Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 4 Mei 2010 12:29 wib
21.700 views
Pelopor Hardiknas itu Muhammadiyah, Bukan Taman Siswa yang Theosofis
Persyarikatan Muhammadiyah yang lebih dulu berdiri dan berkiprah di banding Taman Siswa justru tak dijadikan acuan pemerintah untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Padahal, dibanding Taman Siswa yang bercorak Theosofis, peran Muhammadiyah dalam bidang pendidikan di Indonesia lebih besar, bahkan hingga kini.
Setiap tanggal 2 Mei, pemerintah Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ini merujuk pada hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, sosok yang dianggap berperan penting dalam memajukan pendidikan nasional. Siapa Ki Hadjar Dewanatara? Bagaimana pemikirannya? Apakah kiprahnya layak dijadikan acuan sebagai Hari Kebangkitan Nasional?
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Seperti halnya Raden Ajeng Kartini, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara juga dijadikan peringatan nasional. Garis silsilah Ki Hadjar Dewantara berasal dari keturunan aristokrat Mataram. Ayahnya, Pangeran Soerjaningrat, adalah anak dari Paku Alam III. Pangeran Soerjaningrat adalah orang yang sejak muda menggeluti alam pikiran Barat, kebatinan, filsafat, dan sastra. Pergaulannya untuk mendalami bidang tersebut sangat luas, diantaranya dengan tokoh-tokoh seperti dr Wahidin Soedirohoesoedo (pendiri Boedi Oetomo), Pastor Van Lith (Pastor Jesuit yang menjalankan misi pendidikan di kalangan kebangsaan), dan G.A.J Hazeau (asisten Snouck Hurgronje yang juga aktif dalam mengembangkan pendidikan sekular).
Ki Hadjar Dewantara menghabiskan masa kecil sebagai anak seorang elit Jawa yang lekat dengan dunia kebatinan. Masa kanak-kanak dan remajanya dipengaruhi oleh sastra Jawa, agama Islam, dan ajaran-ajaran Hindu purba. Ki Hadjar juga seorang pengagum cerita-cerita mitos dalam dunia pewayangan. Bagi orang Jawa, wayang adalah pertunjukan lakon yang melambangkan kehidupan dan kemanunggalan antara kawula dan gusti.
Ki Hadjar menamatkan pendidikan dasarnya di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa) dan kemudian melanjutkan ke pendidikan guru di Yogyakarta. Pada tahun 1905, Ki Hadjar masuk ke sekolah kedokteran di Batavia, STOVIA. Di sinilah ia bertemu dengan beberapa aktivis lainnya dan mulai banyak terlibat dalam aksi-aksi dan pemikiran tentang kebangsaan. Saat Boedi Oetomo dideklarasikan di STOVIA, Ki Hadjar diserahi tugas sebagai pimpinan bagian propaganda.
Pada tahun 1913 sampai 1919, Ki Hadjar tinggal dalam pembuangan di negeri Belanda. Di negeri inilah ia banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang telah lebih dulu tinggal di sana. Di Belanda pula, Ki Hadjar banyak bertemu dengan para aktivis Theosofi dan tokoh-tokoh Belanda, seperti Abendanon, Stokvis, Jonkman, Theodore Conrad van Daventer, dan Van Koll. Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang banyak memainkan peranan penting dalam membentuk kader-kader pribumi yang berpola pikir barat dan Theosofi.
Ketika berada dalam pembuangan, Ki Hadjar juga banyak terpengaruh oleh para pemikir seperti Rabindranath Tagore, Maria Montessori, dan Rudolf Steiner. Tagore adalah seorang pujangga dan ahli ilmu jiwa dari India yang sering menjadi rujukan para aktivis Theosofi. Tagore mempunyai lembaga pendidikan bernama “Shanti Niketan”, di sebelah utara Kota Kalkutta. Tagore mempunyai konsep pendidikan “bebas” dan “merdeka”, yaitu bahwa pendidikan adalah semata-mata dijadikan alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan sedalam-dalamnya. “Bebas” maksudnya adalah terlepas dari ikatan apapun, dan “merdeka” maksudnya adalah bebas mewujudkan ciptaan berupa apapun dan hanya boleh terikat oleh kodrat alam dan zaman.
