Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Oktober 2013 16:01 wib
88.245 views
Diam-diam SBY Pro-Syi'ah Dalam Merayakan Hari Raya Sesat 'Idul Ghadir'
Oleh: Adian Husaini
JAKARTA (voa-islam.com) -Kelompok Syi’ah di Indonesia semakin terbuka aktivitasnya dalam memecah belah umat Islam, melalui pelestarian dan perayaan kebencian dan dendam terhadap para sahabat Nabi Muhammad saw terkemuka, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan r.a. Hari Sabtu (26/10/2013), di Gedung Smesco Jln Gatot Subroto, Jakarta Selatan, kaum Syiah akan merayakan Hari Raya terbesar dalam agama mereka, yaitu “Idul Ghadir”.
Perayaan Hari Raya Idul Ghadir ini semakin membuktikan bahwa Syiah memang satu aliran yang secara mendasar berbeda dengan kaum Muslim lainnya. Penolakan dan penistaan kepada para sahabat Nabi yang utama justru dirayakan sebagai ibadah yang agung menjadi Hari Raya tersendiri. Mereka menganggap Idul Ghadir adalah hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. ‘Idul Ghadir adalah sebuah perayaan atas anggapan mereka mengenai pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Menurut pemuka Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi saw menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah penerus kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Yang kata mereka Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul Ghadir menurut mereka adalah Hari Raya terbesar. (Lihat Idul Ghadir A’zhamul A’yad fil Islam/ Idul Ghadir Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan Sayyid Muhammad Husain Al-Syirazi, hal. 12).
Salah satu situs Syiah di Indonesia menulis, “Hari ke 18 bulan Dzulhijjah merupakan hari Ghadir Khum, Ied al-Akbar (hari raya besar), hari raya keluarga Muhammad Saw dan termasuk hari raya yang paling besar. Allah SWT tidak mengutus seorang nabi kecuali merayakan hari raya ini dan menjaga kehormatannya (?!). Nama hari ini di langit adalah Yaumu al-‘Ahdu al-Ma’hud (hari yang dijanjikan) dan di bumi Yaumu al-Mitsaq al-Ma’khudz (hari perjanjian) dan al-Jam’u al-Masyhud (hari perkumpulan).” (nama-nama khusus bagi Idul Ghadir itu dikutip dari doa Sayid Thawus yang menukilnya dari Syaikh Al-Mufid,
اَللَّهُمَّ فَكَمَا جَعَلْتَهُ عِيْدَكَ الْأَكْبَرَ وَ سَمَّيْتَهُ فِي السَّمَاءِ يَوْمَ الْعَهْدِ الْمَعْهُوْدِ وَ فِي الْأَرْضِ يَوْمَ الْمِيْثَاقِ الْمَأْخُوْذِ وَ الْجَمْعِ الْمَسْؤُوْلِ
“Ya Allah sebagaimana engkau jadikan hari ini hari rayamu yang paling besar dan engkau beri nama dilangit dengan “Yaum al-Ahd al-Ma’hud” (hari perjanjian yang dijanjikan) dan dibumi dengan “Yaum al-Mitsaq” (hari perjanjian) Dan hari pertanyaan, lihat http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut versi Syiah Rafidhah, dikemukakan salah satu riwayat. Diceritakan bahwasanya mereka bertanya kepada Imam Shadiq as, “Apakah kaum muslimin mempunyai hari raya selain hari Jum’at, hari raya Fitri dan Adha?” beliau menjawab: ”Iya, yaitu hari raya yang kehormatannya melebihi seluruh hari raya”. Perawi mengatakan, “Hari raya apa itu?” beliau menjawab, “Hari itu adalah hari dimana Rasulullah SAW menobatkan Amirul Mukminin as sebagai khalifahnya dan bersabda: “barang siapa yang menganggap aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya”, hari itu adalah hari kedelapan belas bulan Zulhijjah“. Perawi bertanya lagi, “Apa yang harus dikerjakan di hari itu?” beliau menjawab, ”Berpuasa, beribadah, menyebut-nyebut Muhammad dan keluarganya dan bershalawatlah atas mereka”. Rasulullah SAWW telah berwasiat kepada Amiril Mukminin as untuk merayakan hari raya ini, begitu juga setiap nabi berwasiat kepada washinya supaya merayakan hari ini.” (Lihat http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut situs Syiah Rafidhah, di hari itu umat syiah dianjurkan membaca doa khusus selepas shalat 2 rakaat. Di dalam doa tersebut, ternyata kaum Syiah tak pernah lepas dari cacian dan pelaknatan terhadap sahabat-sahabat terbaik Nabi Muhammad saw, diantara petikan doanya sbb:
