Kamis, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Februari 2013 22:51 wib
37.747 views
Antara Jokowi dan Ahok : Kegagalan Sudah Di Depan Mata
Jakarta (voa-islam.com)Tidak sehebat seperti yang ditulis oleh media-media yang menjadi pendukung Jokowi-Ahok, begitu luarbiasanya citra Jokowi-Ahok, sebagai pemimpin baru.
Luar biasa sanjungan dan pujian terhadap kedua kepala pemerintahan DKI ini. Seakan sebagai orang-orang yang sangat mumpuni, dan akan mengubah seluruh kehidupan di Jakarta.
Tentu, tidak ada yang meminta Jokowi dan Ahok untuk menjadi Bandung Bondowoso, yang sanggup membangun 99 patung dalam semalam. Tapi bagaimana bila ayam sudah hampir berkokok, jangankan 99, satu patungpun belum jelas wujudnya…?
Berikut ini adalah beberapa patung yang masih berbentuk lempung :
Kampung Deret
Proyek yang selalu ditenteng Jokowi pada masa kampanye dulu adalah Kampung Deret atau Kampung Susun di bantaran kali. Pilot project di bantaran kali Ciliwung itu akhirnya mengalami naas : tidak jadi dibangun karena menabrak Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Kartu Jakarta Sehat (KJS)
KJS, seperti yang dikabarkan memiliki kelebihan berupa rekam medis di chip kartu, persyaratan lebih mudah/tidak perlu surat miskin untuk memperolehnya serta menghapus strata kelas ruang perawatan dengan otomatis naik ke kelas lebih tinggi jika tidak tersedia tempat di kelas lebih rendah. Semua keunggulan itu ternyata tidak didukung oleh kesiapan dana, prasarana, SDM dan perubahan mentalitas pekerja kesehatan.
Lonjakan jumlah pasien sekitar 50-100% sudah terasa sejak Nov 12 lalu, namun masih dipandang sebagai kesuksesan KJS membangkitkan minat berobat masyarakat dan tersedianya pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu.
KJS bahkan tidak dibutuhkan, banyak Puskesmas yang karena takut dianggap tidak mendukung program Gubernur baru, atau mungkin takut dimarahi Ahok, menerima pasien cukup dengan KTP.
Akibat promosi kencang, euphoria masyarakat tak terbendung. Yang datang bukan hanya yang benar-benar sakit dan tidak mampu, tapi juga yang sakit tidak benar-benar serius dan tidak benar-benar tidak mampu; sampai Puskesmas dan Rumah Sakit kewalahan.
Puskesmas sampai kelebihan beban dan mendorong pasien ke RS, RS berteriak minta Puskesmas jangan asal rujuk. Belum lagi lonjakan tagihan yang akibat masalah internal berupa macam-macam koreksi di administrasi Pemda, sehingga beberapa RS mengalami kesulitan cashflow.
Puncaknya adalah peristiwa meninggalnya adik Dera, setelah ditolak 10 Rumah Sakit dengan alasan ketiadaan NICU dan tempat perawatan.
Ganjil-Genap dan Electronic Road Pricing (ERP)
Penanggulangan kemacetan dengan sistem Ganjil-Genap yang menjadi isu utama pada Dec 2012 lalu, akhirnya tidak jalan. Protes berdatangan dari mana-mana, termasuk dari Neta S. Pane/IPW, karena dianggap titipan ATPM dan merugikan pengguna kendaraan.
Setelah Ganjil-genap batal, ERP diangkat. Apabila tahun lalu Ahok bilang ERP rumit, sekarang ini menyimak pembicaraan Ahok, seolah-olah pelaksanaan ERP itu gampang banget. Tinggal ditenderkan, pembayaran bisa potong rekening, diintegrasikan dengan pembayaran tilang dan perpanjangan STNK. Kalau mau tahu cara kerja sistem ERP itu, Ahok bilang tak usah studi banding, tinggal tonton saja di Youtube. Apa benar semudah itu?
