Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Mei 2014 18:10 wib
12.359 views
Penutupan Lokalisasi Dolly : Solusi Ataukah Diskriminasi ?
Sahabat Voa Islam,
Menjelang penutupan tempat prostitusi Dolly oleh Pemerintah Kota Surabaya yang direncanakan akan dilaksanakan pada 19 Juni 2014 mendatang, pro-kontra dari berbagai pihak telah ramai di media.
Pihak yang kontra berargumen bahwa penutupan dolly hanya akan membuat masalah sosial baru karena upaya pemerintah dalam merehabilitasi kehidupan PSK, Mucikari, dan pelaku ekonomi di Dolly dianggap belum maksimal, kebijakan tersebut juga dianggap diskriminatif karena yang ditindak yang berada di lokalisasi saja yang menurut mereka justru mudah untuk dikontrol, sementara praktek prostitusi non lokalisasi belum di tindak secara tegas. Penutupan dolly dianggap justru akan akan memicu para PSK untuk tetap beroperasi tetapi secara liar. Hal ini justru akan menyulitkan pemerintah untuk mengontrol mereka dan sulit mengontrol akibat yang ditimbulkannya seperti menyebarnya penyakit menular seksual seperti sipilis, HIV-AIDS dll.
Sementara disisi yang lain dari kalangan ormas islam dan juga MUI Jatim memberikan dukungannya atas rencana Pemkot Surabaya untuk menutup Lokalisasi Dolly tersebut. Dukungan tersebut disampaikan oleh ketua MUI Jatim KH Abdussomad Buchory, saat bertemu dengan 58 organisasi islam dikantor MUI pada tanggal 8 Mei 2014 yang lalu. Dukungan juga disampaikan langsung oleh ketua PWNU Jatim KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah bersama enam orang pengurus saat menemui Walikota Surabaya di Balai kota pada 2 Desember 2013 lalu. Pemkot Surabaya dan pihak yang mendukungnya berpendapat bahwa penutupan lokalisasi Dolly ini adalah solusi dari berbagai masalah sehingga sudah tepat jika dilakukan penutupan.
Walhasil rencana penutupan dolly dianggap menuai spekulasi antara solusi dan diskriminasi.
Latar Belakang munculnya Prostitusi Dolly
Praktek prostitusi sendiri sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari praktek pergundikan pada zaman kolonial. Tentara Belanda bisa dengan seenak hatinya menjadikan wanita pribumi sebagai gundik mereka. Tidak hanya sampai disitu, para tuan tanah dan cukong yang menjadi antek Belanda juga meniru apa yang dilakukan juragannya. Dalam perkembangannya, menurut keterangan Rudolf Mrazek 2002, perluasan perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembukaan Jalan Daendels 1808 dan Jalur Kereta Api (Trem uap) yang menghubungkan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya tahun 1884 telah melahirkan tempat prostitusi di Jawa, salah satunya adalah Lokalisasi Dolly. Pembuatan jalan dan jalur kereta api serta perluasan perkebunan tersebut telah menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki besar-besaran. Sehingga untuk memuaskan nafsu syahwat mereka, didirikanlah prostitusi-prostitusi di daerah-daerah tersebut.
Prostitusi Dolly didirikan pertama kali oleh seorang noni Belanda yang bernama Dolly van Der Mart. Awalnya Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks. Wanita-wanita tersebut disediakan untuk melayani dan memuaskan syahwat tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu ternyata Dolly mampu menarik tentara Belanda untuk datang kembali. Tidak hanya di situ ternyata bisnis maksiat yang dirintis Dolly ini mampu menarik tidak hanya tentara kolonial tetapi juga para tuan tanah dan pedagang yang datang ke Surabaya. Dalam perkembangannya pelaku seks di prostitusi ini terbagi dalam tiga kelas. Kelas atas terdiri dari orang indo dan Eropa, kelas menengah terdiri dari orang Cina dan Jepang, sedangkan kelas bawah terdiri dari orang melayu atau Jawa. Orang Belanda biasanya suka dan dianjurkan untuk memakai perempuan Eropa, Cina, Jepang dan local. Sementara para tuan tanah dan cukong serta pedagang dari kalangan orang Jawa, Cina dan Jepang tidak boleh memakai orang Eropa. Lokalisasi ini terus berkembang dan semakin pesat hingga saat ini. Maka bisa disimpulkan bahwa sebetulnya lokalisasi Dolly adalah warisan kolonial Belanda.
