JAKARTA (voa-islam.com) - Ketika Presiden Soeharto berkuasa lebih dari 30 tahun, sejumlah kebijakan di bidang keamanan banyak dilahirkan. Mulai konsep massa mengambang, Dwi fungsi ABRI, hingga penerapan azas tunggal.
Suatu saat, di sekitar tahun 1980-an akhir, Menteri Dalam Negeri Rudini mengatakan: “Biarkan rakyat desa tenteram sebagaimana adanya.”
Rudini mengutarakan hal itu ketika muncul kritik dari kalangan intelektual dan para politisi agar rezim Orde Baru mengakhiri kebijakan massa mengambang alias floating mass.
Ketika itu, Rudini mewanti-wanti bahwa pemerintah tidak mau ambil resiko. Dengan kata lain, desa tetap dijauhkan dari hingar-bingar politik.
Memang, semenjak kemenangan Orde Baru menggulingkan Orde Lama, ada semacam asumsi bahwa sebab kuat dari konflik-konflik politik pada masa lalu adalah karena ada sistem multi partai dan polarisasi ideologi.
Maka yang ditempuh rezim Soeharto kemudian adalah proses de-ideologi. “Politik no, ekonomi yes,” begitulah.
Ungkapan ini kemudian diperkuat oleh serangkaian kebijaksanaan stabilitas politik yang dibuat oleh pemerintah demi merehabilitasi perekonomian.
“Untuk itu dilakukan upaya-upaya supaya tidak ada sikap kritis dari masyarakat. Rakyat dibungkam,” kata sejarawan dan peneliti LIPI Asvi Warman Adam, dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, awal November 2013.
Ada sejumlah kebijakan yang kemudian dilahirkan. Salah-satunya, menjelang Pemilu 1977, seperti dikemukakan Nazaruddin Sjamsuddin dalam buku Integrasi Politik di Indonesia (1989), pemerintah memutus mata rantai ideologi yang menghubungkan rakyat pedesaan dengan ideologi-ideologi partai politik.
Konsep massa mengambang, itulah perwujudannya yang dikonsepsikan pada 1971.
Artinya: pembebasan rakyat di daerah pedesaan terhadap kegiatan-kegiatan politik, memutuskan hubungan mereka dengan partai politik, kecuali di saat pemilu.
Dalam kerangka ini, PPP dan PDI saat itu dilarang mendirikan kantor ranting di desa-desa, seperti yang pernah dipraktekkan di zaman Orde Lama.
Konsep ‘menelanjangi’ desa dari jubah ideologi demi stabilitas politik, hanyalah salah-satu dari kebijakan Orde Baru yang sejak awal berorientasi menjauhkan masyarakat dari politik.
Asas Tunggal
Selain itu, rezim Orde Baru juga menyeragamkan azas semua kekuatan politik di Indonesia, yang ditandai pidato Presiden Soeharto di depan Sidang Papipurna DPR pada 16 Agustus 1982.
Menurut M Rusli Karim, dalam buku Nuansa Gerak politik era 80-an di Indonesia (1992), penyeragaman azas ini – yang dikenal dengan sebutan azas tunggal Pancasila - merupakan ‘keampuhan’ Orde Baru dalam menghadapi kekuatan politik, terutama yang beraspirasikan Islam.
Pemerintah Orba, menurut Rusli Karim, “tidak ingin memberi peluang bagi kekuatan mana pun untuk menjadi kekuatan yang mampu menyaingi partai yang didukung pemerintah.”
Pencanangan Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi politik, menurut Nazarudin Syamsudin (1989), merupakan langkah pemerintah Orba untuk “menghindari perpecahan di kalangan elit politik”.
Namun jauh sebelumnya, yaitu pada 1967, pemerintahan Soeharto melakukan apa yang disebut Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia (1986), sebagai “pengebirian partai-partai politik”.
Saat itu, menurut Crouch, rezim melakukan langkah-langkah yang nantinya menjamin bahwa partai-partai akan dipimpin oleh orang-orang yang “bersedia patuh dan erat bekerja sama dengan pemerintah.”