Tampaknya ERP ini – maaf – akan seperti kentut saja. Heboh sebentar setelah itu hilang dibawa angin. Banyak sekali masalah ERP yang harus dijawab : bagaimana memastikan setiap unit mobil yang masuk Jakarta/kawasan ERP memasang dan mengaktifkan OBU (On Board Unit), apabila Jakarta ini banyak titik masuknya, bukan pulau dengan akses masuk terkontrol seperti Singapura.
Bagaimana billing dan collection, dan bagaimana enforcementnya…? Solusi sambil-lalu yang dijawab Ahok : diskon 50% Biaya Balik Nama untuk pemasang OBU, auto debet ke rekening, jelas bukan jawaban.
Bagaimana dengan BPKB yang sudah atas nama yang benar ? Berapa banyak yang bersedia untuk auto debet rekening ? Di Jakarta ini, banyak pemilik dan pengguna kendaraan tidak sama dengan nama di BPKB, siapa yang harus ditagih…?
Monorail
Seperti diketahui, konsorsium pemodal baru Ortus Group sudah masuk ke PT Jakarta Monorail, tanda-tanda proyek ini akan diaktifkan lagi. Sampai saat ini, Jokowi berkeras bahwa biaya tiket monorail harus sekitar Rp 8.000 dan Pemprov tidak akan subsidi, sementara kabarnya hasil perhitungan investor ada di kisaran Rp 40.000. Selisih bukan sedikit, tapi 5x lipat. Jokowi ibarat menawar dengan sistem Mangga Dua di Sogo Dept Store, yang tidak akan ada titik temunya.
Rusun Marunda
Isu kosongnya rusun-rusun di Jakarta termasuk di Marunda yang acapkali disebut ‘berhantu’ sudah lama diungkit oleh DPRD sejak tahun 2011. Awalnya adem-adem saja dan tidak prioritas, tapi begitu Ahok mengalami masalah saat menempatkan korban banjir Pluit di rusun Marunda, tiba-tiba sang rusun jadi beken abis.
Heboh sekali, sorotan media massa nyaris setiap hari. Ada kepala rusun langsung dipecat, ada koboi belitung dan ada pintu yang didobrak..pyar… Setelah dihadirkan segala macam gratisan mulai dari angkutan, kasur, perabot, TV, kulkas sampai pijit; kabarnya yang antri membludak. Mirip barisan di depan kasir supermarket kalau lagi ada cuci gudang.
Apabila anda menyempatkan diri ke rusun Marunda, akan menjumpai 11 tower tersebut masih banyak sekali yang kosong, menandakan ada masalah substansial yang masih harus dibenahi. Bahkan menurut Kompas, ada penghuni rusun yang sudah kabur membawa TV dan kulkas.
Pelanggaran jual-beli rusun yang disebut Ahok juga kemungkinan adalah proses/makelar subkontrak, karena mencari penyewa serius yang komitmen tinggal permanen dan membayar tidak mudah. Masa sih ada yang mau membeli rusun yang sertifikatnya milik Pemda ?
Giant Sea Wall (GSW)
Baik Jokowi maupun Ahok sudah mengakui bahwa ini adalah proyek Foke, maka basisnya adalah studi yang dilakukan Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS). Dalam rilis JCDS, ada 3 opsi GSW, dan tampaknya yang dipromosikan Ahok adalah opsi ke 3, yang di dalamnya termasuk reklamasi 3.000 hektar.
Karena biaya yang tercantum di JCDS sebesar US$ 21Milliar (setara Rp. 200 triliun ) digelembungkan Ahok menjadi Rp. 385 triliun, menunjukkan ambisi Ahok melebihi Foke.
Ambisi itu juga ditunjukkan melalui keinginan untuk memajukan proyek ke tahun 2013 dari 2016 yang direncanakan. Padahal opsi 3, menurut JCDS, perencanaan dan persiapannya begitu kompleks, sehingga realisasinya antara 2020-2030.
Dalam rencana Foke, GSW dibiayai melalui pinjaman luar negeri, hibah, partisipasi masyarakat melalui obligasi, APBD dan dunia usaha. Sementara Ahok ingin 100% GSW itu dibiayai oleh investor, yang disebutnya ‘cukong’; dengan imbalan izin reklamasi di Pantura Jakarta berupa 17 pulau.
Jika Foke masih punya etiket, malu menyebut reklamasi, urat malu Ahok tampaknya sudah putus dengan tanpa ragu menyebut reklamasi sebagai penyelamat.