Perlakuan terhadap perzinaan selama ini
Setelah Kolonial Belanda hengkang dari negeri ini ternyata tidak diikuti dengan hengkangnya nilai, budaya, aturan hidup dan sistem yang dibawanya dari negeri ini. Nilai, budaya, aturan hidup serta sistem kufur tersebut bukannya ditolak akan tetapi malah diadopsi dan diikuti terus hingga saat ini oleh anak-anak negeri ini. Demikian juga dengan tempat-tempat pelacuran seperti dolly, bukannya ditutup tetapi justru diteruskan oleh anak-anak negeri ini. Yang lebih ironis lagi, meskipun menurut beberapa sumber keturunan noni Belanda tersebut masih ada di negeri ini akan tetapi ternyata pengelola bisnis haram ini bukan mereka lagi tetapi yang melanjutkan estafet pengelolaan bisnis haram ini justru anak-anak negeri yang notabene penduduknya mayoritas islam ini.
Gaya hidup dan pola pikir liberal yang merupakan warisan penjajah ternyata terus dianut oleh bangsa ini. Sistem perundang-undangan di negeri ini masih diwarnai oleh tangan-tangan penjajah. Undang-Undang pidana di negeri ini tumpul untuk menjerat pelaku perzinaan di negeri ini. Bahkan hal-hal yang bisa mengantarkan pada perzinaan seperti pornografi dan pornoaksi dibuat tidak jelas dalam pendefinisiannya. Sehingga sangat sulit untuk menjerat para pelaku perzinaan di negeri ini. Alih-alih menjerat pelakunya, yang terjadi justru melanggengkan dan melegalkan perzinaan dan praktek-praktek prostitusi lokalisasi. Perzinaan bukan lagi dianggap hal yang terlarang dan tabu tetapi sudah dianggap hal yang biasa dan dianggap sebagai komoditas ekonomi. Sehingga tidaklah mengherankan jika rencana Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi dolly langsung mendapat penolakan dari beberapa pihak dengan berbagai spekulasi.
Motif yang melatarbelakangi pelacuran
Menurut Kartini Kartono (2005: 245) bahwa motif yang melatarbelakangi pelacuran adalah sebagai berikut :
- Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
- Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
- Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
- Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
- Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.
- Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan bandit bandit seks.
- Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja , mereka lebih menyukai pola seksbebas.
- Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
- Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan hidupnya.
- Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
- Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambargambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.
- Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetapmempertahankan pekerjaannya.
- Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.
- Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
- Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
- Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
- Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacam macam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
- Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan keberanian.
- Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin, heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.
- Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
- Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran.
- Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Dari motif yang dijelaskan di atas, setidaknya kita bisa mengelompokkannya lagi menjadi :
- Faktor Keimanan
- Alasan Ekonomi
- Pornografi dan Pornoaksi
- Faktor pergaulan
- Penggunaan NAPZA
Sebagai seorang muslim tentu kita harus mendukung upaya amar ma’ruf dan nahi munkar dalam hal ini adalah mencegah dan menanggulangi masalah perzinaan. Akan tetapi dalam pencegahan dan penanggulangan tersebut akan efektif jika memperhatikan secara komprehensif dan serius terhadap hal-hal yang menyebabkan munculnya masalah perzinaan. Penyelesaian terhadap masalah ini jika dikembalikan kepada manusia tentu akan menimbulkan perdebatan (pro-kontra) yang tidak ada habisnya. Disinilah islam datang sebagai aturan dari Allah SWT Dzat yang telah menciptakan manusia untuk menyelesaikan semua permasalahan hidup yang dihadapi manusia secara tuntas. Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al Maidah ayat 48 :
..ٱلْحَقِّ مِنَ جَآءَكَ عَمَّا أَهْوَآءَهُمْ تَتَّبِعْ وَلَا ٱللَّهُ أَنزَلَ بِمَآبَيْنَهُم فَٱحْكُم..
“..maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu..”