Sedangkan Motessori adalah ahli pendidikan dari Italia yang mempunyai sekolah “Casa dei Bambini”. Montessori menjalankan konsep pendidikan dengan mementingkan hidup jasmani anak-anak didik dan mengarahkan kepada kecerdasan budi. Dasar utama pendidikan, bagi Montessori, adalah kebebasan dan spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan yang seluas-luasnya. Dan Rudolf Steiner, tokoh ketiga yang menjadi rujukan Ki Hadjar, adalah seorang pendiri Antrophosophy Society, sebuah gerakan yang dimotori oleh para aktivis Kristen yang sejalan dengan pemikiran Theosofi.
…Buya Hamka menyenbut Taman Siswa sebagai gerakan abangan, klenik, dan primbon Jawa yang mengamalkan ritual shalat daim.
Kelak, pemikiran para tokoh tersebut yang sangat berbau Theosofi mempengaruhi pola pendidikan yang ada pada Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikan KI Hadjar Dewantara. Dalam buku ”Perkembangan Kebatinan di Indonesia”, Buya Hamka menyenbut Taman Siswa sebagai gerakan abangan, klenik, dan primbon Jawa yang mengamalkan ritual shalat daim. Dalam kepercayaan kebatinan, shalat di sini bukan bermakna ritual seperti yang dijalankan umat Islam, tetapi shalat dalam pengertian kebatinan, yaitu menjalankan kebaikan terus menerus. Setiap kebaikan adalah shalat, setiap eling kepada Tuhan adalah shalat. Begitulah ajaran yang dipercaya oleh kalangan kebatinan, termasuk para tokoh Taman Siswa.
Ritual shalat daim banyak dilakukan oleh aktivis Theosofi, sebuah aliran kebatinan yang berada di bawah pengaruh pemikiran Yahudi. Dan kelak, cita-cita dan pola pikir Taman Siswa sama sebangun dengan Gerakan Theosofi. Ini disebabkan, para pendiri Taman Siswa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Ki Sarmidi Mangoensarkoro adalah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Theosofi.
…Cita-cita dan pola pikir Taman Siswa sama sebangun dengan Gerakan Theosofi. Karena para pendiri Taman Siswa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Ki Sarmidi Mangoensarkoro hidup di bawah pengaruh Theosofi…
Taman Siswa, Kebatinan, dan Cita-Cita Theosofi
Taman siswa didirikan di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Tokoh lain di balik Taman Siswa adalah Ki Sarmidi Mangoensarkoro. Dilahirkan di Surakarta, 23 Mei 1904, Ki Sarmidi adalah anak seorang pegawai Keraton Surakarta yang memegang teguh ajaran Theosofi. Ia menamatkan pendidikannya di Arjuna School Jakarta, dan menjadi anggota Perkumpulan Pemuda Theosofi. Ki Sarmidi juga pernah menjadi Ketua Jong Java cabang Yogyakarta. Di Kalangan anggota Taman Siswa, selain Ki Hadjar Dewantara, Ki Sarmidi-lah sosok yang disebut-sebut sebagai perumus, pemikir, dan pelaksana cita-cita Taman Siswa. Arjuna School adalah sekolah milik aktivis Theosofi dan Jong Java adalah organisasi Perhimpunan Pemuda Jawa yang kental dengan nilai-nilai Theosofi dan kebatinan Jawa.
