JAKARTA (voa-islam.com) - Memasuki tahun 2014, dan menjelang akan berlangsungnya peristiwa politik besar, seperti pemilu legislatif dan presiden, sekarang bangsa Indonesia dihadapkan persoalan yang lebih pelik lagi.
Skandal Bank Century sudah menyentuh pusat kekuasaan dengan diperiksanya Wakil Presiden Boediono. Sekarang, merembet ke Presiden SBY, tentang kemungkinan dugaan keterlibatannya dalam kasus Bank Century yang menghabiskan dana Rp 6,7 triliun?
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Boediono memberi indikasi banyak hal, keterlibatan mantan Gubernur Bank Indonesia itu, tidak lagi terlalu penting. Sementara yang lebih mendesak adalah sejauh mana peran SBY dalam memberi endorsement (persetujuan) atas penalangan itu. Hal ini yang patut dibuka.
Selain pemeriksaan terhadap SBY, yang perlu ditelusuri, siapa saja yang menerima aliran dana dari mega skandal sebesar Rp6,7 triliun itu.
Karena tak ada gunanya SBY maupun Boediono, katakanlah menjadi tersangka dan bahkan dihukum penjara seumur hidup, tetapi pihak yang menikmati dana triliunan rupiah, hidup nyaman di luar penjara dan masa depan anak serta turunannya sampai generasi ketujuh, terjamin.
Skandal dalam pemerintahan SBY jika tidak dituntaskan bisa berulang. Bahkan bila dibiarkan seperti sekarang, bukan mustahil di sisa jabatan 11 bulan terakhir, kasus yang bisa merugikan negara lebih besar dari skandal Century, masih dapat berulang.
Penelusuran atas pihak yang menikmati dana hasil korupsi itu mendesak sebab pencairan dari Bank Indonesia sejak November 2008, masih terus dilakukan hingga Juli 2009. Lebih menarik lagi, Juli 2009 itu merupakan Pilpres putaran pertama digelar. Sehingga kecurigaan dana talangan itu digunakan untuk kebutuhan kampanye Pilpres untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono, wajib dijernihkan.
Pencairan hingga Juli 2009 itu patut mendapat sorotan, sebab di saat itu, Presiden SBY sudah berada di Tanah air. Tapi mengapa sebagai Presiden, ia tidak melakukan pencegahan atas sisa penalangan ?
Seperti yang sudah diungkap para pakar hukum tata negara, dengan Boediono melempar tanggung jawab penalangan itu kepada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sementara penanggung jawab LPS tersebut adalah Presiden RI, maka hal itu berarti Boediono sudah melibatkan SBY.
Dengan kata lain, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak ikut memeriksa SBY. Begitu juga SBY tidak bisa mengelak karena semakin SBY mengelak, semakin besar kecurigaan publik.
Selain keterangan Boediono, Menteri Keuangan yang menyebut dia hanya menyetujui penalangan Rp630 milar, keterangan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden ketika penalangan itu terjadi, sudah sangat blak-blakan. Menjurus pada substansi bahwa penalangan itu dikehendaki oleh SBY.
Bukan sekali dua kali Jusuf Kalla menegaskan bahwa dia merasa ditelikung atau dibohongi. Siapa yang membohongi Jusuf Kalla? Yaitu trio Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono dan Presiden SBY.
Jusuf Kalla merasa dibohongi sebab Menkeu dan Gubernur BI yang sedang berada di Jakarta, terus berkomunikasi dengan Presiden SBY yang sedang berada di luar negeri.
Tapi apa yang dikomunikasikan itu tidak pernah diberitahukan kepada Jusuf Kalla yang nota bene merupakan Presiden Ad Interim dan sedang berada di Tanah Air.
Oleh sebab itu pembelaan Presiden SBY bahwa ia sedang berada di luar negeri manakala penalangan itu diputuskan, tidak sepatutnya diterima begitu saja. Secara moral dengan alasan apapun, Presiden SBY tidak bisa berdalih bahwa karena sedang berada di luar wilayah Indonesia, maka ia tidak ikut bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di dalam negeri.
