Hal ini disampaikan Halal Partnership and Audit Services Director of LPPOM MUI, Dr Muslich, dalam webinar bertema “Logistik Halal: Memenuhi Harapan Konsumen dan Kepatuhan terhadap Regulasi” yang diselenggarakan LPPOM MUI pada Kamis (3 /8/2023) lalu.
“Di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal untuk scope yang luas adalah Indonesia. Sementara negara lain, sertifikasi halal diwajibkan hanya jika sebuah produk ingin diklaim halal,” terang Muslich dalam keterangannya kepada MUIDigital, Selasa (8/8/2023).
Dia menjelaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Sementara itu, kata dia, pada UU Nomor 6 Tahun 2023 yang merupakan revisi dari UU JPH, mendefinisikan produk sebagai barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat.
“Jelas disebutkan bahwa jasa termasuk dalam scope yang wajib sertifikasi halal,” kata dia.
Dia menyebutkan, poin penting lainnya juga tercantum dalam regulasi turunan JPH, yakni pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Hal ini mencangkup masa penahapan atau tenggang waktu sertifikasi halal. Penahapan wajib sertifikasi halal yang terdekat pada 17 Oktober 2024 untuk produk makanan dan minuman.
Menurut dia, jika dikupas lebih dalam, penahapan wajib halal 2024 untuk kategori makanan minuman bukan hanya bicara soal produk akhir.
Seluruh hal yang mencangkup proses produksi produk akhir makanan dan minuman juga termasuk dalam tenggat waktu ini. Beberapa hal tersebut, di antaranya bahan baku, bahan tambahan, serta bahan penolong untuk makanan dan minuman.
Selain itu, kata dia, jasa yang terkait dengan makanan minuman juga menjadi wajib bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024.
Jasa yang dimaksud dalam hal ini meliputi jasa penyembelihan (rumah potong hewan/unggas), jasa pengolahan, jasa penyimpanan, jasa pengemasan, jasa pendistribusian, jasa penjualan (retailer), serta jasa penyajian (restoran/kafe/warung siap saji).
“Kalau dalam tenggat waktunya sertifikasi halal sebuah produk belum terpenuhi, maka akan ada sanksi dari pemerintah berupa teguran tertulis, denda, penarikan produk, atau larangan mengedarkan produk,” jelas Muslich.
Artinya, kebutuhan sertifikasi halal didorong kuat oleh regulasi yang berlaku di negara setempat. Bisnis harus memenuhi regulasi bila ingin berjalan dengan baik. Dorongan kuat lainnya untuk melakukan sertifikasi halal berasal dari konsumen.
“Bisa jadi tenggat waktunya belum jatuh tempo, tapi konsumennya yang meminta sertifikasi halal sebagai jaminan atas kehalaln produk. Ini yang menjadi dorongan. Tentu kebutuhan konsumen ini menjadi hal yang paling utama untuk dicarikan solusi oleh perusahaan,” ungkap Muslich. (MUID)