Meski tak setenar nama Ki Hadjar Dewantara, nama Ki Sarmidi Mangoensarkoro juga diabadikan oleh pemerintah pada sebuah jalan di daerah Menteng, Jakarta Pusat.Pemerintah menganggap Ki Sarmidi sebagai tokoh pendidikan, di samping tokoh-tokoh lainnya. Padahal, dalam buku “Pengantar Goeroe Nasional” Ki Sarmidi yang memang anggota Theosofi ini, banyak mengambil pemikiran George Sydney Arundale, Presiden Theosofi Internasional ketiga setelah Annie Besant. Aneh memang, organisasi Theosofi yang secara resmi pernah dilarang pemerintah, namun pemikiran para tokohnya masih dianggap memiliki peran penting dalam pendidikan bangsa ini.
Cikal bakal Taman Siswa berasal dari diskusi rutin pada Selasa Kliwon yang dipimpin oleh Pangeran Soeryamentaram. Pangeran Soeryamentaram alias Ki Ageng Soeryamentaram adalah nama dari Bendara Raden Mas Kudiarmadji putra Sri Sultan Hamengkubowono VII yang lahir pada 20 Mei 1892. Pengembaraan batinnya sangat luas. Ia mempelajari agama Nasrani dan juga masuk ke dalam Theosofi. Karya terbesar Ki Ageng Soeryamentaram adalah membuat sebuah konsep kebahagian yang ia sebut sebagai Ilmu Kawruh Begja
Peserta diskusi ini sering disebut dengan istilah “Gerombolan Selasa Kliwon.” Mereka adalah, Ki Hadjar Dewantara, R.M Soetatmo Soerjokoesoemo, R.M.H Soerjo Poetro, Ki Pronowidigdo, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Surjodirjo, BRM Subono, dan Pangeran Soeryamentaram. Setiap pertemuan, mereka mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kebatinan, yaitu usaha untuk “membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, dan umat manusia.” Inilah yang menjadi asas Taman Siswa, yaitu perpaduan antara pendidikan barat dan kebatinan dalam mewujudkan suatu kemerdekaan batin, kemerdekaan pikiran, dan kemerdekaan tenaga.
…Inilah yang menjadi asas Taman Siswa, yaitu perpaduan antara pendidikan barat dan kebatinan dalam mewujudkan suatu kemerdekaan batin…
Berdirinya Taman Siswa dianggap sudah sesuai dengan cita-cita kebatinan. Selain itu, seperti halnya Freemasonry dan Theosofi yang menomorsatukan kemanusiaan, cita-cita Taman Siswa juga dengan tegas dinyatakan tidak akan mengabaikan nilai hidup yang lebih tinggi, yaitu kemanusiaan. Artinya, Taman Siswa menomorsatukan pengabdian kepada kemanusiaan, dan tidak disinggung sedikitpun mengenai ketuhanan.
Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu:Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan. Tak ada dictum yang menyebutkan pengabdian terhadap ketuhanan inilah yang menyebabkan timbulnya kecurigaan dari kalangan umat Islam saat itu bahwa Taman Siswa jauh dari nilai-nilai Ketuhanan dan anti terhadap agama.
Di antara yang mengkritik asas dan cita-cita Taman Siswa adalah Mingguan Abadi. Dalam artikelnya, pada 2 Januari 1972. Abadi menilai tidak dicantumkannya soal ketuhanan mencerminkan bahwa Taman Siswa jauh dari kepercayaan terhadap ketuhanan dan lebih mementingkan kemanusiaan. Taman Siswa juga dinilai mengabaikan sila Ketuhanan yang tercermin dalam ideologi negara, Pancasila.
…Taman Siswa jauh dari kepercayaan terhadap ketuhanan dan lebih mementingkan kemanusiaan…
Kritik terhadap keberadaan Taman Siswa dari kalangan Islam saat itu cukup beralasan, mengingat banyak organisasi kebangsaan yang lahir pada masa itu, terutama yang berada di bawah pengaruh Theosofi, banyak melakukan pelecehan terhadap ajaran-ajaran Islam. Melihat keberadaan Taman Siswa yang sama sekali tidak mencantumkan diktum tentang Ketuhanan dalam asas dan cita-citanya, umat Islam saat itu beranggapan bahwa Taman Siswa jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan agama, dan lebih mementingkan kehidupan batin dan pola pikir barat.
