Rabu, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 21 September 2011 14:36 wib
17.824 views
Mengapa Umaro dan Ulama Tidak Dipercaya?
Yang menghancurkan Islam, yaitu tergelincirnya orang alim, bantahan orang munafik dengan dalih Al-Qur’an, dan keputusan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.
(Atsar Umar, Riwayat ad-Darimi, isnadnya –pertalian riwayatnya—shahih).
Dalam urusan menetapkan tanggal 1 Syawal 1432 H lalu, terkesan ada sekelompok masyarakat Islam yang tidak mematuhi keputusan yang dibuat secara demokratis oleh umaro dan ulama, melalui sidang itsbat yang berlangsung 29 Agustus 2011 malam. Meski umaro (dalam hal ini Menteri Agama) dan ulama (dalam hal ini perwakilan MUI) memutuskan 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, namun sejumlah masyarakat Islam mengabaikannya, dan tetap merayakan Idul Fithri pada 30 Agustus 2011.
Meski umaro dan ulama sudah mendasarkan keputusannya pada hasil ru’yatul hilal di sejumlah titik pengamatan, dan hasilnya konon hilal belum terlihat, namun sebagian masyarakat lebih percaya pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh pihak-pihak non pemerintah, seperti ru’yatul hilal yang dilakukan di Ponpes Al Husainiah, Kampung Baru, Cakung, Jakarta Timur. Penolakan wakil ulama terhadap ru’yatul hilal Cakung, justru dicurigai bermuatan ada udang di balik batu.
Apa sebabnya?
Salah satu penyebabnya adalah, kemungkinan, pada sosok yang mewakili umaro dan ulama itu sendiri. Maksudnya, masyarakat Islam sudah terlanjur mengenali mereka sebagai sosok yang kurang bisa dipercaya. Apalagi, bila ditambah dengan alasan-alasan mereka mengambil keputusan atau kesepakatan berlandaskan kepada argumen yang tidak bisa diterima logika masyarakat awam. Sehingga, masyarakat Islam yang awam sekalipun cenderung mengabaikan keputusan atau kesepakatan yang telah berhasil mereka buat.
Suryadharma Ali
Sosok yang mewakili umaro dalam urusan menetapkan tanggal 1 Syawal ini adalah Suryadharma Ali yang menjabat sebagai Menteri Agama. Selain menjabat sebagai Menteri Agama, Suryadharma Ali juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dicitrakan sebagai salah satu partai berbau Islam.
Masyarakat belum lupa ketika pada 11 Mei 2011 Suryadharma Ali berkunjung ke Al-Zaytun, konon untuk menggali info lebih banyak tentang dugaan adanya keterkaitan antara Al-Zaytun dengan NII KW9 dan modus kriminal cuci otak (kasus Lian Febriani). Sepulang dari Al-Zaytun, Suryadharma Ali menyampaikan kesimpulannya bahwa:
01. Al-Zaytun tidak ada kaitan dengan NII.
02. Al-Zaytun tidak ada kaitan dengan Islam radikal.
03. Al-Zaytun adalah kebanggaan, karena sukses memadukan pendidikan dan kenyataan hidup.
Menurut pengakuan Suryadharma Ali kala itu, ia juga melakukan konfirmasi langsung kepada AS Panjigumilang tentang kaitan historis dan finansial antara Zaytun-Panjigumilang dengan NII KW9. Saat itu Suryadharma Ali mendapat jawaban langsung dari Panjigumilang, bahwa keterkaitan seperti itu tidak ada. (Baca: Inaa LilLaahi…Menteri Agama Jadi Jubir Presiden Aliran Sesat NII KW9?)