فَإِنَّا يَا رَبَّنَا بِمَنِّكَ وَ لُطْفِك أَجَبْنَا دَاعِيَكَ وَ اتَّبَعْنَا الرَّسُوْلَ وَ صَدَّقْنَاهُ وَ صَدَّقْنَا مَوْلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَ كَفَرْنَا بِالْجِبْتِ وَ الطَّاغُوْتِ، فَوَلِّنَا مَا تَوَلَّيْنَا وَ احْشُرْنَا مَعَ أَئِمَّتِنَا، فَإِنَّا بِهِمْ مُؤْمِنُوْنَ مُوْقِنُوْنَ وَ لَهُمْ مُسَلِّمُوْنَ، آمَنَّا بِسِرِّهِمْ وَ عَلاَنِيَتِهِمْ وَ شَاهِدِهِمْ وَ غَائِبِهِمْ وَ حَيِّهِمْ وَ مَيِّتِهِمْ وَ رَضِيْنَا بِهِمْ أَئِمَّةً وَ قَادَةً وَ سَادَةً وَ حَسْبُنَا بِهِمْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ اللَّهِ دُوْنَ خَلْقِهِ لاَ نَبْتَغِيْ بِهِمْ بَدَلاً وَ لاَ نَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهِمْ وَلِيْجَةٍ وَ بَرِئْنَا إِلَى اللَّهِ مِنْ كُلِّ مَنْ نَصَبَ لَهُمْ حَرْبًا مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ مِنَ الْأَوَّلِيْنَ وَ الْآخِرِيْنَ وَ كَفَرْنَا بِالْجِبْتِ وَ الطَّاغُوْتِ وَ الْأَوْثَانِ الْأَرْبَعَةِ وَ أَشْيَاعِهِمْ وَ أَتْبَاعِهِمْ وَ كُلِّ مَنْ وَالاَهُمْ مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ مِنْ أَوَّلِ الدَّهْرِ إِلَى آخِرِهِ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نُشْهِدُكَ أَنَّا نَدِيْنُ بِمَا دَانَ بِهِ مُحَمَّدٌ وَ آلُ مُحَمَّدٍ
Ya tuhan kami sesungguhnya kami dengan anugerah dan lutuf mu Telah menerima utusanmu, mengikuti rasul, mempercayai pemimpin kaum mu’minin dan mengkafirkan taghut, maka jagalah iman dan wilayah kami kumpulkan kami bersama Imam-imam kami, sesungguhnya kami mengimani dan meyakini mereka, tunduk kepada mereka, beriman kepada lahir, batin, kehadiran keghaiban, kematin dan kehidupan mereka, dan kami merelakan mereka sebagai Imam, pemimpin dan tuan, dan cukuplah mereka bagi kami sebagai perantara menuju Allah tanpa mahkluk yang lain, Kami tidak menginginkan ganti mereka, kami tidak akan menjadikan kawan selain mereka, kami mensucikan diri dihadapan Allah dari musuh mereka dari jin dan Manusia dari awal sampai akhir, kami mengkafirkan taghut (musuh-musuh mereka) , penyembah empat berhala, pengikut mereka dan semua Yang mencintai mereka dari jin dan manusia dari awal sampai akhir. Ya Allah sesungguhnya kami bersaksi kepadamu bahwasanya kami menganut agama yang dianut oleh Mohammad dan keluarga Mohammad
(Lihat doa lengkapnya di http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Siapakah yang dimaksud dengan Thagut dan 4 berhala yang mereka kafirkan itu? Sebagaimana dimaklumi, kitab-kitab utama syiah dijejali aneka cacian dan laknat serta pengkafiran terhadap Abu Bakar ra dan Umar bin al-Khattab ra, sehingga keduanya tak segan-segan dijuluki oleh syiah sebagai al-Jibt dan al-Thagut, demikian pula gelar Haman dan Fir’aun, atau julukan keji lainnya. Muhammad bin Ya'kub al-Kulaini dalam kitabnya al-Ushul min al-Kaafi, kitab al Hujjah, Vol.I/373, hadits no.4, menukilkan sebuah riwayat yang disandarkan kepada Abu Abdillah:
"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan disucikan, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang mengaku berhak imamah dari Allah yang bukan haknya, dan orang yang menentang imamah dari Allah, dan orang yang meyakini bahwa mereka berdua (Abu Bakar dan Umar) termasuk orang Islam."