Sekilas Ahok terlihat pintar, warga DKI bisa dapat GSW gratis. Tapi apabila disimak lebih dalam, sebenarnya opsi Foke lebih aman sebab melibatkan pihak luar negeri dan masyarakat, yang menuntut transparansi, prospektus setebal bantal dan AMDAL yang jelas.
Sementara Ahok menyerahkan nasib pantura DKI ke tangan cukong. Apakah rakyat dan para pengamat akan mendapatkan penjelasan maupun dapat mengawal reklamasi dan efeknya terhadap hajat-hidup mereka ? Wallahualam.
Paling juga terus berjalan tanpa kendali seperti reklamasi yang sekarang ini, yang disebut Departemen Lingkungan Hidup merupakan penyebab banjir di DKI dan amblesnya tanah di Pantura.
Jika dipikirkan secara logika, akan didapat dari mana tanah dan pasir untuk urukan 17 pulau itu ? Apabila disebut dari galian waduk dan sungai di Jakarta, apa mungkin ?
Coba lihat peta DKI di Perda RTRW 2010-2030, berapa besar waduk, sungai, dan berapa besar rencana reklamasi…? Apakah sebagian pulau Pulau Belitung mau dipindahkan untuk membangun 3.000 hektar plus ini ? Atau, apakah ini proyek heboh-hebohan yang hanya akan berakhir senyap seperti yang lainnya?
Ahok : Achilles Heel Jokowi
Setiap kali Ahok buka mulut di depan wartawan, nyaris tiap kali itu pula menyinggung pihak lain. Memang di dunia ini ada orang yang merasa perlu mengangkat diri dengan menjatuhkan/mempermalukan orang lain.
Dulu kita tak pernah dengar suara Wagub DKI, sekarang Wagub DKI sibuk tebar pesona menyaingi bossnya.
Belum lama dilantik, dalam wawancara Gatra Oktober 2011 lalu, Ahok mengatakan Pemprov (Ahok) harus jadi tuan di atas cukong. Entah apa yang dipikirkan para cukong saat mendengarnya. Kalimat yang gagah sekali, baik untuk pencitraan namun tak ada gunanya di hidup nyata.
Sebab cukong yang dimaksud, sudah jago berbisnis saat Ahok masih bercelana kodok. Boro-boro Ahok mencabut izin cukong apabila menolak bangun GSW, ternyata Ahok harus jual izin reklamasi 17 pulau untuk imbalan GSW gratis. Belum apa-apa Ahok harus pasang badan bagi cukong untuk urusan AMDAL. Tragis, Ahok akhirnya hanya jadi salesman cukong.
Sikap Ahok menantang debat soal AMDAL, apabila dilihat dari sejarah panjang perseteruan Kementerian Lingkungan Hidup dan pengusaha soal reklamasi, menyakitkan hati bagi Walhi dan para aktivis lingkungan. PDI-P pasti ingat, Keputusan Menteri LH itu, dibuat pada zaman ibu Megawati. Nabil Makarim adalah salah satu menteri kesayangannya.
Apabila Jokowi selalu berusaha membangun hubungan baik dan santun terhadap berbagai pihak, semua itu dengan mudah dibuyarkan oleh Ahok.
Selain doyan memarahi anak buahnya, seperti mengancam memecat Lurah apabila ada warga meninggal saat banjir, gara-gara meninggalnya seorang kakek yang memang sudah sakit saat banjir di Kampung Pulo.
Menghadapi Kepsek yang mengingatkan bahwa pemotongan anggaran bisa menurunkan mutu siswa, malah disergah, supaya siswa super wahid – ente butuh berapa triliun…?
Ahok belum lama ini, tanggal 17 Feb di Tempo.co, sudah mulai lancang menyebut atasannya ‘kurang galak’ sambil mengangkat diri dan nyalinya yang berani memecat siapa saja, kapan saja, dan bahkan siap diPTUNkan.
