Ahad, 19 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Oktober 2009 00:22 wib
8.769 views
Open Mind (11) : Pornografi Atas Nama Seni
Oleh : Ria Fariana
Seni dan pornografi, selalu saja tarik ulur di kedua ranah kata ini. Banyak orang berlindung atas nama seni untuk hal pornografi yang dilakukannya. Obyek ketelanjangan menjadi satu hal menarik untuk dibidik dan dieksploitasi atas nama seni. Seni tak lagi menjadi area netral, berbagai kepentingan selalu bermain atas nama seni.
Seni adalah keindahan. Tubuh manusia indah, memang tak bisa dipungkiri. Tapi keindahan yang melekat secara kodrati ini tak bisa begitu saja diekspos dan diabadikan atas nama seni. Selalu ada batas bagi segala sesuatu. Selalu ada aturan bagi segala sesuatu. Karena sesungguhnya batas dan aturan inilah yang membedakan mana manusia beradab dan mana yang tidak.
Seni mempunyai ruang lingkup yang luas. Karena luasnya itulah sangat naif bila seni hanya berkutat dengan ketelanjangan yang sangat kabur perbedaannya dengan pornografi. Jika seni dianggap sebagai representasi humanisme, lalu mengapa seolah perwakilah bahasa yang ingin ditampilkan hanya melulu pada ketelanjangan? Bukankah lahan yang bisa diekplore humanisme masih banyak? Di sinilah kreatifitas seorang seniman diuji apakah memang selama ini ia berkarya atas nama seni ataukah pornografi.
Ketelanjangan bukan sesuatu yang tabu atau selalu porno, itu disepakati oleh penulis. Telanjang boleh dan harus dilakukan ketika memang hal itu harus dilakukan
Ketelanjangan bukan sesuatu yang tabu atau selalu porno, itu disepakati oleh penulis. Telanjang boleh dan harus dilakukan ketika memang hal itu harus dilakukan. Ambillah contoh misalnya ketika di kamar mandi. Apabila ingin melakukannya di depan umum, itu pun boleh dilakukan oleh manusia yang bernama anak-anak. Itu karena akal pada usia kanak-kanak mereka masih belum berkembang sempurna sehingga wajar bila rasa malu belum hinggap. Meskipun begitu, pendidikan rasa malu yang ditanamkan orang tua dan lingkungan bisa menjadikan seorang anak kecil sudah mampu merasa malu untuk telanjang di depan umum. Lalu bagaimana dengan rasa malu yang seharusnya wajib ada pada manusia yang merasa dirinya sudah dewasa?
Penulis sangat setuju dengan pendapat bahwa seni seharusnya menjadi pengontrol bagi moral manusia. Bukan sebaliknya. Karena fungsinya inilah, sudah saatnya seni mempunyai wajahnya sendiri tanpa ditunggangi oleh kepentingan tertentu di baliknya. Kepentingan atas nama kebebasan yang absurd, karena sebagaimana dikatakan oleh Rabindranath Tagore bahwa seorang tiran selalu mengklaim kebebasan demi untuk membunuh kebebasan, dan hanya menjaga kebebasan untuk dirinya sendiri.
Jadi memang tak ada kebebasan yang benar-benar mutlak bebas di dunia ini. Selalu saja ada batas kebebasan yang harus dipatuhi agar tidak melanggar kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain. Seorang seniman yang bebas melukis ketelanjangan sesungguhnya ia sedang melakukan pelanggaran kebebasan terhadap kenyamanan seseorang untuk terbebas dari pemandangan obyek yang dimaksud. Sehingga, harus ada batasan yang jelas untuk makna kebebasan dan juga makna seni atau pun pornografi.
Hal ini mendesak untuk ada agar masyarakat kita yang cenderung permisive atas nama seni mempunyai batasan-batasan yang harus dipatuhi. Agar seni yang sesungguhnya mampu menjadi pengontrol moral bagi manusia bisa terwujud di dalam masyarakat kita. Tapi bila kondisi seni yang ada masih seperti ini, ketelanjangan dijadikan dalih bagi sebagian seniman untuk menunjukkan ekpresi diri, maka jangan pernah kita berharap lebih pada seni itu sendiri.
