Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 8 April 2013 07:33 wib
43.472 views
Kecaman Berubah Menjadi Dukungan Terhadap Kopassus
Yogyakarta (voa-islam.com) Kematian Sersan Heru Santoso, anggota Kopassus, Grup 2, Kandangmenjangan, Surakarta, yang tewas dibunuh secara sadis para preman yang berasal dari Ambon dan NTT, di Hugo's Cafe, berubah menjadi dukungan simpati terhadap kesatuan elite itu.
Kalangan pemuda dan rakyat Yogyakarta, memberikan dukungan kepada Kopassus, guna memberantas dan membersihkan para preman dari Yogyakarta. Karena, selama ini ada pembiaran terhadap para preman, dan bahkan ada oknum aparat yang memberikan dukungan kepada para preman.
TNI Angkatan Darat dan Kopassus, beberapa hari ini, terus diharu-biru oleh media seperti Kompas, Tempo, dan lainnya, yang dituduh melakukan hukum rimba, ketika mengeksekusi empat orang preman dan mantan anggota polisi yang membunuh secara sadis Sersan Heru Santoso.
Kecemanan dan cercaaan itu, kemudian berbalik menjadi dukungan rakyat dan elemen-elemen pemuda Yogyakarta, yang menginginkkan kota pelajar dan budaya itu dibersihkan dari para preman. Rakyat dan para pemuda Yogyakarta mendukung tindakan Kopassus yang mengeksekusi para preman.
Yogyakarta, kota pelajar dan budaya yang tenang, berubah penuh dengan kekerasan sejak berdatangannya orang-orang dari Ambon dan NTT, bahkan berkembangnya budaya kekerasan, narkoba, dan minum, alias premanisme.
Ketenangan menjadi porak-poranda. Kekerasan kerap terjadi dan keributan menyeruak di seantero kota Yogyakarta. Semua ini berlangsung, karena adanya dukungan dan main mata, antara para preman Ambon dan NTT dengan oknum aparat kepolisian.
Hari Minggu, di kota Yogyakarta, di tengah guyuran hujan, berlangsung aksi dukungan terhadap Kopassus. Ratusan pemuda dari berbagai elemen, menggelar aksi dan melakukan orasi mendukung tindakan Kopassus yang membersihkan para preman dari kota pelajar dan budaya itu.
Mereka menginginkan kota Yogyakarta bersih dari segala bentuk premanisme, yang sekarang sudah menjadi ancaman nyata kehidupan mereka. Mereka menginginkan Yogyakarta dibersihkan dari premanisme. Karena itu, sekarang rakyat Yogyakarta terus melakukan sweeping dan pengawasan terhadap orang-orang yang berprofesi preman.
Ratusan pemuda menggelar aksi dukungan atas kejujuran Kopassus, Kandangmenjangan yang mengakui perbuatannya. Para anggota Kopassus itu sudah mengakui sebagai pelaku penempbakan empat penghuni Lapas Cebongan, yang berasal dari Ambon dan NTT.
Selama ini rakyat Yogyakarta sangat diresahkan orang-orang Ambon dan NTT, yang selalu mengintimidasi mereka. Dengan berbagai bentuk kekerasan yang mereka lakukan. Dengan tindakan yang dilakukan Kopassus itu, rakyat Yogyakarta kembali memiliki spirit melawan para preman itu.
Ratusan elemen pemuda dan rakyat Yogyakarta itu, berasal dari FKPPI, Paksitkaton, Jogya Otomotif, Rembug Jogya, Jogya Community, GP Ansor, dan beberapa elemen lainnya dari rakyat Yogyakarta. Kelompok-kelompok itu bergabung dalam : "Pemuda Anti Premanisme".
Di Tugu Perjuangan, para pemuda itu, salah satu diantara pemuda itu, melakukan orasi tanpa henti, dan mengungkapkan dukungannya kepada Kopassus. Orasi yang dilakukannya itu, sebagai bentuk dukungan dan simpati terhadap anggota Kopassus,Sersan Heru Santoso. Kemudian, mereka mengumpulkan dana : "Semiliar Koin untuk Serka Heru".
"Ini aksi dukungan kita kepada Kopassus yang dengan berani memberantas preman Yogyakarta", kata Utomo, Koordinator aksi. Ratusan pemuda menglilingi Tugu dengan benda Merah Putih sepanjang 60 meter. Mereka juga menggelar tabur bunga dan do'a bersama untuk almarhum Serka Heru Santoso.
Beberapa spanduk dikibarkan mengelilingi Tugu bertuliskan, "Rakyat-TNI bersatu berantas premanisme, Terimakasih Kopassus, Yogya Aman Preman Minggat, Kastria Kopasssu Berani Berubat Berani Bertanggungjawab", dan "Preman itu Pengecut dan Tak Punya Perasaan".
Memang, sejak terjadi pembunuhan Serka Santoso, dan kemudian terjadinya pembunuhan terhadap empat orang preman dari Ambon dan NTT, banyak para pemuda yang berasal dari Ambon dan NTT itu, meninggalkan Yogyakarta, dan sebagian diantara mereka meminta perlindungan gereja.
"Kita menolak tegas premanisme dan usir Yoyakarata", ujar Utomo. Dengan aksi itu menunjukkan solidaritas pemuda Yogyakarta, yang menginginkan kota Yogya menjadi aman dan bebas segagala bentuk premanisme.
Dibangian lain, pengumpulan semilair koin untuk almarhum Serka Heru Santosos dialkukan dengan mengedarkan kardus bertuliskan : "Semiliar koin Serka Heru Santoso", kepada pengendara motor, mobil, dan pejalan kaki yang melewati Tugu.
Selanjutnya, menurut Prasetyo, salah satu orator yang ikut dalam aksi di Tugu itu, mengatakan pengumpulan "semiliar koin", merupakan bentuk solidaritas bagi almarhum Serka Heru Santoso. Pengumpulan koin itu akan dilakukan selama satu bulan. Memang, rakyat sudah sangat letih, melihat berbagai kekerasan yang dilakukan para preman, sementara mereka ini, mendapatkan dukungan dari oknum aparat.
Aksi para pemuda itu, kemudian diakhiri dengan melakukan konvoi yang membawa foto Serka Heru Santoso diiringi bendera Merah Putih, sepanjang 60 meter, dan berbagai spanduk, serta foto Serka Heru Santoso diletakkan dibawah patung Jenderal Sudirman di halaman Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Sementara itu, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jenderal AM Hendropriyono mengatakan, “Premanisme di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi,” ungkap Hendro kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/4/2013)
“Makanya secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu mereka dapat bintang mahaputra,” papar Kepala BIN 2001-2004 ini.
Oleh sebab itu, Alumni Akmil 1967 ini meminta masyarakat memahami kasus ini secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Selain itu, Hendro juga meminta masyarakat tidak menyeret-nyeret pimpinan Kopassus dalam perkara tersebut.
“Apa yang dilakukan prajurit-prajurit Kopassus ini di Cebongan, kalau secara moral dia adalah prajurit yang baik, tapi secara hukum dia salah. Seandainya dia harus dihukum, dia tetap seorang prajurit yang baik. Kalau perlu dikasih bintang jasa itu sama masyarakat. Hukum bicara yang benar dan yang salah. Moral bicara yang baik dan yang jelek. Hukumnya bisu, makanya senjata saja yang bunyi,” tambah Hendro. af/rplk.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!