Bila Suryadharma Ali punya kesimpulan yang sedemikian positif terhadap Al-Zaytun, pasca kunjungan sesaatnya, maka jangan salahkan bila masyarakat punya kesimpulan yang sedemikian negatifnya terhadap Suryadharma Ali. Karena, soal Al-Zaytun bukan sekedar hasil penelitian yang seharusnya dibantah dengan penelitian setara, tetapi berkaitan dengan akidah, serta pemiskinan dan pembodohan terhadap umat Islam yang dilakukan AS Panjigumilang selama bertahun-tahun, hingga kini.
Kesimpulan dan sikap Suryadharma Ali itu jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sebagai Menteri Agama tidak punya moral obligation, tidak berpihak kepada ummat Islam, tidak bersandar kepada kaidah ilmiah. Coba bandingkan bila seorang Hakim memutus perkara dengan bertanya langsung kepada pelaku korupsi: “Apakah anda melakukan korupsi, dan apakah ada kaitan dengan si anu dan si anu…?” Kemudian pelaku korupsi itu menjawab: “Saya tidak melakukan korupsi dan tidak ada kaitannya dengan si anu dan si anu.”
Maka, berdasar kepada pengakuan itu, sang Hakim memutuskan perkara bahwa si fulan ini tidak melakukan tindak pidana korupsi, sekaligus tidak ada kaitan dengan si anu dan si anu. Bila dari sini, umat Islam menyimpulkan bahwa Suryadharma Ali jahil, maka sudah wajar bila setiap keputusan orang jahil tidak layak dipatuhi.
Meski keputusan umaro dibuat bersama-sama dengan ulama (plat merah), namun karena ulama (plat merah) tadi termasuk sosok yang diragukan kejujurannya, maka kecenderungannya adalah masyarakat lebih setuju kepada keputusan ulama ‘swasta’. Misalnya, ulama Cakung.
KH MA'RUF AMIN
Salah satu ulama (plat merah) yang selama ini dianggap “bermasalah” adalah Ma’ruf Amin. Alasannya, antara lain, Ma’ruf Amin pernah bertindak bagai juru bicara yang mempromosikan LDII, yaitu memberi kesan seolah-olah MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah mengakui ketidaksesatan LDII, padahal MUI masih menyatakan LDII sesat. Bahkan, suatu ketika Ma’ruf Amin pernah menghadiri Rapat Kerja Nasional aliran sesat LDII yang berlangsung di Balai Kartini Jakarta (tanggal 6-8 Maret 2007), padahal MUI melarang anggota-anggotanya menghadiri acara LDII, meski dalam kapasitas sebagai pribadi sekalipun. (selengkapnya bisa dilihat di: Ada Apa dengan KH Ma’ruf Amien dan Aliran Sesat LDII? dan Aliran Sesat Disebut Menduiti)
Faktanya, kesesatan LDII memang masih eksis, hingga kini. Misalnya, seperti bisa dilihat pada kasus Adam Amrullah (34 tahun) yang digugat cerai oleh istrinya Narendra Garini Anutama Natakusumah (28 tahun), karena Adam keluar dari LDII. Bagi kalangan LDII, tindakan itu sama dengan murtad bahkan kafir. (hidayatullah.com edisi 25 Mei 2011)
Adam Amrullah lahir di tengah-tengah keluarga LDII. Bukan hanya kedua orangtuanya yang menjadi jama’ah LDII bahkan kakek-neneknya hingga genereasi keempat di bawahnya adalah jama’ah LDII alias Islam Jama’ah. Keaktifan Adam di LDII membawanya pada kedudukan sebagai Ketua Pemuda LDII Se Jakarta Timur dan pengurus Forum Mahasiswa Islam Jama’ah se Jabodetabek.
