Senin, 7 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Februari 2014 07:15 wib
25.532 views
Pemilu 2014: Mega, Jokowi dan Prabowo. Anasir Jokowi Bakal Dijegal?
JAKARTA (Voa-islam.com) - Di tengah sinisme terhadap maraknya peran lembaga survey dalam menilai elektabilitas para calon presiden, Vox Populi Survey muncul dengan hasil polling yang beda sendiri.
Dan inspirasi membuka berbagai kemungkinan politik baru pada Pilres 2014.
Prabowo Subianto yang selama ini selalu digambarkan berbagai lembaga survei akan menurun elektabilitasnya jika Jokowi memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden, hasil survey Vox Populi Survey Prabowo malah akan mampu mengungguli Jokowi dan bahkan Megawati Sukarnoputri.
Prabowo akan memperoleh 33, 1 persen. Megawati 15,4 persen. Joko Widodo (Jokowi) hanya memperoleh 10,1 persen. Disusul kemudian dengan Wiranto 8,4 persen, Aburizal Bakrie 7,4 persen, Dahlan Iskan 7,3 persen.
Apa yang menarik untuk dianalisis berdasarkan polling Vox Populi Survey selain kenyataan bahwa hasilnya lain dari hasil-hasil survey sebelumnya?
Mari kesampingkan dulu prosentasenya perolehannya, tapi coba baca substansinya dalam konteks politik Pemilu 2014 mendatang. Terutama dengan membaca prediksi Vox Populi Survey terhadap tiga capres yang diperkirakan akan berada diurutan teratas: Prabowo Subianto, Megawati dan Jokowi.
Yang menarik di balik proyeksi Vox Populi Survey bukan sekadar hasil dan rangking ketiga capres tersebut. Melainkan proyeksi sebuah kemungkinan bahwa ketiganya nantinya akan benar-benar memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai capres. Sebuah prediksi politik yang kemungkinannya hingga kini sama sekali belum terbayangkan oleh para pakar politik maupun para pelaku politik itu sendiri.
Dengan begitu, jika sebuah survey seperti Vox Populi Survey menunjukkan bahwa dalam Pilres nanti Prabowo di peringkat pertama (33,1 persen), diikuti Megawati (15,4 persen) dan Jokowi (10,1 persen). Maka setidaknya ada dua hal menarik yang harus kita baca.
Pertama, bahwa melalui suatu keputusan strategis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang biasanya dikeluarkan melalui mekanisme Rapat Khusus dan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), tidak tertutup kemungkinan Mega akan diputuskan untuk ikut serta dalam pemilihan presiden 2014.
Kedua, membuka sebuah kemungkinan baru bahwa Prabowo maupun Jokowi ada kemungkinan akan sama-sama maju dalam pencalonan presiden melalui partai politik yang berbeda. Dan kemungkinan skenario semacam ini, dengan merujuk pada hasil pemilu 2004 maupun 2009, sangat mungkin terjadi.
Sudah bukan rahasia lagi, di internal PDIP saat ini sudah mengkristal dua kubu antara yang sangat menginginkan agar Megawati secepatnya merestui Jokowi sebagai calon presiden yang diusung PDIP.
Kedua, kubu “pendukung tradisional” PDIP yang hingga kini tetap mencalonkan Megawati sebagai calon presiden. Meskipun tujuan sesungguhnya adalah untuk membendung dan menggagalkan Jokowi untuk tampil sebagai calon presiden yang diusung PDIP.
Pada sisi lain, Prabowo pun selain tentunya memang sudah dipastikan akan diusung oleh Partai Gerindra, putra ekonom Orde Baru Soemitro Djojohadikusumo ini, sebenarnya masih terikat “perjanjian politik bawah tangan” dengan Megawati jelang Pilres 2009.
Kala itu, saat terjadi perundingan yang cukup alot antara Mega dan Prabowo untuk mencapai kesepakatan apakah Mega atau Prabowo yang akan jadi calon presiden. Akhirnya tercapailah kesepakatan: Mega jadi calon presiden, Prabowo calon Wakil Presiden.