Untuk itu disini penulis akan mencoba memberikan telaah terkait dengan penyelesaian masalah tersebut dalam pandangan islam:
- Pengaturan islam terhadap masalah aqidah
Aqidah adalah persoalan yang paling mendasar dalam diri seseorang. taat dan tidaknya seseorang terhadap suatu aturan hidup sangat ditentukan oleh aqidahnya. Demikian juga dengan nilai amal seseorang dianggap sebagai amal shaleh atau tidak juga ditakar pertama kali dari hal apa yang mendorong seseorang melakukan amal tersebut yang dalam hal ini apakah dorongannya berasal dari keimanan ataukah bukan. Sehingga Islam memandang persoalan aqidah ini sebagai persoalan yang pokok yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui bahwa Baginda Rasulullah pertama kali mendakwahkan islam di Mekah juga dalam hal aqidah. Allah SWT berfirman di dalam QS. Ali Imran ayat 110
…..بِاللَّهِ وَتُؤْمِنُونَ الْمُنْكَرِ عَنِ وَتَنْهَوْنَ بِالْمَعْرُوفِ تَأْمُرُونَ لِلنَّاسِ أُخْرِجَتْ أُمَّةٍ خَيْرَ كُنْتُمْ
Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…..
Dalam ayat tersebut Alloh memberikan penilaian pada manusia bahwa yang terbaik adalah yang menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Alloh SWT. Sehingga bisa dikatakan bahwa baik buruknya seseorang salah satu tolok ukurnya adalah aqidahnya. Tetapi tidak cukup sampai di situ saja, Alloh SWT juga memerintahkan kepada kita untuk taat kepadaNya. Allah SWT berfirman di dalam QS. Ali Imran 102 :
مُسْلِمُونَوَأَنْتُمْإِلاتَمُوتُنَّوَلاتُقَاتِهِحَقَّللَّهَاآمَنُواالَّذِينَيَاأَيُّهَا
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan memeluk agama Islam
Allah SWT juga berfirman didalam QS. Al Hujurat 13
… أَتْقَاكُمْاللَّهِعِنْدَأَكْرَمَكُمْإِنَّ….
Artinya:
…sesungguhnya yang paling mulia disisi Alloh adalah yang paling bertaqwa diantara kalian…
Dalam islam persolan aqidah mendapat perhatian serius dari negara. Negara harus tegas terhadap hal-hal yang bisa merusak aqidah dan akal umat. Negara tidak boleh abai terhadap pemikiran-pemikiran yang merusak, negara harus tegas dan serius menangani adanya aliran sesat, nabi palsu, pelecehan agama, sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan), liberalisme (paham kebebasan), dan melarang peredaran hal-hal yang merusak akal seperti khamr karena dengan akalnyalah seseorang bisa berfikir, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
- Pengaturan islam terhadap masalah ekonomi
Alasan ekonomi seringkali mendorong wanita dan anak-anak untuk ikut bekerja bahkan tidak sedikit yang kemudian melacurkan diri. Ketidak cukupan penghasilan kaum laki-laki belum lagi ditambah dengan tuntutan gaya hidup dan tidak menentunya harga barang-barang yang ada di pasar menyebabkan sulitnya untuk mendapatkan kebutuhan hidup. Setidaknya ada beberapa masalah ekonomi yang dihadapi umat islam saat ini yang bisa dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
- Masalah kemampuan akses
- Masalah ketersediaan barang
Dua masalah tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, kemampuan akses seseorang dipengaruhi oleh ketersediaan lapangan kerja dan pemberian gaji/upah yang cukup, sedangkan masalah ketersediaan barang dipengaruhi oleh jumlah produksi dan distribusi. Peningkatan terhadap produksi dan distribusi berdampak pada penyerapan tenaga kerja disisi yang lain produksi dan distribusi barang yang baik akan berdampak pada ketersediaan barang, harga barang di pasar dan kemampuan akses terhadap barang.
- Pandangan islam terhadap kemampuan mengakses barang-barang kebutuhan hidup adalah sebagai berikut :
- Islam memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut bagi laki-laki adalah fardhu. Banyak ayat dan hadist yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah Swt. berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).
Firman-Nya juga :
]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah [62]:10).
Firman-Nya yang lain :
اَللهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS al-Jaatsiyah [45]:12).
Dalam sebuah hadist disebutkan :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَافَحَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ فَإِذَا يَدَاهُ قَدْ اِكْتَبَتَا، فَسَأَلَهُ النَّبِيُّ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ أَضْرِبُ بِالْمِرِ وَالْمِسْحَاةِ لِأُنْفِقَ عَلَى عِيَالِيْ فَقَبَّلَ النَّبِيُّ يَدَهُ وَقَالَ كَفَّانِ يُحِبُّهُمَا اللهُ تَعَالَى
“Bahwa Rasulullah SAW menjabat tangan Sa’ad bin Muadz. Ternyata kedua tangan Sa’ad kasar dan kapalan, maka Nabi SAW bertanya tentangnya. Sa’ad menjawab,”Aku bekerja menggunakan sekop dan kapak untuk menafkahi keluargaku.” Nabi SAW pun mencium kedua tangan Sa’ad dan bersabda,“Ini adalah dua telapak tangan yang dicintai Allah SWT.”