Sejak kecil sebenarnya Adam merasakan keanehan ajaran LDII alias Islam Jama’ah ini. Salah satunya, umat Islam di luar jama’ah LDII dinyatakan kafir. Juga, umat Islam sebelum kedatangan Nur Hasan digolongkan jahiliyah. Nur Hasan adalah pendiri LDII alias Islam Jama’ah sekaligus Imam bagi jama’ah dengan nama lengkap Nur Hasan Ubaidah Lubis. Kedudukannya bagai utusan Tuhan. Bahkan bisa lebih tinggi dari Rasul dan Allah SWT. Bila Allah dan Rasul-Nya menghalalkan sesuatu urusan, namun dikatakan haram oleh imam LDII, maka urusan itu hukumnya haram. Dalam pratik ibadah, juga aneh. Jama’ah LDII diharamkan shalat berjama’ah dengan non LDII. Begitu juga dalam hal shalat Jum’at. Menurut Adam, sejak kecil ia dibiasakan shalat Jum’at di mesjid khusus LDII.
Selepas dari jeratan kesesatan LDII, Adam dan kawan-kawan berupaya dengan keras mengajak jama’ah LDII untuk kembali ke pelukan Islam yang benar. Berbagai upaya lain juga dilakukan Adam, antara lain menyampaikan kebohongan LDII yang katanya sudah memiliki paradigma baru. Bahkan Adam pernah presentasi di hadapan petinggi MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Ketika Adam menyampaikan sejumlah kebohongan LDII yang katanya sudah tidak sesat lagi, informasinya justru diragukan oleh (oknum) petinggi MUI. Menurut dia, informasi dari Adam mengandung kepalsuan, sehingga perlu dicek ulang. Saat itu, Adam justru menantang sang oknum MUI tersebut: “… silahkan cross-check.”
Adam merasa aneh dengan sikap orang-orang di MUI, yang tidak menyambut gembira kedatangannya, padahal ia menyampaikan informasi shahih tentang kesesatan LDII yang masih eksis. Begitu juga dengan elite-elite di Kementrian Agama: ada yang mendukung namun ada juga yang biasa-biasa saja, alias dingin-dingin saja.
Suasana berbeda diperoleh Adam ketika ia berada di tengah-tengah komunitas FUI (Forum Umat Islam): kehadiran Adam dan kawan-kawan disambut gembira, disambut dengan pelukan, disayang-sayang, bahkan didoakan sambil menangis haru.
Dari kasus Adam ini saja, kita sudah mendapat bukti bahwa di lingkungan Kementrian Agama dan MUI bisa ditemui oknum pembela kesesatan, bahkan pendukung kekafiran berfikir. Masih ada masalah lain lagi, sosok bermasalah itu mempromosikan buku yang “jualan” aliran sesat Syi’ah.
Mempromosikan aliran sesat syi’ah
Tidak hanya aliran sesat LDII yang diakrabi oleh sosok bermasalah itu. Namun buku yang berisi muatan “jualan” biang aliran sesat yakni Syi’ah pun dia promosikan. Maka wajar ada semprotan dari seorang Ustadz yang memimpin sebuah majalah Islam internasional, intinya sebagai berikut:
Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)
– Ustadz Agus Hasan Bashori Lc, MAg.
Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” ini berisi banyak kebatilan dan fitnah. Diantaranya adalah mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal ini di antaranya:
Mengangkat madzhab Ja’fari dan madzhab Imamiyyah.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis buku SBSSW (“Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”) berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh-Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208).
Demi Allah, Ahlus Sunnah (ahli hadits) di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahul-musta’an!
Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini tidak rasional. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya, bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.
Perlu diketahui, Al-Khumaini berfatwa menganjurkan untuk melaknat ahlussunnah sebanyak-banyaknya :
غيرنا ليسوا بإخواننا وإن كانوا مسلمين.. فلا شبهة في عدم احترامهم بل هو من ضروري المذهب كما قال المحققون، بل الناظر في الأخبار الكثيرة في الأبواب المتفرقة لا يرتاب في جواز هتكهم والوقيعة فيهم، بل الأئمة المعصومون، أكثروا في الطعن واللعن عليهم وذكر مساوئهم
المكاسب المحرمة – الخميني: 1 / 251 ، الطبعة الثالثة 1410هـ، مطبعة إسماعيليان، قم
Bahkan di halaman yang sama (1/251) Khumaini menegaskan bolehnya berdusta dan menfitnah ahlussunnah dalam madzhab syiah!!!