Tuntutan agar SBY diperiksa dalam keterlibatannya di skandal Bank Century mutlak dipenuhi. Tujuannya demi menjaga nama baik SBY sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai lembaga kepresidenan yang harus disakralkan. Tapi pemeriksaan itu harus diletakkan pada posisi secara proporsional. Kalau bersalah, apa boleh buat, tapi jika tidak harus dipulihkan.
Membiarkan SBY sebagai sosok yang dilindungi, tidak sehat dari segi hukum maupun demokrasi. Publik akan merasa dimarjinalkan. Rasa sakit hati masyarakat yang merasa tidak memperoleh perlakuan hukum secara adil, bakal berkepenjangan.
Sebaliknya jika SBY bisa menjawab semua tudingan, pasca lengser dari kursi Presiden RI, SBY bisa menikmati kehidupan yang tenang. SBY akan dikenang sebagai pemimpin yang berjiwa besar yang patut dihormati sampai kapanpun.
Dalih SBY sedang berada di luar negeri ketika talangan dilakukan, dari waktu ke waktu terus tergerus, tidak cukup kuat.
Sebab pada 2013 ini saja, sekalipun SBY sedang mengadakan perjalanan ke berbagai negara di Afrika sembari menunaikan ibadah umroh, tapi di Arab Saudi, SBY masih bisa menyisihkan waktu untuk menanggapi perkembangan politik internal yang berkaitan dengan Ketua Umum Partai Demokrat (pada waktu itu), Anas Urbaningrum.
Bukankah persoalan Bank Century di 2008 itu justru jauh lebih penting dibanding persoalan Anas Urbaningrum di 2013?
Ketika meletus demo dan anarkis di Jakarta pada awal Mei 1998, Presiden Soeharto sedang berada Mesir, Timur Tengah. Tapi setelah mendapat laporan dari para pembantu atau orang-orang kepercayaannya di Jakarta, Soeharto memutuskan mempersingkat lawatannya.
Soeharto kembali ke Jakarta dan menghadapi situasi genting yang mengancam kepemimpinannnya plus kesatuan dan persatuan NKRI. Soeharto memiliki apa yang disebut "sense of urgency".
Kontroversil dari pembelaan SBY, di satu sisi dia sependapat kasus Century sangat berisiko bagi masa depan perekonomian nasional, tetapi ia tetap memilih berada di luar negeri.
Sudah begitu ia sembunyikan kasus berbau korupsi ini dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jadi ada antagonistis dan ketidakkonsistenan sikap oleh Presiden SBY.
Pada April 1986, Presiden Ronald Reagan sedang berada di Bali dalam rangka pertemuan dengan para pemimpin anggota ASEAN. Pertemuan itu, dalam konteks martabat Amerika Serikat, sebagai negara antikomunis, sangat penting. Sebab ASEAN ketika itu merupakan mitra penting Amerika Serikat di Asia dan Pasifik.
ASEAN yang beranggotakan negara-negara anti komunis di Asia Tenggara berada dalam satu blok dengan Amerika Serikat. ASEAN ketika itu belum menerima negara seperti Kamboja, Vientan, Myanmar dan Laos, karena mereka yang disebut belakangan ini, semuanya merupakan negara blok sosialis/komunis.
Tapi, kendati pertemuan itu sangat penting bagi politik global Amerika Serikat, ketika ada persoalan yang lebih penting, dimana Presiden harus memilah, Reagan memilih hal yang lebih penting bagi negaranya.
Reagan memutuskan untuk "mengorbankan" pertemuan ASEAN. Reagan kembali ke Washington, mempersingkat jadwal pertemuannya dengan para pemimpin ASEAN.
Apa yang membuat Presiden Ronald Reagan kembali ke negaranya? Tidak lain tidak bukan, karena di sebuah negara yang jauh dari Amerika Serikat terjadi kebocoran nuklir di sebuah pusat pengayaan nuklir.
Sama halnya, ketidak hadiran Presiden Barack Obama di KTT APEC di Bali, saat krisis melanda Amerika, Obama lebih memilih fokus menangani krisis di negaranya.
Contoh-contoh di atas tidak lain untuk mengingatkan Presiden SBY. Dengan sangat menyesal harus dikemukakan, banyak tindakan dan kebijakan penting yang dilakukannya yang tidak menyentuh empati publik. ww/inh