Senin, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 7 April 2014 10:29 wib
13.191 views
Hasyim Muzadi : Demokrasi Tidak Mampu Melahirkan Pemimpin Mulia
JAKARTA (voa-islam.com) - Mantan Ketua PB NU Hasyim Muzadi melangsungkan sarasehan yang dihadiri berbagai tokoh dan ribuan ulama. Hasyim Muzadi, mengatakan, sarasehan ini adalah forum keempat, setelah acara serupa juga telah digelar di Depok, Bandung, dan Semarang.
Dengan demikian, sarasehan itu telah menghadirkan ribuan ulama dari berbagai daerah. Setelah melalui pembahasan yang panjang, sarasehan itu akhirnya melahirkan rekomendasi yang disebut dengan “Maklumat Kebangsaan” yang berisi 7 poin.
Pembacaan maklumat dilakukan oleh Hasyim Muzadi selaku penanggung- jawab.
“Maklumat kebangasan ini akan kami serahkan kepada pihak-pihak terkait,” kata Hasyim.
Hasyim menjelaskan, maklumat itu salah satunya berisi tentang perkembangan politik nasional jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden.
“Politik berasal dari sesuatu yang mulia dan agama sendiri memuliakan politik. Pada hakekatnya politik adalah penataan masyarakat negara untuk mencapai tujuan kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Politik akan mulia di tangan orang mulia dan juga dilakukan dengan cara yang mulia,” katanya.
Kata Hasyim, politik kehilangan kemuliaannya, karena cara berpolitik serta pelaku politik yang tidak mampu menjamin kemuliaan gerakan politik itu sendiri. “Cara-cara yang pragmatis transaksional tentu akan merendahkan makna politik dan mengurangi kepercayaan publik terhadap para politisi,” jelasnya.
Selanjutnya, Hasyim mengatakan, sesudah era reformasi, ktanya, partai-partai politik menempati peranan sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Parlemen yang mempunyai kekuasaan sangat besar baik di bidang perundangan, penganggaran, dan pengawasan, sepenuhnya diisi oleh partai-partai politik secara dominan. Bahkan belakangan ini eksekutif pun diisi oleh personil yang diajukan oleh partai politik termasuk lembaga ad hoc.
“Pejabat negara juga dipilih oleh parlemen. Sehingga partai politik tidak hanya menguasai parlemen, tetapi juga mengambil kavling dalam kekuasaan eksekutif di tingkat pusat dan daerah. Akibatnya, sistem kabinet kita yang presidensil menjadi terasa parlementer, karena kementerian-kementerian terkavling partai-partai politik,” katanya.
Pada bagian lain, maklumat kebangsaan juga berisi point tentang adanya keluhan masyarakat luas bahwa elektabilitas partai-partai berbasis umat Islam yang cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Kenyataan ini, menurut Hasyim Muzadi, kadang merembet dengan asumsi menyalahkan Islam sebagai agama.
“Padahal Islam sebagai agama yang benar (dinulhaq) tidak akan luntur kebenarannya sepanjang zaman. Kalau kemudian partai Islam menurun maka hal itu bukan karena kesalahan Islam sebagai agama, tetapi karena keterbatasan partai berbasis Islam untuk menampilkan keluhuran nilai ajaran Islam itu sendiri dalam bidang politik,” katanya.
Untuk mengatasinya, kata Hasyim, harus ada upaya sungguh-sungguh agar pelaksana politik Islam menunjukkan keluhuran nilai Islam itu sendiri dalam prilaku politik.
“Partai berbasis Islam tidak cukup hanya menampilkan simbolisme Islam, tapi harus bekerja keras untuk keadilan, kemakmuran, kemanusiaan, dan kesetaraan di dalam masyarakat luas sebagai realisasi Islam rahmatan lil alamin,” paparnya.
Hasyim menambahkan, selama pelaksanaan sarasehan, para ulama dan cendekiawan juga menyorot soal kenyataan banyak kebijakan dalam bentuk UU yang berujung pada judicial review. “Bahkan dalam tingkat tertentu UU ini tidak berpihak kepada kepentingan Indonesia dan justeru berpihak pada kepentingan asing seperti UU pertambangan, energi, air dan pertanahan, dan lain-lain,” jelasnya.
Bentuk kebijakan yang merugikan ini, katanya, adalah produk dari kepemimpinan nasional yang terdiri dari kepala negara atau eksekutif dan anggota legislatif yang dihasilkan dari proses pemilu sebelumnya.
“Pemilu menelan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, siapapun pemimpin dan anggota legislatif yang dihasilkan oleh pemilu yang akan datang harus mampu menghasilkan produk kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa Indonesia. Jika tidak, maka bangsa Indonesia akan terjebak pada siklus kehancuran untuk lima tahun yang akan datang,” jelasnya.
Ia menambahkan, untuk dapat membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa Indonesia memang tidak mudah. Pasalnya, proses untuk menghasilkan pemimpin dan anggota legislatif ini belum mampu menjamin lahirnya sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan bangsa.
Memang, selama reformasi belum berhasil melahirkan pemimpin yang memiliki karakter negarawan, yang memiliki sifat jujur, adil, amanah, dan berempati kepada rakyat banyak. Di era reformasi yang ada hanyalah tokoh 'maling' yang merampok uang rakyat, dan mengaku pahlawan. (afgh/dbs/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!