Senada dengan Khumaini, al-Anshari juga membolehkan menggunjing dan melaknat ahlussunnah, yang disebut dengan istilah al-Mukhalif. (kitab al-Makasib, al-Anshari, 1/319, cet. 1/1415, terbitan Baqiri Qum).
Mereka menganggap bahwa ahlussunnah itu nawashib, maka halal harta, kehormatan dan nyawanya.
Bahkan dianjurkan untuk membunuh mereka (ahlussunnah) ini yang difatwakan oleh Ulama besar mereka, Yusuf al-Bahrani (dalam kitabnya al-Hadaiq an-Nadhirah Fi Ahkam al-’ithrah al-Thahirah, 12/323-324) dan Nikmatullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyyah 2/307).[1], al-Shaduq dalam ‘Ilal as-Syara’I’.
Oleh karena itu sangat disayangkan, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini dengan menulis komentar di sampul belakang: “Buku ini layak dibaca oleh siapapun.”
Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini (Hal itu disebutkan lagi dalam buku khusus yang dicetak untuk membentengi umat Islam dari faham dan aliran sesat pada tahun 2007).
Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).
Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Bisakah di sini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, bisa saja ada orang yang menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS.
Tidak kalah dari KH. Makruf Amin, Ustadz Muhammad Arifin Ilham menulis: “Saya rasa, rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini, agar anak-anak mereka juga turut membacanya, untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus. Islam adalah agama yang lembut, santun, penuh kasih sayang.”
Saya tidak tahu beliau berdua apakah membaca buku ini dan faham isinya? Wallahu a’lam.
Yang jelas, siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) telah menanam dosa yang menakutkan, bisa berakhir dengan suul khatimah, jika tidak segera bertaubat. Bisa saja ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah sebab terkecoh oleh rekomendasi mereka. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. (Baca: Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran).)
Bahaya tergelincirnya orang alim, bantahan orang munafik, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan
Imam Ibnu Taimiyah mengingatkan bahaya tergelincirnya orang alim, bantahan orang munafik, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan, dengan mengemukakan atsar dari Umar dan Abu Darda’.
وَقَالَ زِيَادُ بْنُ حُدَيْرٍ : قَالَ عُمَرُ : ثَلَاثٌ يَهْدِمْنَ الدِّينَ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ
Ziyad bin Hudair berkata, Umar telah berkata: Tiga perkara yang merusak agama adalah tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyesatkan.
وَقَالَ الْحَسَنُ : قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ : إنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ,...
Al-Hasan berkata, telah berkata Abu Darda’: “Sesungguhnya di antara hal yang aku khawatirkan atas kamu sekalian adalam tergelincirnya orang alim (ulama), dan bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an… (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa Al-Kubro, juz 9 halaman 108).
عَنْ زِيَادِ بْنِ حُدَيْرٍ قَالَ قَالَ لِى عُمَرُ : هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الإِسْلاَمَ؟ قَالَ قُلْتُ : لاَ. قَالَ : يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ الأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ
Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, Umar telah berkata kepadaku: Apakah kamu tahu apa yang menghancurkan Islam? Ia (Ziyad) berkata, aku berkata: Tidak. Ia (Umar) berkata: yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafik dengan al-Qur’an, dan hukum (keputusan) pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. (HR. ad-Darimi, dan berkata Syaikh Husain Asad: isnadnya –pertalian riwayatnya—shahih).
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menegaskan:
وَلِهَذَا قِيلَ : احْذَرُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ فَإِنَّهُ إذَا زَلَّ زَلَّ بِزَلَّتِهِ عَالَمٌ
Oleh karena itu dikatakan: Awas hati-hati (hindarilah) tergelincirnya orang alim (ulama), karena sesungguhnya ketika ia tergelincir maka tergelincirlah dunia karena tergelincirnya (ulama itu). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 4 halaman 296).