Nash-nash di atas juga memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.
- Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, tapi ia tidak memperoleh pekerjaan, padahal mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda:
اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:
كُلْ بِأَحَدِهِمَا وَاشْتَرِ بِاْلآخَرِ فَأْسًا وَاعْمَلْ بِهِ
“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”
Juga, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Lalu, beliau serahkan kepada orangtersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini didapati.
Dari sini jelas bahwa negara mempunyai kwajiban untuk memfasilitasi agar setiap warga negaranya yang laki-laki dapat memperoleh pekerjaan.
- Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al Baqarah ayat 233 :
..وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ ...
“…Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…”
Rasulullah saw. telah bersabda:
«أَنْتَ وَمَالُكَ ِلأَبِيْكَ»
“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu” (HR Ibnu Majah).
Nash diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa jika ada seseorang yang yang sudah berusaha bekerja tetapi penghasilannya tidak cukup atau dia tidak mampu bekerja karena lemah maka ahli warisnya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya.
- Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan
Rasulullah bersabda:
“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut. (HR. Al-Bazzar)
Dalam hadist yang lain Ibnu Abbas berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan.". (H.r. Baihaqi)
Rasulullah juga bersabda dalam hadist yang lain :
وَرَسُوْلِهِ اللهِذِمَّةُ نْهُمْمِبَرِئَتْ فَقَدْ جَائِعٌ اِمْرُؤٌ فِيْهِمْ أَصْبَحَ عَرْصَةٍ أَهْلُ أَيُّمَا
“Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi sementara di tengah mereka terdapat orang yang kelaparan maka jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas dari mereka.”
Rasulullah SAW juga telah bersabda :
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَبِيْتُ وَجَارُهُ إِلَى جَنْبِهِ جَائِعٌ
“Bukan orang yang beriman, orang yang tidur sementara tetangganya kelaparan.”
Bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sampai tetangganya yang diberi bantuan tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
- Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna–baik karena mereka telah berusaha, tapi tidak cukup (fakir dan miskin), maupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’i, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS at-Taubah [9]:103).
Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada seorang muslim pun, kecuali aku bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu, Rasulullah saw. membacakan firman Allah Swt.,“Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda,“Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Namun, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya” (HR Kutub as-Sittah).
Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau SAW pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan uqubat (sanksi-sanksi), menegakkan hudud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau saw. bersabda:
فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ
“Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhayâ’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya, aku yang akan menanggungnya” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, Umar bin Khathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Sistem Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi:
“Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”
Rasulullah juga bersabda:
“Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka.”
- Pandangan islam terhadap masalah ketersediaan barang-barang kebutuhan hidup
Kalau kita kaji di dalam islam, setidaknya ada dua cara yang ditempuh untuk meningkatkan ketersediaan barang kebutuhan pokok, yaitu :
- Meningkatkan produksi
- Meningkatkan distribusi
Islam memandang bahwa persoalan ekonomi bukanlah sekedar bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi bagaimana barang dan jasa itu sampai kepada setiap orang (distribusi)
Allah SWT. berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“… Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras sanksiNya.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)
Secara ekonomi, negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa, berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah, dan di dalamnya tidak ada pihak yang mendzalimi ataupun didzalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi, industri, pertanian, distribusi, dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll, yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain.
Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan, melalui instrumen seperti zakat, shadaqah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan.
Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan solusi cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri termasuk melacurkan diri.
