang jelas, taqiyah berkenaan dengan persoalan apakah yang perlu dirahasiakan atau disembunyikan. Dalam defini taqiyah di atas, yang disembunyikan adalah keyakinan. Tetapi, keyakinan berkaitan erat dengan identitas penganutnya, lembaga-lembaga, praktik-praktik keagamaan serta atribut-atribut yang terkait. Sebagai sebuah aliran, syi’ah mencakup sistem keyakinan, figh, unsur ketaqwaan, dan prinsip-prinsip lain yang semuanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian, aspek-aspek yang dirahasiakan menjadi jamak. Yang menjadi persoalan adalah aspek mana yang penting untuk dirahasiakan dan bagaimana caranya. Persoalannya kemudian menjadi semakin rumit ketika dihadapkan kepada prinsip-prinsip missionaris (dakwah) sebagai karakteristik umum agama dan mazdhab yang mengharuskan penganutnya menyebarluaskan ajarannya kepada yang lain dan menarik pengikut sebanyak mungkin.
Strategi yang paling umum dilakukan oleh penganut Syi’ah adalah pengendalian informasi atau secara lebih luas, menejemen informasi. Dalam konteks indentitas kesyi’ahan, penganut syi’ah berupaya mengontrol informasi baik yang berkenaan dengan identitas personal dan kolektif maupun yang berkaitan dengan tanda-tanda dan istilah-istilah kesyi’ahan. Pengendalian informasi itu diterapkan baik dalam suasana formal seperti pertemuan resmi, dialog, wawancara bagi kepentingan riset ataupun media maumpun dalam kehidupan kesehariaan.
Ada cara-cara tertentu yang diterapkan dalam pengendalian informasi tersebut. Yang pertama adalah memberikan jawaban atau penjelasan ambigu. Sejauh observasi yang dilakukan, jarang sekali dijumpai mereka yang mengakui bahwa dirinya adalah penganut Syi’ah. Strategi kedua adalah adaptasi, yakni melakukan penyesuaian terhadap norma dan aturan standar mayoritas. Pada umumnya, adaptasi dilakukan berkenaan dengan ibadah atau ritual-ritual keagamaan. Ini tergambar dalam sejarah dan perkembangan Syi’ah di Indonesia. Yang terakhir dari tulisan ini adalah, baik strategi pengelolaan infomrasi maupun strategi adaptasi di atas merupakan bagian dari strategi reproduksi di mana kelompok syi’ah yang mengalami stigmasisasi berupaya mempertahankan eksistensi diri, lembaga-lembaga, dan madzhabnya. Oleh karena itu, melalui tulisan singkat ini, penulis mengingatkan, kita sebagai Muslim berhaluan Sunni yang notabena ahlussunah wa al-Jamaah hendaknya berhati-hati dengan propaganda Syi’ah dengan strategi mereka. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!