Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 3 September 2023 11:04 wib
8.472 views
Memenangkan Perang Pemikiran
BANDUNG (voa-islam.com) - Kuliah kedua Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Angkatan 9 Bandung kembali digelar di Ruang Tafsir Masjid Istiqomah, Bandung, pada Kamis (31/8/2023) malam. Topik yang dibahas dalam perempuan kali ini adalah “ghazwul fikri” yang dibawakan oleh Kepala SPI Pusat Dr. (Cand) Akmal Sjafril, M.Pd.I.
Ghazwul fikri atau perang pemikiran oleh Akmal diartikan sebagai konfrontasi yang terencana yang bertujuan untuk menaklukan pemikiran. Jika perang fisik yang kalah menjadi hancur atau terbunuh, dalam perang pemikiran yang kalah menjadi budak. Dalam situasi perang, siap atau tidak siap, musuh yang menyerang haruslah dihadapi.
Bagi umat Islam, perang pemikiran ini sudah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Seperti misalnya di Qur’an surat Al-Baqarah ayat 12: “ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Menurut Akmal urgensi tentang pemikiran atau fikrah itu penting karena manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh akalnya. Demikian pula segala potensi dirinya hanya bisa dimanfaatkan sesuai kondisi akalnya. Potensi yang besar dari seseorang atau dari suatu bangsa akan hilang manakala pemikirannya berhasil diperdaya dan dikerdilkan.
Akibat dari pemikiran atau akal yang sudah dikerdilkan itu muncul rasa rendah diri, merasa inferior ketika berhadapan dengan bangsa lain. Nilai-nilai yang dimilikinya melebur pada nilai-nilai yang dianggapnya superior.
Serangan pemikiran yang paling sederhana, menurut pria lulusan sarjana Teknik Sipil ITB ini, adalah melalui kata-kata. Sebab pemikiran itu ditransfer melalui kata-kata. Setiap kata memiliki konsep, dan setiap konsep mewakili sebuah pemikiran. Ia mencontohkan satu pernyataan yang pernah populer: “semua agama sama karena sama-sama mengajarkan kebaikan.” Ia membantah klaim ini dengan mencontohkan agama di luar Islam yang mengajarkan kerahiban. Islam menolak kerahiban. Kerahiban dalam Islam bukanlah kebaikan. Jadi Islam tidaklah sama dengan agama-agama yang lain.
Pernyataan lainnya yang bersifat ghazwul fikri adalah: “Allah tidak perlu ditolong” atau “Islam tidak perlu pembelaan dari umatnya” atau lagi “Rasulullah tidak pernah marah ketika disakiti”, dan lain-lain pernyataan yang serupa. Pernyataan itu, menurut pria kelahiran Jakarta tahun 1981 itu, hanya mungkin muncul dari orang yang tidak memiliki rasa cinta, rasa hormat. Jika cinta tidak ada, tidak mungkin tumbuh rasa cemburu. Pembelaan itu hanya mungkin datang dari orang yang terusik cintanya, atau terbakar rasa cemburunya.
Lebih jauh Akmal menjelaskan modus perang pemikiran, yaitu melalui media massa, pendidikan, dan hiburan. Tidak berarti modus lain tidak ada. Akan tetapi ketiga modus ini diandalkan karena memiliki dampak kerusakan yang besar pada musuhnya. Melalui media massa, sebuah kebohongan bisa disulap menjadi “kebenaran” seperti yang terjadi pada peristiwa runtuhnya gedung menara kembar WTC pada 11 September 2001, dan mempengaruhi cara berpikir manusia sedunia. Protes para ahli bangunan pencakar langit atas penjelasan media ihwal keruntuhan gedung yang tidak masuk akal itu diabaikan. Yang terjadi adalah kebohongan itu dituliskan berulang-ulang agar menjadi kebenaran baru.
Alya Rizkita Irwan, salah seorang murid SPI Angkatan 9 Bandung, mengakui kuliah tentang ghazwul fikri ini memberinya kesadaran baru tentang besarnya tantangan dakwah. “Jika dulu saya mengenal tantangan dakwah itu dari 3F (fun, food, fashion), tapi malam ini Ustadz Akmal menjelaskan tiga modus lain, yakni media massa, pendidikan, dan hiburan.” Ia menyimpulkan bahwa mereka yang pemikirannya lemah akan menjadi korban, sedangkan mereka yang memiliki pemikiran yang kuat dapat melakukan serangan balik dan punya kesempatan untuk menjadi pemenang. Lulusan S1 Kimia Universitas Negeri Yogyakarta ini menjadi lebih termotivasi untuk menjaga budaya ilmu agar siap menjadi da’i yang mampu melawan ghazwul fikri.
Motivasi yang sama juga diungkapkan murid lainnya, yaitu Reflina Sifa Akmarina. Sarjana Teknologi Pangan Universita Pasundan ini bertekad terus belajar untuk memperluas ilmu dan wawasan. Diantaranya dengan menguatkan budaya membaca buku sebagai asupan ilmu yang bergizi. “Bagaimana agar kita terus memperdalam pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As Sunnah, memahami Sirah Nabawiyah sebagai standar haq dan bathil.” (ESA/Ab)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!