Jum'at, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 15 November 2013 22:01 wib
62.427 views
Dusta 'Setan' Jalaludin Rakhmat: IJABI Mengkafirkan Muslim Indonesia
Makassar (voa-islam.com) Dusta super bejat dari Jalaludin Rakhmat ini berhadapan depan jutaan umat Islam dan Ulama yang terus konsisten dalam Islam hingga kiamat. Justru Si Jalal yang murtad sejatinya!
IJABI MENGKAFIRKAN MUSLIM INDONESIA! SUPER DUSTANYA!
Hal ini terungkap dari buletin IJABI Sulawesi Selatan yang bekerjasama dengan IJABI Jawa Barat membagi-bagikan buletin dakwah Al-Tanwir pada acara asyura Syiah 1431 H di Makassar.
Makalah pertama dalam bulletin tersebut adalah tulisan ‘KH. alias Kafir Harbi’ Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Bersama Al-Husein: Hidupkan Kembali Sunnah Nabawiyah (Sebuah Pengantar Asyura)”
“Mengapa Imam Husein bertekad menemui kesyahidannya? Apa yang melatarbelakangi beliau untuk tetap berangkat? Itu yang menjadi pertanyaan banyak orang. Dan sekarang saya akan menjelaskan mengapa. Latar belakang ini cukup panjang sebenarnya. Banyak hadis yang membicarakannya, tetapi di sini akan saya bacakan beberapa saja” tulis pak Jalal mengawali tulisannya.
Di antara jawaban yang dikemukakan Jalaluddin Rakhmat adalah karena para sahabat yang baru saja ditinggal oleh Nabinya itu merubah-rubah agama dan kembali murtad. Kembali menjadi orang-orang jahiliyah. Dan kembali menjadi orang kafir.
Dia beralasan dengan beberapa hadis,
“Di salam Shahih Bukhari dan juga dalam Shahih Muslim, Nabi bercerita tentang hari kiamat. ‘Nanti pada hari kiamat -kata Rasulullah- aku akan menunggu di telaga al-Kautsar, kemudian datanglah kepadaku serombongan orang yang mengenalku dan aku mengenal mereka. Begitu dekat tiba-tiba mereka ditarik lagi dan aku berteriak, ‘Ini Sahabatku. Ini sahabatku’, lalu dikatakan kepadaku: Kamu tidak tahu bahwa mereka sudah mengubah-ubah agama sepeninggalmu.’ Lalu Rasulullah Saw bersabda: ‘Semoga dijauhkan dari kasih sayang Allah buat orang-orang yang mengubah-ubah agama sepeninggalku’.” Tulis Jalaluddin Rakhmat. “Masih dalam Shahih Bukhari diriwayatkan oleh beberapa sahabat lain, di antaranya ialah Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata: Ketika sahabat-sahabat itu digiring dijauhkan, Rasulullah bertanya, ‘Mau dibawa kemana ini sahabatku?’ ke neraka, jawabnya. Lalu dikatakan kepada Rasulullah Saw: Tidak henti-hentinya mereka itu murtad meninggalkan agama kamu setelah engkau meninggalkan mereka. Innahum lam yazaaluu murtaddiin ‘ala a’qabihim mundzu faraqtahum. Rasulullah sangat sedih, bahwa sahabatnya akan murtad sepeninggal dia.”
Jalaluddin Rakhmat melanjutkan. Jalaluddin Rakhmat dalam makalah Asyura-nya tersebut sengaja mengutip hadis dan membiarkan maknanya secara zahir ditangkap oleh orang awam, yaitu murtadnya para sahabat. Dan begitulah memang yang diinginkannya. Dan bahkan menyimpulkannya dengan berkata, ‘Rasulullah sangat sedih, bahwa sahabatnya akan murtad sepeninggal dia.’
Tanggapan dan Jawaban:
Jalaluddin Rakhmat memang berniat menggiring para pembaca menuju konklusi tersebut di atas tanpa menjelaskan makna hadis yang sebenarnya dan kemudian berkilah ‘Pekerjaan saya hanya mengutip dari kitab-kitab.’ Padahal hadis seperti ini haruslah disertai dengan penjelasan para ulama.
Maka untuk menjawab dan menjelaskan hadis Haudh yang derajat validitasnya shahih tersebut kami nukilkan penjelasan Syaikh Dr. Utsman Al-Khumais dalam bukunya, “Membantah Argumentasi Syi’ah” hal 99-104 berikut ini, Yang dimaksud dengan hadis haudh adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “(Kelak) datang kepadaku orang-orang yang kukenal mereka dan mereka pun mengenalku.