Adapun konsesinya, Mega memberi jaminan bahwa pada Pilpres 2014, PDIP akan mengusung Prabowo sebagai calon presiden. Namun pada perkembangannya, muncul sosok yang tak terduga, Wali Kota Solo Jokowi, yang kemudian diusung PDIP sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2012. Dan Menang.
Inilah situasi krusial di internal PDIP. Megawati sendiri, masih terikat dengan kontrak politik bawah tangan dengan Prabowo untuk mengusung dirinya jadi capres lewat PDIP.
Sedangkan di sisi lain, adanya gerakan ekstra struktural PDIP maupun simpatisan yang berusaha melakukan tekanan politik yang semakin kuat kepada Mega, agar Jokowi diusung PDIP sebagai capres. Mekanisme pengambilan keputusan terkait siapa yang akan diusung PDIP memang melalui Rapimnas yang sebelumnya akan digodok melalui Rapat Khusus.
Dan saat ini, Mega merupakan kata akhir dan akhir kata dalam penetapan keputusan tersebut.
Menyusul wafatnya Taufik Kiemas, yang selama ini menjadi kekuatan pengimbang Mega di dalam pengambilan keputusan partai, sehingga sempat muncul istilah DUALISME KEPEMIMPINAN semasa Taufik masih hidup.
Sekarang, dualisme kepemimpinan tersebut sudah tidak ada lagi, karena Mega bisa leluasa menetapkan keputusan-keputusan strategis partai. Masalahnya adalah, di internal PDIP itu sendiri terdiri dari beberapa faksi dengan mengusung agenda-agenda strategis yang berbeda.
Para pendukung tradisional PDIP yang dimotori oleh para sesepuh yang berasal dari unsur-unsur Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik dan Partai Murba, sepertinya tidak terlalu happy dengan kemungkinan partai mengusung Jokowi.
Alhasil, penyikapan para pendukung tradisional PDIP yang notabene sudah eksis sejak era fusi partai di era rejim Suharto, kemudian derivasinya juga menurun ke beberapa organ sayap partai yang berafiliasi dengan unsur-unsur tersebut di atas seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), maupun organ organ sayap lainnya baik di kepemudaan dan mahasiswa. Umumnya, kubu ini merapat dan bertumpu pada Taufik Kiemas sebagai “Patron Politik” mereka.
Masuk akal, karena sebagai mantan aktivis GMNI semasa mahasiswanya, Taufik mampu melakukan komunikasi politik dengan para pemain utama kubu pendukung tradisional PDIP. Yang hasrat utamanya pada umumnya hanya dua: Power Sharing dan Money Sharing.
Pada sisi lain, ada faksi Megawati yang tidak termasuk kategori Kubu PDIP tradisional, yang secara sinis pada era pasca Pemilu Juni 1999 kerap disebut Kelompok Anak-Anak Kos.” Seperti pengusaha Arifin Panigoro, Pramono Anung, Heri Akhamdi, Julius Usman, Didi Supriyanto dan Zulvan Lindan.
Jika kita telisik sejak kubu ini merapat ke Megawati pada jelang Pemilu 1999, motor penggerak anak-anak kos PDIP ini adalah pengusaha Arifin Panigoro. Yang kemudian meskipun sejak Kongres PDIP Bali 2004 Panigoro dan Didik Supriyanto terlempar dari konstalasi politik PDIP, namun Pramono Anung, salah seorang dalam barisan kubu ini, berhasil menduduki pos strategis sebagai Sekretaris Jenderal PDIP.
Mencermati anatomi dari faksi-faksi di internal PDIP, maka kubu Pramono Anung harus kita lihat sebagai faksi Megawati yang berada di luar kendali faksi Taufik Kiemas, dan tentunya punya agenda strategis yang tidak sejalan dengan kubu PDIP tradisional. Dan yang lebih penting lagi, kubu Pramono sejatinya bekerja untuk agenda politik strategis Arifin Panigoro.
