Selasa, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Januari 2014 14:23 wib
29.459 views
Begitu Sangat Agresifnya Kristenisasi di Aceh
BANDA ACEH (voa-islam.com) - Begitu agresifnya para missionaris Kristen memurtadkan bangsa Aceh sejak negeri ini dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang.
Sekalipun usaha-usaha kristenisasi itu sangat bertentangan dengan SKB Tiga Menteri dan UU Penodaan Agama No.1 Tahun 1945, menyebutkan setiap pemeluk agama yang disahkan oleh Negara Indonesia, tidak boleh diajak memeluk agama lain dengan cara apapun.
Sejumlah mahasiswa Unsyiah yang tergabung dalam Koalisasi Mahasiswa Anti-Pemurtadan (Komandan) menjelaskan dihadapan Gubernur Aceh soal kegiatan kristenisasi itu.
“Komandan” memperlihatkan sejumlah bukti yang ditemukan di dsejumlah lokasi kamp-kamp pengungsi kepada Gubernur, seperti buku bacaan berjudul “Roh Kudus Pembaruan” (Yayasan Kemanusian Bersama), buku bacaan siswa SLTA berjudul “Dewasa dalam Kristus Gaya Hidup Kristenan”, kemudian “Popo” yang di dalamnya ditemukan berisi mainan anak-anak, berupa kalung berlambang palang salib.
Termasuk copy buku kumpulan doa-doa Hanan el-Khouri berjudul “Rahasia Doa-Doa Yang Dikabulkan”. Dalam buku tersebut berisikan doa-doa yang dikutip dari Injil bertulisan Arab, bahkan di Aceh Jaya juga telah ditemukan 500 injil, kata Irwansyah sebagai representatif mahasiswa (Serambi, 13/7/2005).
Masyarakat Desa Lhok Geulanggang, Kecamatan Setia Bakti, Kabupaten Aceh Jaya, Oktober 2005 silam menemukan sejumlah tablet obat bergambar ‘Bunda Maria`. Tablet tersebut dibagikan kepada anak-anak di desa itu (Serambi, 30/11/2005).
Selain itu, saat silaturahmi yang sengaja diadakan untuk melaporkan fakta pemurtadan di Aceh, sejumlah fakta berupa Injil dalam bahasa Aceh, selimut bergambar salib, boneka atau mainan anak-anak bergambar Sinterklas, booklet, brosur, pamflet berciri Islam tetapi isinya tentang agama Kristen diperlihatkan kepada publik di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh (Republika, 27/12/2005).
Selain itu ada juga LSM tertentu yang sengaja membagikan bahan logistik tepat pada waktu umat Islam sedang shalat. Pada masa rehabilitasi pascatsunami 26 Desember 2004, banyak ‘perilaku jahat’ kaum kristiani yang dibalut dengan bantuan kemanusiaan terkuak di Aceh.
Media massa sudah engekspos bagaimana gigihnya para missionaris mencuri anak-anak Aceh. Ada yang dibawa ke luar negeri dan ada pula yang ‘disembunyikan’ di Medan atau Pulau Jawa. Perihal penculikan itu disaksikan oleh para aktivis dan wartawan (Serambi, 19/12/2005).
Terdapat beberapa LSM yang menjalankan missi Kristenisasi dibalut dengan missi kemanusiaan, umpamanya boneka yang diberikan kepada anak-anak Aceh, jika dipencet akan mengeluarkan bunyi dalam bahasa Inggris berisi doa-doa tidur, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bermakna “penyatuan roh-roh manusia dengan roh-roh kudus” (Serambi, 19/12/2005).
Selanjutnya, bukti-bukti lainnya upaya-upaya kristenisasi di Aceh, seperti apa yang terjadi di Bener Meriah (Serambi Indonesia, 21/6/2013), di mana dua orang Islam Aceh diambil untuk belajar kursus pertanian di Medan, ternyata mereka dibabtis di Berastagi. Di Durong Aceh Besar (Serambi, 31/5/2012), di mana seorang Kristen lelaki dari Sulawesi bersama seorang Kristen perempuan asal Medan berusaha membabtis seorang ibu rumah tangga.
Di Meulaboh, Aceh Barat (Serambi, 23/7/2010) pengkristenan terjadi lewat pendidikan anak usia dini (PAUD); Pengiriman paket dari AS ke Meulaboh yang berisi buku, majalah dan CD Kristenisasi (Serambi, 28/7/2012); Dan, yang terbaru adalah kasus pemurtadan di Meulaboh yang menular ke Alue Bilie dan Nagan Raya (Serambi, 5-6/9/2013).
Dengan adanya keran "kebebasan" ala Barat juga dibuka lebar-lebar di Indonesia, termasuk di Aceh telah berdampak kehidupan di wilayah itu. Tak heran, kata dia, kini ditemukan banyak sekali orang Aceh yang lebih permisif dengan aturan Islam, meski di seluruh Aceh sudah diterapkan syariah Islam. Bagi Abdurrahman Kaoy, salah satu anggota majelis adat Aceh yang juga dosen IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, tak kaget dirinya menemukan fenomena ini.
