Ahad, 13 Jumadil Akhir 1446 H / 15 Desember 2024 11:30 wib
345 views
Sekularisme: Dikotomi Kehidupan dan Agama
BANDUNG (voa-islam.com) - “Jangan kira orang sekuler itu nggak percaya Tuhan. Mereka itu dualis. Kadang taat, kadang tidak,” ujar Dr. Akmal, Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) dalam kuliah bertajuk “Sekularisme” yang diadakan di Ruang Tafsir Masjid Istiqamah Bandung pada Kamis (12/12/2024) malam.
Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) ini mencontohkan perilaku sekuler salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesia, yang disebutnya lari ke agama ketika sedang kesusahan. Akan tetapi, ketika berkuasa, ia menekan bahkan memenjarakan tokoh Islam Indonesia. Mengutip Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ideologi yang menolak untuk memeluk ajaran agama secara utuh ini lantas dapat dikenali dari tiga tabiatnya. Tabiat tersebut antara lain adalah: disenchantment of nature (penghilangan pesona alam tabi'i), desacralization of politics (peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik),serta deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai dari kehidupan).
“Ketika melihat alam, mereka tidak menghubungkannya dengan Ketuhanan. Makanya ketika melihat eksploitasi alam dan manusia, tidak dihubungkan ke Tuhan. Berbeda dengan kita yang menyadari bahwa kita ini jadi khalifatu fil ardh. Makanya eksploitasi alam paling banyak dari Barat,” tutur salah satu pemrakarsa gerakan Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberal (ITJ) ini.
Lebih lanjut, Akmal menjelaskan bahwa politik bagi kaum sekuler juga tidak dianggap suci. Karenanya sering mencuat ungkapan, jangan bawa-bawa agama dalam politik. Padahal, agama dapat dijadikan pemandu untuk mengimplementasikan politik yang beradab. Akmal mencontohkan dengan membandingkan rezim Assad di Suriah dan pemerintah Bahrain. Keluarga Assad yang beragama Alawi menindas rakyat Suriah yang Ahlussunnah, padahal Sunni adalah mayoritas. Kebalikannya terjadi di Bahrain, di mana kondisi domestik relatif baik walau dipimpin kelompok Sunni yang minoritas di sana.
“Bagi orang sekuler juga, kebenaran selalu terbuka untuk diperdebatkan. Mereka bukannya tidak punya prinsip–mereka punya. Namun dari ‘tesis, antitesis, dan sintesis’ yang Barat banggakan, kebenaran itu dianggap tidak pernah final,” jelas pengarang buku “Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme” ini.
Peradaban Barat bisa mengadopsi ideologi ini karena terdapat beberapa masalah yang membuat penduduk Barat secara bertahap menjadi antipati terhadap Kristen, agama mayoritas mereka. Beloknya Barat ke tikungan sekularisme terjadi karena adanya masalah sejarah kelam dari otoritas Kristen abad pertengahan yang kejam, tidak bermoral, dan kental dengan penyiksaan. Selain itu, teks Injil juga tidak konsisten dan mengajarkan moral yang salah. Terakhir, doktrin ketuhanan mereka sendiri sulit diterima akal sehat.
“Mereka pikir Islam sama kayak agama mereka. Mereka pikir semua agama suka menyiksa dan kitab sucinya bermasalah. Padahal Al-Qur’an mah, cuma beda qira’at!” ucap Akmal.
Retno Istykhomah, seorang murid SPI, mengutarakan kesannya setelah mengikuti kelas Sekularisme ini. Ia menyadari bahwa pola pikir sekuler memengaruhi banyak hal di Indonesia. Contoh yang ia berikan adalah ungkapan orang-orang yang berbunyi, jangan bawa-bawa agama dalam politik.
“Lah, itu kan, sudah sekuler? Padahal Islam pun mengarahkan dan mencontohkan untuk berpolitik agar kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang salih, agar maslahat untuk rakyat jadi lebih besar,” ungkap perempuan yang gemar membaca tersebut dalam pesan singkat pada Jumat (13/12/2024) malam. (Khodijah Heryawan/Ab)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!