Kemana kiblat kubu Panigoro-Anung dalam menjabarkan agenda dan strategi politiknya terkait Pilres 20014 melalui penyikapan Mega dan PDIP? Nah di sini cerita bisa jadi semakin menarik. Masih ingat kisah tentang Matzuzaki Club?
Formasi politik jaringan yang dibina oleh Pelatih Taekwondo Jepang Matzuzaki Hio kala jadi pelatih di Kodam Siliwangi era 1970-an. Ketika itu, Sarwo Edhi Wibowo, ayah mertua Presiden SBY, merupakan salah satu muridnya. Yang kemudian membawa serta beberapa anak muda.
Fahmi Idris dan Marzuki Darusman. Kelak jadi pentolan-pentolan Partai Golkar. Arifin Panigoro, pengusaha minyak yang kelak jadi pentolan PDIP sejak pemilu 1999. Yang kemudian menurunkan dua jagoan politiknya untuk mengawal Partai Amanat Nasional (PAN) lewat Amin Rais dan Hatta Rajasa. Pramono Anung, untuk mengawal PDIP melalui mantan CEO Medco, Pramono Anung.
Lantas bergabung juga pengusaha Aburizal Bakrie yang sekarang memegang jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Lalu Osman Sapta, yang sekarang mengawal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dan tentu saja, SBY dari sayap militer yang sekarang jadi Presiden merangkap Ketua Umum Partai Demokrat.
Formasi Politik Matzuzaki Club ini sudah terbukti cukup solid dalam membangun kerjasama politik lintas partai seperti terbukti keberhasilannya menggusur Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lewat koalisi lintas partai pada 2001.
Begitu juga berhasil menggolkan UUD 1945 amandemen keempat pada 2002, berkat kerjasama politik yang cukup solid antara Arifin Panigoro (Ketua Fraksi MPR PDIP) dan Fahmi Idris (Ketua Fraksi MPR Golkar) dalam melobi Mega, sehingga PDIP akhirnya setuju terhadap keputusan MPR menggolkan UUD 1945 hasil amandemen.
Padahal, manuver Panigoro ini mendapat tantangan keras dari faksi PDIP tradisional seperti Haryanto Taslam, Imam Munjiat, Noviantika Nasution, Roy BB Yanis, Tarto Sudiro, Amin Aryoso, Emir Moeis dan lain sebagainya. Menyadari latarbelakang ini, kiranya masuk akal jika faksi Panigoro-Anung dalam skema Matzuzaki Club tersebut akan ikut bermain dan menentukan konstalasi politik di Rapimnas PDIP mendatang.
Lantas, siapa yang akan mereka jagokan? Kenyataan bahwa formasi politik Matzuzaki Club hakekatnya bersifat lintas-partai, maka sikap politik grup ini tidak bisa dibaca secara terang-benderang melalui PDIP. Ketika opsi yang tergelar melalui Rapimnas PDIP adalah tiga calon: Mega, Prabowo dan Jokowi. Maka sikap politik faksi Panigoro-Anung besar kemungkinan akan bersembunyi di balik keputusan Mega.
Namun sejatinya, faksi ini sejak awal akan mengolah dan menggoreng poin-poin penting yang akan menjadi dasar keputusan Mega melalui Rapimnas PDIP. Karena faksi Panigoro-Anung inilah yang punya akses langsung dan komunikasi hotline kepada Mega.
Apa keputusan Mega sebagai kata akhir dan akhir kata? Di sinilah hasil polling Vox Populi Survey jadi menarik untuk diulas. Fakta bahwa Formasi Politik Matzuzaki Club punya jaringan kontak yang cukup erat dengan Prabowo dan Hasyim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo yang pengusaha nasional, memang bukan cerita baru.
Karena praktis beberapa anggota Matzuzaki Club seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris dan Osman Sapta, merupakan pengusaha-pengusaha pribumi yang sejak era rejim Suharto sudah mendapat fasilitas dan proteksi dari mantan Menteri Koordinator Perekonomian Nasional Ginandjar Kartasasmita.