Seni bersifat universal sebagaimana keindahan itu sendiri. Karena sifatnya inilah seni bukan menjadi milik dan dominasi salah satu kelompok dalam masyarakat. Ia harus bisa difahami dan dimaknai oleh siapa pun juga. Tidak perlu menunggu seseorang itu mempunyai deretan gelar lebih dulu untuk memaknai seni universal ini. Tidak perlu juga ada aturan-aturan tertentu yang cenderung mengada-ada untuk memaknai mana seni dan pornografi. Karena batas antara keduanya sangatlah jelas. Yang satu mengusung keindahan tanpa menafikan nilai moral, sedangkan yang satunya lagi mengusung ketelanjangan dan berusaha berlindung atas nama seni.
Seni dan segala cetusan yang terlampir padanya merupakan penyokong citra moral apabila ia ditampilkan dengan wajah seni yang sesungguhnya
Seni dan segala cetusan yang terlampir padanya merupakan penyokong citra moral apabila ia ditampilkan dengan wajah seni yang sesungguhnya. Tapi seni dapat menjadikan moral berada pada nilai terendah apabila ia ditampilkan dengan wajah pornografi. Keterpurukan bangsa ini juga bisa dilihat dari sejauh mana seni mampu tampil sebagai dirinya sendiri tanpa embel-embel yang lain.
Karena sungguh, kekerdilan sebuah pola pikir ditentukan seberapa jauh ia bisa menilai mana seni dan mana pornografi, dan mana yang menyembunyikan wajah aslinya dengan berlindung pada wajah keindahan atas nama seni. Di sinilah kreatifitas seorang seniman diuji, akankah ia berkarya tergantung hanya pada obyek tubuh dengan ketelanjangannya? Ataukah ia adalah seorang seniman yang sesungguhnya yang mampu membedakan seni dan pornografi murni dari hati nuraninya yang luhur dan akal yang sehat.
Memanusiakan manusia
Memisahkan seni dan pornografi sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaannya lagi. Bahwa manusia adalah makhluk yang derajatnya paling tinggi daripada makhluk-makhluk lain karena adanya akal pada dirinya. Ketika keberadaan akal ini tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk menjadi pembeda, maka sungguh naif bila kita menginginkan perbaikan terjadi sementara membedakan seni dan pornografi saja masih menjadi kontroversi.
Kejujuran akal seringkali dimanipulasi oleh kepentingan pemiliknya dengan dalih apa pun yang nantinya dipaksakan terlihat masuk akal
Kejujuran akal seringkali dimanipulasi oleh kepentingan pemiliknya dengan dalih apa pun yang nantinya dipaksakan terlihat masuk akal. Begitu pula seni dan pornografi. Perbedaan di antara keduanya sudah sangat jelas. Tinggal kejujuran akal dan hati nurani kita untuk mengakui bahwa ketelanjangan yang dieksploitasi dengan dalih membawa pesan sosial bukan lalu bisa menjadi karya seni yang agung. Karena membawa pesan sosial dan kemanusiaan bisa dilakukan tanpa harus menghadirkan ketelanjangan di depan publik. Karena saya yakin, kreatifitas seorang seniman jauh lebih dahsyat dan indah daripada berkutat dari obyek telanjang satu ke telanjang yang lain.
Seniman adalah orang yang memiliki perasaan dan cita rasa seni dalam dirinya. Ia hadir sebagai salah satu unsur masyarakat yang menghasilkan karya sebagai pengontrol moral bukan malah sebaliknya. Sehingga kesadaran para seniman dan juga peminat seni harus mulai dibenahi berkaitan dengan definisi seni dan pornografi. Semuanya itu demi kebaikan diri dan masyarakat dan kembali pada hakikat diri manusia bahwa seni adalah memanusiakan manusia atas nama keindahan.
Semoga sekelumit catatan ini menjadi renungan bersama untuk kembali meletakkan seni pada tempat yang seharusnya, dan terbebas dari unsur pornografi sekecil apa pun. Sehingga dengan seni, semoga masyarakat yang sudah dihinggapi penyakit kebingungan untuk membedakan seni dan pornografi kembali menjadi masyarakat yang bermoral dan bisa menikmati seni yang sesungguhnya yaitu keindahan yang tanpa pornografi.
* Artikel ini telah dimuat di halaman opini harian Lampung Post tanggal 18 Mei 2006 dengan judul Moralitas Para Seniman. Sebelumnya telah dimuat juga di minimagz indie Open Mind edisi 20 dengan judul asli sebagaimana tertera di atas.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!