Di sinilah, pemerintah kemudian “mencampuri” internal PNI, Masyumi (yang kemudian dipaksa menjelma menjadi Partai Muslimin Indonesia), serta NU sebelum Pemilu 1971.
Melalui “campur tangan melalui Opsus yang dipimpin Ali Murtopo”, menurut Crouch, Golongan Karya – yang didukung secara penuh oleh pemerintah Orba – meraih suara lebih dari 68 persen dalam pemilu 1971.
Tidak lama setelah Pemilu 1971, pemerintah menyederhanakan partai-partai politik alias penggabungan (fusi) menjadi tiga kekuatan sosial politik: PPP, Golkar dan PDI.
Dwi Fungsi ABRI
Setelah reformasi 1998, konsep dan implementasi Dwi Fungsi ABRI dikritik habis-habisan dan akhirnya “dicabut”.
Padahal, di masa Orde Baru, konsep ini sepenuhnya dilaksanakan, walaupun implementasinya dinilai kelewatan ketimbang konsep awalnya.
Sebutlah: hampir semua pejabat daerah dikuasai oleh perwira TNI, adanya kursi TNI di DPR hingga di kursi menteri, serta di perusahaan-perusahaan.
Padahal, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, yang juga dikenal sebagai konseptor “Dwi Fungsi ABRI”, konsep “jalan tengah ABRI” itu intinya “peran ABRI... sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik)”.
“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, dalam buku Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai, perjalanan hidup AH Nasution (1998).
Karena itulah, dia mengaku kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain "banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan."
Baginya, penempatan itu tidak tercakup dalam pemahaman Dwifungsi. Lebih lanjut, Nasution mengatakan, konsep Dwifungsi sekarang (saat Orde Baru) telah bergeser.
Menurut mantan Gubernur Lembahanas Letjen (purnawirawan) Hasnan Habib, dalam wawancara dengan harian NUSA (20 September 1999), pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI dalam perjalanannya mengalami “pelencengan”.
“Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan,” kata Hasnan Habib, saat itu.
. . . semua warisan Soeharto itu, hanyalah membuat malapetaka, dan bencana bagi bangsa Indonesia yang sampai sekarang dampaknya masih terasa. Soeharto bukan seorang nasionalis, tetapi Soeharto hanyalah kaki tangan Amerika. . .
Pancasila dan Korupsi
Sampai di situ upaya sistematis rezim Orde Baru untuk menjauhkan masyarakat dari "penyakit" Orde Lama? Tunggu dulu.
Di masa Orde Baru, anda tentu masih ingat, setiap siswa sekolah atau mahasiswa baru wajib mengikuti “indoktrinasi” penanaman nilai-nilai Pancasila, sebagai syarat penting yang harus diikuti.
Indoktrinasi ideologi resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama.
Nazaruddin Sjamsuddin (1989) mengatakan, sosialisasi nilai-nilai Pancasila, seperti melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), merupakan "salah-satu cara terbaik untuk membuat masyarakat menyadari, mengetahui dan menghayati ideologi negara."
Demi stabilitas politik, utamanya untuk menghadapi bahaya laten Komunisme, indoktrinasi Pancasila ini didahului kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol.
Klaim seperti ini terus dihidupkan, sehingga orang-orang atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah dianggap anti atau “merongrong” Pancasila.
Di luar kebijakan dan konsep massa mengambang, penerapan azas tunggal, Dwi Fungsi ABRI, hingga penataran P4, tentu saja ada beberapa istilah lainnya yang diidentikan dengan Orde Baru.
Apa itu? Sebutlah istilah: modernisasi, pertumbuhan ekonomi, demi pembangunan, ekstrim kanan-kiri, gerombolan pengacau keamanan (GPK), atau anti Pancasila.
Namun semenjak reformasi 1998 digulirkan, istilah-istilah Orde Baru seperti menjadi barang usang, dan terkadang menjadi bahan olok-olok. Karena semua warisan Soeharto itu, hanyalah membuat malapetaka, dan bencana bagi bangsa Indonesia yang sampai sekarang dampaknya masih terasa. Soeharto bukan seorang nasionalis, tetapi Soeharto hanyalah kaki tangan Amerika. hh/bbc