Dengan demikian, jaringan pengusaha pribumi yang dibesarkan Ginandjar Kartasasmita sejak era Suharto ini, pada perkembangannya sejak hasil Pemilu 1999, telah menguasai beberapa partai besar seperti Golkar, PDIP, PAN, PPP, yang kemudian Partai Demokrat ketika SBY muncul dalam pencalonan presiden pada pemilu 2004. Maka, sangat logis jika faksi Panigoro-Anung dalam skema Formasi Matzuzaki Club, preferensi politiknya akan berkiblat pada Prabowo sebagai calon presiden.
Namun bagaimana menjabarkan preferensi politiknya tersebut menghadapi faksionalisasi yang rumit di internal PDIP pada Rapimnas PDIP mendatang? Pada tahapan ini, faksi Panigoro-Anung akan mengambil posisi aman. Mendukung pencalonan Megawati sebagai presiden lewat PDIP.
Dasar perhitungannya, peluang dukungan terhadap Prabowo amat ditentukan oleh swing voters yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan SBY sekarang. Yang tentunya dukungan massa solid PDIP yang hanya berkisar 15 hingga 16 persen, tidaklah terlalu signifikan untuk memperluas dan mengembangkan daya dukung suara terhadap Prabowo.
Namun pada saat yang sama, kubu Panigoro-Anung berkepentingan agar prosentase suara massa solid PDIP yang berkisar 15 hingga 16 persen tersebut, jangan sampai menyebar ke segala lini, tapi tetap terkunci untuk mendukung PDIP. Maka, dengan mendukung Mega sebagai Calon Presiden PDIP, maka massa solid PDIP yang 15 atau 16 persen tersebut akan tetap komit mendukung Mega sebagai calon presiden, terlepas menang ataupun kalah.
Maka yang harus kita baca adalah: Keputusan Mega untuk ikut serta nyapres pada 2014, sejatinya untuk membendung Jokowi, sehingga Prabowo bisa melaju dengan bebas memenangi pencapresan. Ini tentunya dengan asumsi jika Jokowi pada akhirnya nanti juga akan mencalonkan diri sebagai presiden melalui kendaraan politik lain di luar PDIP.
Adapun skenario lainnya, Jokowi pun akan tunduk pada realitas politik ketika akhirnya PDIP memutuskan mencalonkan Mega. Dan Jokowi bersedia mendampingi Mega sebagai calon wakil presiden. Namun, apapun pilihan dua skenario ini, dengan merujuk pada polling Vox Populi Survey, tetap saja hasilnya Prabowo akan memenangi pencalonan presiden pada Pemilu 2014.
Dengan menggabungkan massa solid PDIP yang 15 persen dan para pendukung solid Jokowi yang diperkirakan hanya 10 persen, tetap saja duet Mega-Jokowi hanya akan memperoleh suara 25 hingga 26 persen. Prediksi Pemilu 2014 dengan bertumpu pada prediksi ini, jangan-jangan selama ini kita terjebak pada pembentukan opini media bahwa: Dengan Tampilnya Jokowi, peluang dan elektabilitas Prabowo justru akan merosot.
Kita sepertinya melupakan sebuah fakta penting, bahwa kemunculan Jokowi, justru akan memicu penyikapan politik dari partai-partai besar yang dikuasai para pengusaha dan kartel politik, untuk mempertimbangkan Prabowo sebagai calon presiden yang lebih kecil resiko ketidakpastiannya dibandingkan Jokowi. Sehingga dalam pertimbangan para pentolan politik partai-partai mapan tersebut, Jokowi nyapres justru menguntungkan agenda dan strategi politik mereka.
Bagi faksi Panigoro-Anung di PDIP, dengan keputusan mendukung Mega pada pencalonan presiden di Rapimnas PDIP mendatang, akan memperoleh dua keuntungan strategis. Tetap mengamankan peran dan posisi kunci di lingkar dalam kekuasaan Mega melalui PDIP. Seraya membendung radikalisasi dukungan politik terhadap PDIP dengan bersembunyi di balik keputusan-keputusan politik Mega lewat PDIP.
*(Oleh Hendrajit Aktual)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!