Tapi, mereka lantas disingkirkan dari telaga (yakni telaga nabi di hari kiamat). Sehingga, aku berkata, ‘Mereka itu sahabat-sahabatku.’ Lantas dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka buat-buat sepeninggal dirimu’.” (Shahih Al-Bukhari, no. 474, 7049; dan shahih Muslim, no. 37) Dalam jalur-jalur periwayatn lain, hadis ini memiliki tambahan, bahwa di akhir, Nabi bersabda, “Maka aku pun berkata, ‘Sungguh celaka mereka. Sungguh celaka mereka’.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7051; dan Shahih Muslim, no. 39)
Pertanyaannya, siapakah orang-orang yang disingkirkan dari telaga itu? Syiah Itsna Asyariyah mengatakan, bahwa mereka adalah para sahabat Nabi. Jikalau memang demikian, maka apa gunanya kita memuji-muji sahabat Nabi karena pada dasarnya mereka disingkirkan dari telaga, dan diteruskan dengan penilaian Nabi, “Sungguh celaka mereka.”
Oleh karena itu, seraya memohon pertolongan kepada Allah, kami perlu menjelaskan secara gamblang hal ini.
Pertama, bahwa sahabat-sahabat yang dimaksud dalam hadis di atas adalah orang-orang munafik yang ketika hidup di dunia menjadi sahabat Nabi. Di hadapan Nabi, mereka menampakkan keislaman, tetapi di dalam hati mereka menyembunyikan kekafiran. Ini sejalan dengan firman Allah, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya -benarkamu benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah pun menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (Al-Munafiqun (63): 1) Bisa saja seorang mempertanyakan, bukankah dahulu Nabi telah mengetahui siapa saja yang munafik, sehingga semestinya di hari kiamat beliau tidak perlu terkejut seperti itu? kami jawab, memang benar, tetapi beliau hanya mengetahui sebagian mereka, tidak semuanya. Oleh sebab itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (juga ada orang-orang munafik). Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, tetapi kami mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemduian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-taubah (9): 101) Allah menjelaskan, bahwa Nabi tidak mengetahui semua orang munafik, sehingga beliau mengira mereka termasuk sahabatnya padahal sebenarnya bukan, karena mereka adalah kaum munafik.
Kedua, yang dimaksud dengan sahabat-sahabat dalam hadis ini adalah orang-orang yang murtad setelah Rasulullah wafat. Diketahui, setelah Nabi meninggal dunia, sebagian orang Arab murtad. Mereka murtad meninggalkan agama Allah sehingga Abu Bakar Ash-Shiddiq bersama para sahabat memerangi mereka. Pertempuran-pertempuran itu dikenal dengan sebutan perang Riddah (perang terhadap gelombang kemurtadan). Jadi, maksud orang-orang yang dinilai celaka oleh Nabi di atas adalah orang-orang yang murtad dari Islam sepeninggal beliau. Baik tafsiran yang pertama maupun tafsiran yang kedua di atas, para sahabat Nabi tidak termasuk di dalamnya. Kenapa? Karena dalam mendefinisikan sahabat Nabi, kita berkata: “Setiap orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman pada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (tetap beriman dan berislam)”. Sehingga, tafsiran pertama bahwa orang-orang yang disingkirkan dari telaga adalah orang-orang munafik, itu karena mereka tidak beriman secara lahir dan batin kepada Nabi, dan dengan demikian mereka tidak masuk dalam kategori sahabat Nabi. Untuk tafsiran yang kedua bahwa orang-orang itu adalah kaum murtadin, itu karena mereka mati tidak dalam keadaan Islam, dan dengan begitu mereka juga tidak masuk dalam kategori sahabat Nabi. Adapun bila definisi yang mereka pakai terhadap sahabat Nabi adalah setiap orang yang melihat Nabi, maka konsekuensinya Abu Jahal juga termasuk sahabat Nabi. Demikian pula Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, Walid bin Utbah dan orang-orang musyrik lainnya, mereka semua termasuk sahabat Nabi. Jelas definisi semacam ini tidak bisa kita terima selamanya. Yang kita nyatakan sebagai sahabat Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Thalhah, Abu Ubaidah, Saad bin Abu Waqqash, Saad bin Muadz, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Fathimah, Aisyah, Hasan dan Husein serta masih banyak lagi lainnya. Mereka inilah para sahabat Nabi. Siapakah di antara mereka yang menjadi munafik? Dan siapakah di antara mereka yang murtad meninggalkan agama Allah? Tidak ada. bahkan sebaliknya, mereka semua beriman kepada Rasulullah, bertemu dengan beliau dan mati dalam keadaan yang tetap sama seperti itu. Inilah yang dapat kita saksikan dari