Menurutnya, Aceh sudah menjadi target pemurtadan sejak puluhan tahun lalu. ''Aktivitas mereka sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun selalu gagal,''ujarnya. Ia menyebut, para misionaris ini berencana mendirikan kerajaan Tuhan di tanah Aceh.
Berebagai cara dilakukan misionaris untuk meluluhkan hati rakyat Aceh. Mulai dari merayu orang Aaceh, hingga nekat mendirikan pusat pengembangan Kristen yang tidak pernah berhasil diterima masyarakat Aceh.
Namun pasca tsunami, katanya, ancaman pemurtadan memang makin kasat mata. Apalagi, banyak anak Aceh yang dibawa keluar negeri. ''Kalau satu orang dimurtadkan dan dijadikan pastor, kita masih bisa Muslimkan kembali. Tapi kalau 300 orang dan semuanya kemudian menjadi pastor, apa yang bisa dilakukan rakyat Aceh,''ujarnya miris.
Pemurtadan sudah dipastikan terjadi di Aceh. Namun, hingga kini tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak warga Aceh yang dikristenkan. ''Meski tidak ada angka pastinya, tapi kami pastikan, melalui bukti yang kami kumpulkan, pemurtadan ini memang ada,''tegas Muzakir Ridho, Sekjen Hilal Merah.
Dengan ancaman ini, sebenarnya hampir semua ormas Islam di Aceh sudah melaporkan aktivitas menyimpang dari LSM ini ke Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) maupun pemda setempat. ''Namun tidak pernah ada rekasi, bahkan meminta penjelasan dari LSM bersangkutan pun tidak dilakukan,''ujar Ridho.
Benarkah ada pemurtadan di Aceh? Mungkin ini hanya ketakutan berlebihan? Namun Ketua Majelis Permusyawaratan Umat (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tgk Muslim Ibrahim memastikan bahwa aksi pemurtadan memang benar terjadi di Aceh.
Ia menyebut, Meulaboh dan Calang sebagai daerah dengan ancaman kristenisasi paling parah. Pasalnya, dua daerah ini menjadi daerah yang paling sulit dijangkau, karena medannya yang masih rusak parah akibat hantaman tsunami. Sedangkan Sekjen Hilal Merah, Muzakkir Ridho, meminta pemerintah segera melakukan pendataan ulang terhadap keberadaan LSM-LSM asing yang ada di Aceh. ''LSM yang memiliki tendensi agama sudah seharusnya dilarang berada di Aceh,''ujarnya.
Ia menyebut, saat ini dipekrirakan ada 17 LSM asing yang memiliki tendensi untuk melakukan kristenisasi di Aceh. ''Pokoknya kalau ada LSM yang namanya tidak dipanjangkan, itu salah satu ciri bahwa mereka punya misi untuk memurtadkan masyarakat Aceh,''ujarnya.
Di bawah data Depsos, katanya, saat ini diperkirakan ada 47 LSM asing. ''Tapi itu yang lewat Depsos ya, karena masih banyak LSM asing lainnya yang masuk melalui Depdagri, dan ada juga yang secara individu mendatangi Aceh dan aktivitasnya tidak diketahui'', ujarnya.
Selanjutnya, seperti dituturkan oleh Kristolog, Insan Mokoginta kepada voa-islam.com (Sabtu/25/1), saat dia berbincang dengan Pendeta George Panjaitan, yang kini sudah masuk Islam, dan belajar Islam di Pesantren Darus Sunnah, di Ciputat. George Panjaitan belajar Islam dengan Prof. Mustafa Ya’cub, Imam Masjid al-Azhar.
Mantan pendeta itu mengatakan antara tahun 2006-2007, di tiga empat desa di Aceh Utara telah murtad sebanyak 400.000 Muslim di wilayah itu. Jika benanr pernyataan mantan pendeta itu, maka ini sebuah peristiwa yang sangat luar biasa.
Dibagian lain, Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Aceh Barat dibantu TNI/Polri, membekuk seorang pendeta yang diduga melakukan kristenisasi dan pendangkalan aqidah. Hendri Budi Kusomo (30) bersama istrinya juga ditangkap pada Rabu (4/9/2010) malam sekitar pukul 21.00 WIB di Desa Blang Pulo, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Hendri Budi Kusomo alias Hendri Budiman merupakan warga pendatang dari Riau, diduga sebagai tersangka pelaku pendangkalan aqidah tersebut. Kepala Satpol PP dan WH Aceh Barat, HT Samsul Alam mengatakan, saat penangkapan itu ada dua orang Muslim Aceh Barat yang ikut. Namun belum sempat di dibaptis.
“Dia menjanjikan uang untuk kedua muslim Aceh Barat tadi dengan uang Rp12 juta, semakin banyak dia rekrut semakin banyak mendapatkan uang,“ katanya. Dari hasil penyelidikan, Samsul Alam melanjutkan, Hendri dan istrinya melakukan kristenisasi terhadap muslim yang ada di Aceh Barat dengan imingan uang puluhan juta rupiah itu wilayah kerjanya tiga Kabupaten.
“Untuk melakukan kristenisasi di tiga Kabupaten, yakni Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Jaya, Hendri menggunakan sistem agen untuk merekrut muslim lainnya,” ungkap Samsul. Sungguh luar biasa gerakan kristenisasi di Aceh. *dbs/afg.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!