Sabtu, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 23 Agutus 2014 06:04 wib
15.580 views
Silaturrahim AILA Indonesia, #IndonesiaTanpaJIL dan Fahira Idris Membahas Propaganda LGBT
JAKARTA (voa-islam.com) - Menanggapi propaganda LGBT (Lesbi Gay Biseksual Transgender) yang marak berkembang, sebuah pertemuan sederhana digelar di Rumah Damai Indonesia (RDI) di bilangan Jatipadang, Jakarta, pada hari Selasa, (19/08). Silaturrahim ini mempertemukan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) dan Fahira Idris, pendiri Gerakan Anti Miras (GENAM).
Problem propaganda LGBT kembali mengemuka sejak mencuatnya kasus buku Why? Puberty yang memuat konten pro-LGBT. Menurut penelusuran Fahira Idris, buku ini telah diprotes oleh sejumlah pihak sejak dua tahun yang lalu. Hanya saja, belum ada pengerahan opini publik yang masif seperti sekarang. Selanjutnya, Penerbit Elex Media telah memutuskan untuk menarik buku tersebut dari peredaran dan mengaku teledor. Meski demikian, sejumlah kalangan tetap menyeru untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap propaganda serupa di buku-buku lain dan berbagai media lainnya.
Fahira sendiri terlibat aktif dalam menggalang dukungan dari masyarakat. Melalui akun Twitter-nya, Fahira meminta masyarakat untuk menyampaikan keluhannya secara tertulis. Hasilnya, dalam waktu singkat terkumpul lebih dari 500 surat yang meminta buku Why? Puberty ditarik dari peredaran. Seluruh surat ini kemudian diserahkan kepada Elex Media.
Menurut Fahira, propaganda LGBT ini sangat meresahkan, sebab selalu mengatasnamakan HAM atau kemanusiaan dengan landasan ideologi sekularisme.
“Sejak dahulu Indonesia adalah negeri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan atau HAM juga harus ditafsirkan berdasarkan nilai-nilai agama, bukan dengan ideologi sekularisme,” kata Fahira.
Fahira juga menyayangkan adanya pihak-pihak yang keliru dalam memaknai sikapnya. Pertama, ada yang membuat kesan bahwa penolakan ini datang dari Fahira Idris seorang. Padahal, dirinya hanyalah tokoh publik yang menerima berbagai keluhan dari masyarakat dan menyampaikannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, penolakan terhadap propaganda LGBT haruslah dipahami sebagai suara hati umat, bukan satu-dua orang saja.
Kedua, penolakan terhadap propaganda LGBT kerap dipandang sebagai sikap permusuhan, bahkan provokasi kekerasan, sementara Fahira Idris menolak semuanya itu.
“Banyak yang merasa saya memusuhi kaum LGBT ini. Sebenarnya tidak. Pada kenyataannya, mereka ada di antara kita, dan kita tidak menganggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Akan tetapi propagandanya harus dicegah, dan kita semua berkepentingan untuk melindungi keluarga kita masing-masing,” ungkapnya.
Ketiga, ada juga yang bersikap sinis kepadanya seolah-olah ia tengah berusaha mencari simpati publik sebagai anggota DPD. Fahira membenarkan bahwa dirinya telah terpilih sebagai anggota DPD, namun ia juga mengingatkan bahwa pelantikan belum lagi dilakukan. Semua yang dilakukannya adalah atas kesadaran pribadi, bukan pencitraan.
Sikap Fahira yang menolak kekerasan dalam bentuk apa pun kepada kaum LGBT dibenarkan oleh Rita Soebagio, peneliti bidang psikologi yang juga aktif di AILA. Menurutnya, memojokkan kaum LGBT bukan pilihan yang baik.
“Permasalahan seksualitas ini adalah masalah yang sensitif dan kompleks bagi siapa saja. Jika kita menekan kaum LGBT ini, mereka justru akan bersikap defensif dan mencari pembenaran,” ungkapnya.
Sikap defensif ini dilakukan karena kaum LGBT tidak mau mengakui bahwa kecenderungan seksualnya adalah sebuah penyakit yang bisa disembuhkan, dan mereka senantiasa merasa akan diserang. Oleh karena itu, strategi dakwah yang lebih halus harus digunakan.
“Kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bisa sembuh dari kecenderungan ini, dan kita ingin mereka sembuh justru karena kita menyayangi mereka,” ujar Tetraswari, salah satu penggiat AILA.