Demikian pula Al-Kaf'ami dalam kitabnya al-Mishbah, hal.552 menyebutkan doa yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan dengan Doa Shanamai Quraisy (Doa laknat atas dua berhala Quraisy). Dia menyebutkan bahwa doa ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu 'anhu. "Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua berhala Quraiys, dan kedua jibt dan thaghutnya (maksudnya: syetan yang disembah selain Allah-Pent), kedua tukang dustanya, dan kedua putrinya yang telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari wahyu-Mu..” Tak ketinggalan Ali al-Hara-iri dalam kitabnya Ilzam al-Nashib fii Itsbaat al-Hujjah al-Ghaib, Vol.II/266 menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Fir'aun dan Hamman. Diriwayatkan, Al-Mufadhall bertanya, 'Wahai tuanku, siapakah Fir'aun dan Hamman itu?' Sang Imam menjawab, 'Abu Bakar dan Umar'."
Sebenarnya kapan pertama kali hari Idul Ghodir ini diselebrasikan? Menurut ulama syi’ah, awal mula selebrasi Idul Ghodir ini pertamakali terjadi dalam sejarah pada saat Ali bin Abi Thalib berkuasa sebagai khalifah.
Situs syiah menulis, “Sekitar 30 tahun setelah rombongan besar kaum Muslimin berkumpul di Ghadir Khum, untuk pertama kalinya umat Islam kembali memperingati hari bersejarah dan paling menentukan bagi nasib Umat Islam di era kekhilafahan Imam Ali dan kehadiran beliau di Kufah. Pada hari Jumat bertepatan dengan peringatan hari raya Ghadir, Imam Ali di hadapan kaum Muslimin yang berkumpul dalam acara shalat Jumat menyampaikan Khutbah mengenai Ghadir. Beliau menyampaikan kembali peristiwa Ghadir bagi umat Islam yang tidak hadir dalam peristiwa besar itu, maupun masyarakat yang tidak mengetahuinya. Sayidina Ali bin Abi Thalib menyebut hari Ghadir sebagai hari raya terbesar umat Islam. Pernyataan beliau tersebut menegaskan urgensi tradisi memperingati hari raya Ghadir sebagai hari paling bersejarah bagi umat Islam yang harus diperingati setiap tahun.” (Lihat artikel “Idul Ghodir dalam Perspektif Imam Ali” yang dirilis hari Selasa, 22 Oktober 2013 di situs http://indonesian.irib.ir/headline2)
Para para ulama dan sejarawan muslim terkemuka mencatat, tradisi selebrasi Idul Ghadir baru dimulai sejak era Daulah Buwaihi menguasai sebagian wilayah Irak di abad ke-4 H. Itu artinya perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup, maupun di era tabi’in dan tabi’ tabi’in yang disebutkan oleh Rasul bahwa mereka adalah 3 periode Islam yang terbaik. “Khairunnasi qorni tsumma al-ladzina yaluunahum tsumma al-ladzina yaluunahum”. Bahkan tidak pula diperingati pada saat Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkuasa pasca syahidnya Sayidina Utsman bin Affan ra.
“Perayaan Hari Raya Idul Ghadir itu memang tidak ada dalilnya dalam Islam,” tegas Prof. Dr. Mohammad Baharum, pakar tentang Syiah dari MUI Pusat.
Itu bisa dipahami bahwa perayaan Idul Ghadir ini adalah suatu rekayasa kelompok Syi’ah. Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadirkhum, telah dibantah oleh seluruh ulama sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti al-Bukhari dan Muslim. Hadis Ghadir Khum “Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlah” dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Al-Hakim. Menurut para ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali dan bukan pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya bukan kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata ‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’ sebagaimana teks hadis, ed.).
Jika teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr ra sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra untuk memantapkan posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma' adalah bentuk kepastian petunjuk (Qoth'iy Dilalah) dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
Karena sifat ajarannya yang sangat destruktif dan dilandasi dengan semangat kebencian terhadap tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan para sahabat Nabi lainnya – sangat aneh jika pemerintah SBY mendukung acara tersebut. Acara seperti jelas memecah belah umat Islam dan menistakan agama Islam.
Sudah sangat gamblang, hari raya umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia hanya 2 yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Diluar kedua hari raya itu jelas suatu bid’ah agama yang sesat. Ia bukan hanya merusak akidah umat Islam Indonesia, tetapi juga mengancam keutuhan dan persatuan umat Islam di Indonesia ini yang meyakini dan mengamalkan akidah ahlusunnah wal jama’ah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak lama telah mengukuhkan hal tersebut dengan menegaskan bahwa “mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus” (Fatwa Nikah Mut’ah 25 Oktober 1997, lihat Himpunan Fatwa MUI: 376).
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!