- Pengaturan islam terhadap pergaulan pria dan wanita termasuk larangan terhadap pornografi dan pornoaksi
- Padangan islam terhadap penciptaan pria dan wanita
رَقِيبًاعَلَيْكُمْكَانَاللَّهَإِنَّوَالأرْحَامَبِهِتَسَاءَلُونَالَّذِياللَّهَوَاتَّقُواوَنِسَاءًكَثِيرًارِجَالامِنْهُمَاوَبَثَّزَوْجَهَامِنْهَاوَخَلَقَوَاحِدَةٍنَفْسٍمِنْخَلَقَكُمْالَّذِيرَبَّكُمُاتَّقُواالنَّاسُأَيُّهَايَا
Artinya :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
Dari QS. An Nisa ayat 1 diatas kita pisa memahami bahwa tujuan penciptaan pria dan wanita adalah untuk kelestarian jenis manusia dalam bingkai rumah tangga
Karenanya Alloh SWT menciptakan ketertarikan kepada lawan jenis (gharizatu an nau’). Alloh SWT berfirman di dalam QS. Al A’raf ayat 189 :
إِلَيْهَا لِيَسْكُنَ زَوْجَهَا مِنْهَا وَجَعَلَ وَاحِدَةٍ نَّفْسٍ مِّن خَلَقَكُم الَّذِي هُوَ
Artinya :
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Tujuan dari diciptakannya gharizatu an nau’ tersebut adalah agar umat manusia tidak punah dan lestari.
- Pengaturan islam terhadap hubungan pria dan wanita
Allah SWT telah menciptakan naluri ketertarikan terhadap lawan jenis (gharizatu an nau’) pada diri setiap orang. Yang mana naluri ini memunculkan dorongan untuk pemenuhan. Dorongan yang muncul dari adanya gharizatu an nau’ biasanya dikarenankan adanya faktor eksternal. Maka islam sebagai agama dan aturan hidup yang berasal dari Allah Dzat yang telah menciptakan manusia beserta gharizatu an nau’nya memberikan aturan bagi pemenuhannya yang tidak bertentangan dengan hakikat pencipataan manusia itu sendiri sebagai berikut :
- Islam memerintahkan kepada pria dan wanita untuk menundukkan pandangan
… فُرُوجَهُمْ وَيَحْفَظُوا هِمْ بْصَارِأَمِنْ يَغُضُّوا لِّلْمُؤْمِنِينَ قُل
“Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang muknin laki-laki hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka…” (QS. An Nur: 30)
…مِنْهَاظَهَرَ مَا إِلَّا زِينَتَهُنَّ يُبْدِينَ وَلَا فُرُوجَهُنَّ وَيَحْفَظْنَ أَبْصَارِهِنَّ مِنْ يَغْضُضْنَ لِّلْمُؤْمِنَاتِ وَقُل
“Dan katakanlah (Muhammad) kepada wanita-wanita mukmin hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan hendaknya mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang biasa nampak darinya…” (QS. An Nur: 31)
- Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat
- Islam mengatur pakaian wanita
…جُيُوبِهِنَّعَلَىٰ بِخُمُرِهِنَّ لْيَضْرِبْنَ وَمِنْهَاظَهَرَ مَا إِلَّا زِينَتَهُنَّ يُبْدِينَ وَلَا
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang biasa nampak darinya dan hendaklah mereka menjulurkan kerudung-kerudung mereka atas dada-dada mereka…”(QS. An Nur: 31)
ياأْيّهاالنّبي ّقل لأزْواجك وبناتك ونساءالمؤْمنين يدْنين من جلابيبهن ّذلك أدنىأن يعْرفْن فلا يؤْذيْن وكان الله غفورا رحيما
Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.Al-Azhab:59)
Islam memerintahkan kepada wanita untuk tidak sekedar menutup aurat tetapi juga mengenakan kerudung dan jilbab.
- Islam melarang khalwat
Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَحْرَمٍ ذِي مَعَ إِلاَّ بِامْرَأَةٍ رَجُلٌ يَخْلُوَنَّ لاَ
“Tidak diperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan berkhalwat, kecuali jika perempuan itu disertai mahramnya.” (Hr. al-Bukhari)
- Islam juga melarang adanya ikhtilat kehidupan campur baur antara pria dan wanita)
- Islam memerintahkan nikah dan melarang adanya perzinaan
Islam memberikan pengaturan terhadap pemenuhan dorongan yang muncul dari gharizatu an nau’ dengan tidak menyalahi tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan yaitu melalui jalan pernikahan dan melarang perzinaan
…فَوَاحِدَةً تَعْدِلُواْ أَلاَّ خِفْتُمْ فَإِنْ وَرُبَاعَ وَثُلاَثَ مَثْنَى النِّسَاء مِّنَ لَكُم طَابَ مَا فَانكِحُواْ…
“…maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja…” (QS. An Nisa : 3)
Allah SWT melarang mendekati zina. Mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina itu sendiri. Allah Ta'ala berfirman,
سَبِيلًا وَسَاءَ فَاحِشَةً كَانَ إِنَّهُ تَقْرَبُوا وَلَا الزِّنَا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32).