berbagai fakta sejarah. Adapun tentang keadaan mereka yang sebenarnya, itu hanya Allah yang tahu. Intinya, jawaban atas syubhat hadis haudh ini adalah: pertama, bahwa sabda Nabi “Sungguh celaka mereka” ditujukan pada orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, sedangkan Nabi tidak mengetahui jati diri mereka itu di dunia. Atau kedua, mereka adalah orang-orang yang murtad sepeninggal Rasulullah. Ketika Nabi masih hidup mereka termasuk muslimin, tetapi setelah Nabi wafat mereka murtad dan meninggalkan Islam. Ada jawaban ketiga, yakni setiap yang bersahabat (berteman) dengan Nabi tetapi tidak mengikuti beliau. Contohnya seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, yang sebagaimana diketahui, dia adalah pemimpin kaum munafik. Ia pulalah yang berkata, “Sungguh jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang yang terhormat akan mengusir orang yang hina.” Dan dia juga yang berkata, “Tiadalah perumpamaan kita dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya kecuali seperti perkataan orang-orang dulu, ‘Gemukkan anjingmu, ia pasti memakanmu’!” orang seperti ini disebut Nabi termasuk sahabat beliau. Jadi, menurut jawaban yang ketiga, inilah maksud sahabat dalam hadis tadi. Maka di sini tampak bahwa definisi tentang sahabat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu, “Setiap yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman pada beliau dan mati dalam keadaan tersebut (tetap beriman dan berislam)” merupakan definisi yang dinyatakan oleh generasi belakangan. Adapun ucapan orang-orang Arab bahwa “Setiap orang yang menyertai seseorang berarti ia termasuk sahabatnya, tanpa memandang apakah dia muslim atau tidak, mengikuti jalan hidupnya atau tidak.” Maka ini konteksnya umum dan bukan dalam persoalan mendefinisikan sahabat Nabi. Karenanya, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan perkataan busuknya, “Niscaya orang yang terhormat akan mengusir orang yang hina”, Umar bin Khathab berdiri mendatangi Rasulullah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya memenggal leher orang munafik ini.” Maka Nabi bersabda, “Tidak wahai Umar, jangan sampai manusia mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” (Shahih Al-Bukhari, no. 4907; Shahih Muslim, no. 63). Nabi memang menyebutnya dengan kata sahabat, sekalipun ia dedengkot kaum Munafik. Namun, maksudnya tetap dia tidak termasuk dalam kumpulan orang-orang yang secara istilah khusus dinamai sebagai sahabat Nabi. Selain itu, bisa jadi maksud sahabat yang dinyatakan celaka dalam hadis haudh tadi juga adalah orang-orang yang mengikuti agama Nabi ini walaupun tidak bertemu langsung dengan beliau. Dan kemudian setelah itu, orang-orang itu mengalami kondisi kemunafikan ataupun kemurtadan. Jika begitu, maka kita juga termasuk dalam celaan di hadis ini jika kita mengalami kemunafikan dan kemurtadan. Karena itulah, maka sebagian riwayat hadis tadi dari jalur lain berbunyi, “Ummati, ummati (mereka itu umatku)” (Shahih Al-Bukhari, no. 7048) sebagai ganti bagi penyebutan sahabat. Dan kita ini, termasuk dalam umat beliau. Mungkin ada yang masih belum bisa menerima, “Bagaimana mungkin maksudnya seperti itu, sementara dalam hadis tadi tersebutkan kata Nabi, ‘Aku mengetahui mereka dan mereka mengetahuiku’?”
Maka kita jawab, bahwasanya Nabi telah menerangkan bahwa beliau mengenali umatnya melalui bekas-bekas wudhu. Jika seandainya ada orang-orang nawashib –orang yang membenci keluarga Nabi yaitu Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan lainnya- mengatakan, “Mereka itulah –maksudnya Ali dan lain-lain itu- yang murtad. Merekalah yang dihalau dari telaga. Mereka adalah Ali, Hasan dan Husein.” Bagaimana kita akan memberi jawaban pada mereka? kita bisa mengutarakan pada mereka, “Sahabat-sahabat yang disebut dalam hadis ini (dan bahkan dicela Nabi) bukanlah mereka yang kalian maksud itu. justru nama-nama yang kalian sebut itu, tentang mereka terdapat riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan-keutamaan mereka.”
Kembali kepada Syiah, bukankah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Abu Ubaidah juga ada riwayat-riwayat yang menuturkan keutamaan mereka? lantas mengapakah Ali –oleh kaum Syiah- tidak dimasukkan dalam kategori sahabat yang dicela Nabi jika Abu Bakar dan Umar dimasukkan kesana? Jadi, inti kesimpulannya, hadis haudh tadi tidak berbicara mengenai sahabat-sahabat Nabi. (lppimakassar.com/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!