Kecurigaan itu tak berlebihan, sebab dalam beberapa pidato para petinggi Taman Siswa, termasuk pemikiran pendirinya Ki Hadjar Dewantara, corak kebatinan dan Theosofi begitu kental terasa. Hal ini diperkuat lagi, ketika Taman Siswa menyatakan bahwa dalam menjalankan roda pendidikannya, mereka menggunakan tiga sistem among, yaitu:Mengabdi kepada prikemanusiaan, membangun kepribadian sesuai kodrat alam, dan membangun kemerdekaan. Sekali lagi, tidak disebut sedikitpun tentang ketuhanan.
Mereka yang tergabung dalam Taman Siswa sering disebut “Keluarga Besar yang Suci” yang mempunyai sikap lahir dan batin. Dan Ki Hadjar Dewantara mendapat julukan sebagai “Bapak dari Keluarga Besar yang Suci.” Istilah-istilah ini mengingatkan kita pada Theosofi. Soekarno pernah menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara lebih disebabkan oleh panggilan mistik, ketimbang lainnya.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara memang sangat Theosofis. Ia misalnya mengatakan bahwa semua agama di dunia sama, karena mengajarkan asas kasih sayang kepada sesama manusia dan mengajarkan perihal kedudukan manusia yang terhormat di hadapan Tuhan-nya. Ki Hadjar berkeyakinan bahwa sumber gerak evolusi seluruh alam semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang disebut dengan istilah “kodrat alam”. Asas kodrat alam bagi Ki Hadjar adalah menyatunya aspek yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan, dari setiap benda-benda.
…Pemikiran Ki Hadjar Dewantara memang sangat Theosofis. Ia misalnya mengatakan bahwa semua agama di dunia sama…
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara mendapat gelar dari pemerintah sebagai Bapak Pendidikan Nasional.Tanggal kelahirannya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tapi, sejarah harus ditulis secara jujur dan terang, bahwa Ki Hadjar Dewantara yang dianggap sebagai tokoh pendidik bangsa ini, sejatinya adalah seorang Theosof, yang banyak menggali ide-ide pemikiran barat dan memadukannya dengan kebatinan. Konsep pendidikannya jelas berkiblat ke barat, sekaligus netral dari agama, meskipun ia sendiri mengaku sebagai seorang Muslim.
Muhammadiyah dan KH Achmad Dahlan: Pelopor Pendidikan Nasional
Dalam buku ”Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930”, sejarawan senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurrachman Surjomihardjo, menyebutkan bahwa berdirinya organisasi Muhammdiyah yang bergerak dibidang pendidikan pada tahun 1912 adalah wujud dari keprihatinan KH Achmad Dahlan terhadap maraknya berbagai lembaga sekolah yang dikelola oleh kalangan Kristen dan Freemasonry. Pada saat itu, masyarakat di Yogyakarta menyebut organisasi Freemasonry sebagai ”Gerakan Kemasonan”.
Sebelumnya, KH Achmad Dahlan adalah anggota Boedi Oetomo. Belakangan, ia keluar dari Boedi Oetomo karena melihat banyak dari aktivisnya yang sangat anti terhadap Islam. KH Achmad Dahlan bahkan pernah berupaya mengadakan pengajian bagi anggota Boedi Oetomo, namun upaya itu ditolak. Inilah yang kemudian membuatnya keluar dari organisasi tersebut dan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Karena itu, ketika Muhammadiyah berdiri, dengan kalimat sindiran para aktivis Muhammadiyah mengatakan, ”jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya politik berada di luar Muhammadiyah.”