Imam Al Qurthubi berkata, "Para ulama mengatakan terkait firman Allah (yang artinya) 'janganlah mendekati zina' bahwa larangan dalam ayat ini lebih dari perkataan 'janganlah melakukan zina'. Makna ayat tersebut adalah 'jangan mendekati zina'.
Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al Furqan ayat 68 :
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,
جَارِكَ بِحَلِيلَةِ تُزَانِىَ أَنْ ثُمَّ
“Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas. [HR. Bukhari no. 7532 dan Muslim no. 86]
- Islam memberikan sanksi yang tegas bagi pezina
Jika pezina seorang jejaka atau gadis, maka dia didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS. an-Nur: 2).
Dari Ubadah bin ash-Shamit radiyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah dariku. Ambillah dariku. Allah telah meletakkan jalan untuk mereka. Jejaka dengan gadis cambuk seratus kali dan pengasingan selama setahun. Laki-laki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah adalah rajam.” (HR. Muslim).
Jika pezina sudah menikah, maka hadnya adalah rajam, dari Abdullah bin Abbas radiyallaahu ‘anhu berkata, Umar bin al-Khatthab radiyallaahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran dan menurunkan kitab kepadanya, di antara apa yang Allah Subahanhu waTa’ala turunkan kepadanya adalah ayat rajam, kami membacanya, menghafalnya dan memahaminya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah merajam dan kami pun melakukannya setelah beliau, saya khawatir seiring dengan berjalannya masa ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak menemukan ayat rajam di dalam kitab Allah Subhanahu waTa’ala.’ Akibatnya mereka tersesat karena meninggalkan sebuah kewajiban yang diturunkan oleh Allah Subhanahu waTa’ala. Sesungguhnya rajam di dalam kitab Allah Subhanahu waTa’ala adalah haq atas orang yang berzina jika dia muhshan dari kaum laki-laki maupun wanita, bukti-bukti telah tegak atau adanya kehamilan atau pengakuan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
Dengan hukuman yang tegas tersebut akan memberikan efek jera bagi pelakunya dan penjagaan/preventive bagi yang belum melakukan. Sehingga hal ini bisa menekan angka perzinaan.
- Larangan islam terhadap konsumsi khamr dan NAPZA dan hukuman yang tegas bagi setiap orang yang terlibat didalamnya
- Larangan islam terhadap khamr
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al Maidah ayat 90 :
تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ فَاجْتَنِبُوهُ الشَّيْطَانِ عَمَلِ مِنْ رِجْسٌ وَالْأَزْلَامُ وَالْأَنْصَابُ وَالْمَيْسِرُ الْخَمْرُ إِنَّمَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
- Larangan islam terhadap NAPZA
NAPZA/Narkoba dalam istilah fiqih kontemporer disebut “al mukhaddirat” (Inggris : narcotics). NAPZA adalah segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia atau hewan dengan derajat berbeda-beda, seperti hasyisy (ganja), opium, dan lain-lain. (maaddatun tusabbibu fil insan aw al hayawan fuqdan al wa’yi bidarajaatin mutafawitah). (Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, hlm. 220).
Syaikh Sa’aduddin Mus’id Hilali mendefisinikan narkoba sebagai segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya atau lemahnya kesadaran/penginderaan. (Sa’aduddin Mus’id Hilali, At Ta`shil As Syar’i li Al Kahmr wa Al Mukhaddirat, hlm. 142).
Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al Khalij Al Arabi), 1989, hlm. 155).
Namun demikian tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya. Haramnya NAPZA didasarkan pada dua alasan; Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177.
Nash tersebut adalah hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342).
Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi : Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fiqih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
Sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina`iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98).
Khatimah
Demikianlah solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk menyelesaikan masalah perzinaan dan prostitusi. Menutup prostitusi dolly adalah langkah yang baik akan tetapi tentu tidak cukup hanya dengan menutupnya. Diperlukan langkah yang lebih komprehensif dalam penyelesaian masalah perzinaan yaitu dengan penerapan islam secara kaffah sehingga permasalahan perzinaan tersebut bisa terselesaikan secara tuntas hingga akar-akarnya. Pelaksanaan syariah islam secara kaffah tentu hanya bisa dilakukan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab
Penulis : Puguh Saneko
(Pengamat Sosial & Lajnah Maslahiyah DPD I HTI Jawa Timur)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!