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/17/083461907/Ahok-Nilai-Jokowi-Kurang-Galak
Pada saat banjir Pluit, ketika ditanya wartawan dimana keberadaannya sejak 3 hari yang lalu, dengan seenaknya Ahok nyeletuk soal ‘pulang ke Belitung’. Tidak puas dengan vendor pengelolaan sampah, malah keluarkan ide asbun seperti menggaji 2000 pemulung Rp 2 juta per orang untuk mengangkat sampah Jakarta. Karena asal bunyi, ya kini tak ada kabarnya lagi.
Lebih dari sekali Ahok menyinggung kepolisian. Soal plat mobil, misalnya, Ahok menginsinuasikan mengenai penjualan plat mobil DKI 2 ke swasta, padahal menurut kabar plat tersebut sudah sejak lama dipegang Foke.
Untuk urusan ERP, yang jelas tidak akan berhasil tanpa kerja-sama dari Polda Metro Jaya; Ahok mengeluarkan lecehan ‘prit jigo prit gocap’. Tingkah laku negatif Kepolisian harusnya yang menegur adalah atasannya. Ahok adalah kolega, pihak yang memerlukan kerja-sama.
Apa jaminannya cara komunikasi tersebut tidak membuat Ahok justru dialienasi sementara banyak proyek Pemprov DKI yang perlu didukung kepolisian…?
Untuk urusan ERP itu pula, Ahok sempat-sempatnya menyentil soal ‘studi banding’ – apakah ini yang dituju adalah DPRD…? Ahok bahkan menggampangkan bahwa sistem tersebut cukup dilihat di Youtube !
Tanggal 19 Feb kemarin, saat sedang berbicara mengenai KJS di RS Husada, Ahok bahkan menginsinuasikan ‘perut, otak dan dompet’ lebih penting daripada ahlak.
Meskipun ahlak bukan cuma soal agama, tapi juga lingkungan, upbringing; Ahok nyasar kemana-mana soal semua pejabat yang disebutnya munafik soal pelaporan harta kekayaan, soal agama dan politik bahkan tak masalah dianggap kafir no. 1. Juga menegaskan negara ini tak bisa dipimpin baik-baik, harus diajak berantem.
http://news.detik.com/read/2013/02/19/171037/2174270/10/di-depan-para-dokter-ahok-luapkan-kekesalan-soal-pejabat-munafik
http://news.liputan6.com/read/516624/kesampingkan-akhlak-pejabat-ahok-silakan-cap-saya-kafir-nomor-1
Peristiwa terakhir ini menunjukkan secara kasat mata beda antara Jokowi dan Ahok. Apabila Jokowi adalah negosiator, fasilitator dan mengutamakan komunikasi; semua itu rupanya dianggap ‘kurang galak’ oleh Ahok yang siap berantem dengan siapa saja. Membangun kepercayaan itu tidak mudah, Jokowi bekerja keras tidak sehari-dua, tapi panas setahun usaha Jokowi bisa dihapus hujan sehari komentar tak sedap dari Ahok.
Duh, capenya jadi Jokowi
Alangkah sedihnya apabila pemerintahan Jokowi berlalu tanpa greget. Proyek-proyek pada GARING, nyaring bunyinya tapi tak ada yang berjalan baik. Karena kurang perencanaan, kurang koordinasi, kurang dukungan. Over-expose.
Sedikit-sedikit diblow-up ke wartawan; padahal bicara pada regulator, pengambil-keputusan dan pihak terkait juga belum. Peraturan yang ada tidak dicek dulu apakah benturan atau tidak.
Makin banyak proyek diheboh-hebohkan, lalu tak terwujud, akan makin banyak muncul kata GAGAL. Ini gagal itu gagal. Jokowi juga bisa gagal nyapres 2019.
Dua pemimpin asyik bicara, pasti akhirnya banyak keselip lidah. Nanti dibuat sensasi oleh media, timbul blunder yang bikin bingung rakyat.
Dua pimpinan seperti dua kutub : yang satu hendak merangkul, yang satu sibuk mengalienasi. Yang satu sibuk nyari teman, yang satu nyari musuh. Yang satu mencari titik temu, yang satu ngajak berantem. Yang satu santun, yang satu menyakitkan dalam bertutur. Don’t be cruel. Pemimpin santun bukan berarti lemah, sopan bukan berarti tak tegas. Be kind. (gts/kmpsna)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!