…Muhammadiyah lahir sebagai respon dari maraknya pendidikan netral yang bercorak barat, Kristen dan Freemasonry. Apalagi sekolah Kristen yang mendapat subsidi pemerintah pada perkembangannya kerap melakukan upaya Kristenisasi…
Muhammadiyah lahir sebagai respon dari maraknya pendidikan netral yang bercorak barat, Kristen dan Freemasonry. Apalagi sekolah Kristen yang mendapat subsidi pemerintah pada perkembangannya kerap melakukan upaya Kristenisasi, dengan sokongan politik Kristenisasi Belanda yang terkenal dengan istilah ”Kerstening Politik” (Politik Kristenisasi). Di antara program Kerstening Politik yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1910 adalah diadakannya aturan ”Sirkuler Minggu”, dimana tidak ada yang boleh menyelenggarakan kegiatan kenegaraan, sekolah, dan aktivitas pasar pada hari minggu. Kebijakan ini ditentang oleh aktivis Islam yang tergabung dalam Sarekat Islam, termasuk juga ditentang oleh KH Achmad Dachlan.
Di antara sekolah netral yang didirikan kelompok Mason adalah Frobel Scholen dan Neutrale Hollandsch Inlandsche Scholen di Yogyakarta. Sekolah-sekolah mereka dibekingi oleh para Mason Jawa dan Eropa yang tergabung dalam Neutrale Onderwijs Vereniging (Perhimpunan Pendidikan Netral).Orang –orang yang menjadi pengurus Neutrale Onderwijs adalah: Dr. D.I de Vries Robles (ketua), R.R Nitidipoero (Wakil Ketua), A.J.P Doom (Bendahara), A. Van Hoypusen (Sekretaris I), R.M Brotoadmodjo (Sekretaris II), dan para komisaris yang terdiri dari: A.B David, Mr. F.W Pynacker Hordijk, W.F.J Schilham, P.A Soerjahadiningrat, R.M.P Gondoatmodjo, dan R.T Wrjo Dirdjo.
Berbeda dengan Taman Siswa, Muhammadiyah mempunyai tujuan keislaman yang jelas, yaitu: ”Pertama: Menjebarkan pengadjaran Igama Kandjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam kepada pendoedoek boemipoetra di dalam residentie Djokjakarta.” Kedua, ” Memadjukan hal Igama anggauta-anggautanya.”.
KH Achmad Dahlan adalah sosok ulama yang faqih, yang peduli terhadap nasib umat Islam terutama dalam bidang pendidikan. Ia pernah bermukim di Makkah untuk menimba ilmu. Pada saat pemerintah Hindia Belanda berupaya membendung pengaruh orang-orang yang baru pulang haji dari Makkah dan melarang masuknya buku-buku keislaman, yang dituding membawa ajaran Pan-Islamisme, KH Achmad Dahlan berupaya melakukan perlawanan dengan menyelundupkan buku-buku Islam, termasuk Majalah Al-Manar dan Al-Urwatul Wutsqa yang sangat berpengaruh saat itu. KH Achmad Dahlan menyelundupkannya masuk lewat pelabuhan di Tuban, kemudian membawanya ke Yogyakarta.
Di saat Belanda mengeluarkan kebijakan Kerstening Politik (Politik Kristenisasi) dalam bidang pendidikan dan kelompok Freemasonry juga berupaya memberikan pengaruh lewat bidang pendidikan yang bercorak barat dan netral, KH Achmad Dahlan berupaya melakukan upaya perlawanan dengan mendirikan Muhammadiyah. Sebuah organisasi yang sampai saat memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Jadi, siapa yang pantas untuk diberi gelar Bapak Pendidikan Nasional, KH Achmad Dahlan atau KH Hadjar Dewantara? Siapa yang pantas diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, Muhammadiyah yang sudah berkiprah selama satu abad hingga kini atau Taman Siswa? Tulisan sederhana ini mengajak kita semua untuk jujur pada sejarah, sehingga tinta sejarah yang tertoreh begitu jernih, tidak buram, apalagi dimanipulasi! [Artawijaya/voa-islam.com]
(Disarikan dari buku: Gerakan Theosofi di Indonesia)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!