JAKARTA (voa-islam.com) - Pilihan Jokowi politisi NASDEM sebagai Jaksa Agung, menggantikan Basrif Arief. Keputusan Jokowi ini, menunjukan sudah mulai tersandera oleh partai politik, terutama partai pendukungnya. Ini terlihat jelas dari pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung menggantikan Basrief Arief.
Ketua Setara Institute Hendardi menilai, keputusan Presiden Jokowi mengangkat HM Prasetyo, yang merupakan politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem), membuktikan dirinya tersandera oleh kepentingan partai.
"Pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung pertanda bahwa Jokowi nyata tersandera oleh partai politik," kata Hendardi, dalam keterangan singkatnya, Kamis (20/11/2014).
Dia juga mulai pesimis dengan persoalan hak asasi manusia (HAM). Hendardi mulai tidak yakin, kasus-kasus HAM yang awalnya dijanjikan oleh Jokowi dituntaskan, akan berjalan mulus.
"Ini juga indikator awal bahwa cita-cita pemajuan pemberantasan korupsi dan peradilan HAM berat akan jalan ditempat," kata aktivis HAM ini.
Kolaborasi Menteri Hukum dan HAM yang dari partai (PDI Perjuangan), dengan Jaksa Agung (NasDem) diyakini Hendardi sebagai performa buruk dalam penegakan hukum.
"Performa buruk penegakkan hukum dengan Jaksa Agung dan Menkumham yang keduanya berasal dari parpol, akan terjadi pada era Jokowi. Jokowi pun diprediksi gagal memenuhi janji penegakan HAM sebagaimana dikampanyekan," katanya.
Kepastian pengangkatan HM Prasetyo ini disampaikan oleh Seskab Andy Widjajanto. Pelantikan akan dilakukan di Istana Negara pada Kamis (20/11/2014) ini sekitar pukul 14.00 WIB.
Jadi janji Jokowi tidak akan mengangkat tokoh partai menjadi pejabat di pemerintahannya, hanya isapan jempo. Kolaborasi antara Nasdem dan PDIP, semua mempunyai tujuan dan kepentingan dengan masalah hukum bagi KIH?
Dibagian lain, Ketua KPK Abraham Samad, menganggap Prasetyo bukanlah figur yang layak menduduki jabatan Jaksa Agung. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK tidak menyambut baik pilihan yang ditentukan oleh kepala negara. "Sangat tidak tepat," ujar Ketua KPK Abraham Samad kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/11).
Abraham tegas tidak setuju Prasetyo sebagai koleganya di sesama lembaga penegak hukum. Latar belakang Prasetyo sebagai seorang politisi Nasional Demokrat dipandang tidak layak mengurusi Kejaksaan Agung.
"Orang yang berlatar belakang politisi biasanya mempunyai konflik kepentingan. Padahal kejaksaan Agung adalah institusi penegakan hukum yang memerlukan sosok independen dan berintegritas," ujarnya.
Sebelumnya, dikabarkan telah terjadi pertemuan antara Paloh dan Jokowi di Istana Negara, sebelum nama Prasetyo dipilih. Ketika itu Jokowi meminta jaminan agar Prasetyo keluar dari NasDem agar lebih independen.
"Kalau tidak bisa melakukan itu dimungkinkan pergantian segera kata presiden," ujar Andi di Istana Negara, Kamis.
Selanjutnya, aktivis anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan pengangkatan Prasetyo oleh Presiden Jokowi sebagai tanda duka cita. Alasannya, Prasetyo selama ini diketahui berkutat di bidang politik, yang dianggapnya sebagai tempat rawan terjadinya aksi korupsi.
"Ini berita duka cita. Politisi jadi Jaksa Agung, itu namanya mimpi buruk," kata Emerson, di Jakarta, Kamis (20/11). Dia menjelaskan, mimpi buruk itu akan dialami di ranah hukum Indonesia, karena ICW menilai sejarah politik Prasetyo di partai politik akan membuat sosok Jaksa Agung yang baru akan kehilangan independensi.
"Pasti akan rawan intervensi. Apalagi dari partai politiknya," ujarnya.
Emerson juga meyakini, keputusan Presiden Jokowi memilih HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung merupakan bentuk transaksi politik dari partai pendukung Jokowi. "Dengan dipilihnya Prasetyo, sangat terlihat ada transaksi politik di antara partai pendukung Jokowi," kata dia.
Lebih lanjut, Emerson memprediksi, hukum di Indonesia kelak akan memiliki masa depan yang suram dengan dipilihnya Prasetyo. "Ke depannya pasti Madesu, jalan di tempat, stagnan," ujarnya. Jujurkah Jokowi? [jj/dbs/voa-islam.com]