Masyarakat jadi waspada
Dengan bukti-bukti “tingkah menyeberang ke lingkungan aliran sesat” seperti tersebut mengakibatkan sebagian masyarakat Muslim yang memiliki daya nalar dan kewaspadaan tinggi menjadi waspada. Jadi, kalau sebagian masyarakat Muslim lebih percaya kepada hasil ru’yatul hilal versi Cakung ketimbang aparat Kementrian Agama dan sosok dari MUI, karena dua lembaga itu boleh jadi mulai diragukan umat. Apalagi, ketika menolak kesaksian hilal versi Cakung dan Jepara, alasan yang dikemukakan sangat tehnis, tidak prinsipil hingga tidak tampak bahwa itu sesuai syari’at. (Baca: Di Balik “Permainan” dalam Penentuan Idul Fitri) Sehingga menimbulkan kecurigaan. Kecurigaan yang tertuju kepada sosok yang ‘bermasalah’ secara akidah (dan syari’ah) adalah bagian dari kewaspadaan umat Islam. Harap maklum.
Seharusnya, pemerintah dan para peserta sidang itsbat mampu menunjukkan secara akurat bahwa ru’yatul hilal di Cakung dan sebagainya itu, memang tidak shahih, sehingga layak dianulir. Kalau terbukti keliru, maka alangkah lebih baik bila pemerintah dan para ahli di bidang itu, menunjukkan cara yang benar kepada pelaku ru’yatul hilal seperti di Cakung dan sebagainya, bukan menolaknya dengan alasan tehnis.
Kenyataannya, kegiatan ru’yatul hilal di Cakung sudah berlangsung setengah abad, dan secara rutin dilaksanakan setiap bulan. Kalau perlu, utusan pemerintah, utusan MUI dan para pihak yang ahli di bidang itu, sekali-sekali terjun ke Cakung, ikut ru’yatul hilal, dan kemudian kalau memang ada substansi yang perlu diluruskan, maka luruskanlah. Namun bila ia benar, harus diikuti sepenuh hati.
Tindakan di atas jauh lebih bermanfaat, ketimbang menyampaikan informasi peredam, seperti mengemukakan bahwa Pemerintah Saudi pernah mengoreksi keputusannya berkenaan dengan 1 Syawal karena ada kesalahan dalam proses ru’yat. Atau, pernah beredar surat palsu mengatasnamakan sebuah lembaga dengan pesan bahwa di Cakung sudah terlihat hilal.
Apologi semacam Itu semua tak berdaya guna.
Ketika umat dalam keadaan kurang percaya kepada umaro dan ulama yang selama ini tampil bak selebritis, hal seharusnya yang perlu disuguhkan adalah argumen yang shahih, substansial dan disampaikan oleh sosok yang masih bisa dipercaya. Upaya kalangan INSISTS menggelar forum silaturrahim dengan mengundang para ahli yang berkompeten dalam urusan hisab dan ru’yat dari sejumlah ormas (Muhammadiyah, NU, Persis, DDII, PKS, FPI, MMI dan sebagainya), semoga saja dapat membuahkan hasil yang menguntungkan umat Islam. Jangan sampai umat Islam digunakan bagai hammer (palu) sekedar untuk mentungi (menggebuki) kalangan yang kebetulan sedang berani waspada. Sedangkan yang diwaspadai itu memang perilaku yang kemungkinan merusak agama seperti yang diperingatkan Imam Ibnu Taimiyah dengan mengutip atsar sahabat-sahabat tersebut. Dan Ibnu Taimiyah pun dalam kasus perilaku merusak agama itu ia menegaskan lafal احْذَرُوا yang artinya memang: waspadalah! Wallahu Ta'ala A'lam. [voa-islam.com/haji, tede]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!