Kecenderungan untuk bersikap defensif di kalangan LGBT ini juga tidak terlepas dari pengaruh politik dan media. Dr. Dinar D. Kania, peneliti yang juga merupakan penggiat AILA, mengingatkan bahwa ada masalah besar yang dikenal dengan sebutan ‘gay politics’. Secara sederhana, gay politics adalah langkah-langkah politis yang dilakukan untuk melegitimasi perilaku LGBT dan menekan siapa saja yang menentangnya.
Sejumlah lembaga internasional, misalnya, telah memasukkan klausul ‘dukungan terhadap kesetaraan gender’ dalam bantuannya kepada masyarakat atau ormas di Indonesia. Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah tekanan politik kepada masyarakat Indonesia untuk menerima propaganda LGBT. Kasus buku Why? Puberty bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama.
Salah satu argumen yang sering digunakan oleh para pendukung LGBT adalah bahwa perilaku homoseksual adalah sifat bawaan yang bersifat genetis. Pendapat ini kemudian disebarluaskan kemana-mana oleh media massa sehingga banyak orang yang menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
“Sebenarnya, banyak sekali yang membantah penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa homoseksualitas itu bersifat genetis. Bantahan-bantahan itu pun sangat ilmiah dan diakui di dunia sains. Hanya saja, sorotan media massa memang sangat timpang. Inilah hasil kerja gay politics yang sejauh ini cukup berhasil mempertahankan citra LGBT dengan berbagai cara,” ujar Dinar lagi.
Gay politics juga berhasil menekan dunia kedokteran dan psikologi sehingga berpihak kepada kaum LGBT.
“Sejak tahun 1970-an, homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai masalah kejiwaan. Demikian juga sejarah HIV/AIDS telah direkayasa sedemikian rupa sehingga orang lupa bahwa penyakit ini dulunya disebut sebagai Gay-Related Immune Deficiency atau GRID. Artinya, sejak awal memang penyakit ini bersumber dari kalangan homoseks. Tapi sejarah ini ditutup-tutupi,” ungkap Rita Soebagio.
Sabriati Aziz, pengelola Ponpes Hidayatullah, Depok, yang juga aktif di AILA, berpandangan bahwa edukasi terhadap seluruh elemen masyarakat adalah kunci permasalahannya.
“Banyak di antara mereka yang tidak terjebak dalam LGBT namun membelanya karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai, baik dalam hal agama maupun yang lainnya,” ujar beliau dengan mantap.
ITJ (Indonesia Tanpa Jaringan Islam Liberl), yang dipandang cukup berpengalaman dalam ranah dakwah kepada masyarakat awam, diharapkan mengambil peranan besar dalam pekerjaan mengedukasi masyarakat ini. Di masa depan, AILA berharap dapat berpartner bersama ITJ untuk menggelar berbagai seminar dan kajian untuk membahas masalah yang satu ini.
“Selama bulan September hingga November tahun ini, insya Allah ITJ akan menggelar Sekolah Pemikiran Islam. Pesertanya diambil dari para aktivis dakwah kampus di wilayah Jabodetabek. Salah satu materi yang diberikan adalah seputar konsep gender, yang merupakan pangkal permasalahan wacana LGBT ini,” ungkap M. Irfan Nail, ketua penyelenggara Sekolah Pemikiran Islam (SPI) ITJ.
Selain modal ilmu, dakwah juga harus disampaikan secara masif melalui kajian-kajian dan tulisan. Problemnya, sudah bukan rahasia lagi bahwa rakyat Indonesia secara umum sangat miskin literasi, tidak terkecuali dari kalangan aktivis dakwah.
“Pendidikan di sekolah-sekolah tidak membiasakan kita untuk menulis. Akibatnya, Indonesia mengalami krisis literasi,” ujar Akmal Sjafril, Ketua Divisi Litbang ITJ.
“Kultur semacam itulah yang ingin kita ubah di SPI ITJ. Seluruh peserta, selain wajib mengikuti perkuliahan, juga akan mendapatkan tugas menulis yang banyak. Setelah menyelesaikan rangkaian perkuliahan, diharapkan kita kan mendapatkan sejumlah mujahid dakwah yang bukan hanya mempunyai ilmu yang cukup, namun juga siap melawan propaganda dengan media lisan maupun tulisan,” tambahnya.
AILA Indonesia yang merupakan aliansi yang beranggotakan lebih dari tiga puluh ormas ini beranggapan bahwa problem LGBT telah merusak tatanan keluarga di Indonesia. Senada dengannya, ITJ juga memandang bahwa propaganda LGBT dilakukan atas dasar ideologi sekularisme dan liberalisme yang sepenuhnya bertentangan dengan pribadi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
[akmalITJ/syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!