Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Maret 2010 18:41 wib
8.845 views
Jangan Main-Main dengan Taliban, Tentara Jerman Saja Trauma di Afghanistan
Foto-foto roket yang menyerang tempat penampungan, mayat teman seperjuangan. Inilah pengalaman banyak prajurit yang tidak bisa hilang lagi setelah mereka kembali dari Afghanistan.
JERMAN (voa-islam.com): Matthias berjuang di provinsi Kundus selama empat setengah bulan. Bagi sang prajurit berusia 21 tahun, ini merupakan penempatan pertamanya di luar negeri. Ia merupakan bagian dari kontingen ke-19, yang mengalami sejumlah serangan ketika berpatroli dan di pangkalan militernya. Empat prajurit tewas dalam serangkaian kejadian itu. Sejak Juli tahun lalu, Matthias kembali ke Jerman. Tetapi baginya sulit untuk menjalani hidup lamanya dengan normal. Ia menjadi lebih agresif dan mudah kesal, jelasnya tentang diri sendiri. Juga sering terkejut, misalnya kalau ada yang membanting pintu. Matthias langsung berpikir, ada sebuah roket yang menghantam kamp militernya.
Gambaran korban luka-luka dan prajurit yang tewas sering masuk ke kepala Matthias. Di Afghanistan, ia berulangkali harus melihat rekan-rekannya meninggal. Matthias bercerita: “Ini berawal dari tanggal 29 April, dimana prajurit pertama tewas. Sejak saat itu, baru di kepala saya jelas, bahwa ini bukan lah permainan. Ini bukan lagi apa yang kita bayangkan sampai saat itu, yaitu hanya kelilingan saja dengan mobil patroli dan semuanya baik-baik saja, lalu kita pulang ke rumah dengan keadaan sehat. Sekarang semua menjadi serius. Tidak ada jalan pulang. Dan sejak saat itu, semua masuk dalam ingatan. Dan sejak itu semua mulai berpikir, apakah seharusnya pulang saja atau tidak. Dan: mengapa sebenarnya saya disini?”
Matthias sempat berkonsultasi dengan psikolog di tempat penampungan prajurit dan juga berpikir untuk pulang ke Jerman lebih dulu. Tetapi akhirnya ia terpksa kembali ikut patoli untuk melindungi rekan-rekannya.
Setiap patroli berbahaya dan setiap patroli bisa terjadi yang terakhir kali. Dalam pertempuran, dimana Matthias juga pernah tertembak, seorang prajurit hanya harus bisa berfungsi dan bereaksi. Pengalaman Matthias: “Pada saat itu orang tidak sadar, bahwa peluru berterbangan di udara. Saya pernah lari dan waktu melihat melihat ke tanah, tanah itu tiba-tiba meledak. Lalu baru saat itu lah saya sadar, bahwa mereka menembaki saya. Lalu saya hanya berbuat apa yang saya pelajari di masa-masa pelatihan prajurit. Tidak ada gunanya berpikir panjang lebar di saat-saat seperti ini.”
Baru beberapa jam setelahnya, Matthias sadar, ia hampir saja tewas dan bahwa prajurit-prajurit lain juga ada yang tewas. Awal Juli lalu Matthias pulang ke Jerman. Namun hidupnya tidak sama lagi seperti dulu. Sulit untuk berbicara dengan keluarga dan teman-teman tentang ketakutannya. Mereka tidak punya gambaran situasi di Afghanistan di kepalanya, mereka tidak kenal negara itu. Banyak prajurit yang mengalami situasi sama tidak mau berbicara mengenainya. Terutama karena banyak yang takut dilihat lemah oleh orang lain.
Matthias masih butuh waktu sampai ia bisa menjalani hidup tanpa beban pikiran seperti ini. Di rumah sakit bagi tentara Jerman, ia belajar apa yang bisa dilakukan jika gambaran-gambaran mengerikan datang kembali. Misalnya, ia menggigit lidahnya, agar rasa sakit yang timbul dapat menariknya kembali ke masa kini. Di masa depan, ia tidak mau lagi kerja lagi sebagai tentara.
“Saya hanya bisa mengatakan, bahwa setiap orang yang mempertimbangkan untuk ditempatkan, harus berpikir dua kali. Cuma sedikit orang yang memikirkan, bahwa sulit sekali bagi anggota keluarga di rumah, karena mereka tidak tahu situasi kita disana. Banyak yang takut sekali anaknya, cucunya, atau suaminya tewas. Banyak orang terlalu sembrono dalam mengambil keputusan.”
[dw-world]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!