Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 19 September 2013 20:00 wib
16.055 views
Dollar Macet, Target ILC TV One & Karni Ilyas Blow Up Issue Terorisme
JAKARTA (voa-islam.com) – Saat tayangan dialog Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One yang disiarkan secara live pada Selasa (17/9/2013) malam di TV One, tema yang diangkat adalah “Kini, Polisi Yang Diteror”. Akan tetapi, yang terjadi justru penggiringan opini.
Menurut analisa Pemerhati Kontra Terorisme, Harits Abu Ulya kepada voa-islam.com pada Rabu (18/9/2013), penggiringan opini tersebut tidak lain dilakukan TV One yang bekerjasama dengan BNPT untuk membuka kran dollar yang mulai macet.
Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini mengungkapkan, selain untuk mendatangkan kucuran dana dan dollar dari majikannya di Amerika Serikat (AS) dan Australia, BNPT dan Densus 88 juga berkepentingan untuk eksis lagi. Berikut analisa lengkapnya:
Analisa saya berikut bisa benar dan juga bisa salah (meminjam ungkapan pengamat ketika menimpali semua kibulannya dalam isu teror). Semua pemirsa Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One tahu bahwa topik utama yang diangkat adalah “Kini, Polisi Yang Diteror”.
...Modus TV One melakukan penggiringan opini atas satu fakta tindak kejahatan lepas dari TKP ini sudah yang kesekian kalinya...
Namun, ketika mengikuti dengan seksama acara yang dipandu Pimred TV One Karni Ilyas pada Selasa (17/9/2013) malam itu, pemirsa akhirnya juga akan tau dialog dikerucutkan kepada sebuah opini bahwa kelompok teroris dengan ideologinya, menjadi sumber dan akar masalah itu semua.
Modus TV One melakukan penggiringan opini atas satu fakta tindak kejahatan lepas dari TKP ini sudah yang kesekian kalinya. TV One Cenderung membuat kesimpulan gegabah dan dipaksakan berdasarkan opini dan asumsi semata dengan beragam argumentasi yang dipaksakan.
Dari komposisi peserta ILC yang hadir saja, terlihat sekali hampir 80 persen mereka yang sudah dalam frame pemikiran tendensius bahwa terorislah biang kerok semua aksi-aksi teror belakangan ini. Dari sini saja sangat bisa dipahami kemana arah kesimpulan dialog dan kemana persepsi publik digiring.
Jika publik bertanya-tanya kenapa bisa demikian, analisa saya bahwa dibalik itu semua ada faktor yang sangat mempengaruhinya. Yang *pertama, TV One punya komitmen dengan BNPT untuk menjadi “Public Relation” dalam kepentingan kontra terorisme.
...TV One punya komitmen dengan BNPT untuk menjadi “Public Relation” dalam kepentingan kontra terorisme...
Jadi wajar kalau kemudian diberbagai kasus “terorisme”, TV One menjadi salah satu TV terdepan melakukan liputan ditempat operasi Densus 88 dan Satgas BNPT. Dan itu menjadi “kompensasi” yang didapatkan TV One, termasuk menjadi terdepan untuk memblowup issue-issue terkait terorisme.
Kemudian yang *kedua, dalam kasus teror yang terjadi dua bulan terakhir ini, sikap Mabes Polri sebenarnya cukup proporsional, yakni tidak mudah menarik kesimpulan bahwa ini adalah kasus terorisme dan pelakunya adalah teroris yang selama ini di identikan dengan aktivis Islam.
Sikap Mabes Polri tersebut berangkat dari TKP dan membuka semua perspektif dan kemungkinan serta melakukan analisa berbagai kemungkinanya. Selain itu, dalam pengungkapan kasus penembakan polisi itu, Mabes Polri lebih banyak memaksimalkan peran Resmob, bukan Densus 88.
Kita yang intens mencermati isu terorisme akan bisa melihat perubahan signifikan sikap Polri yang tidak murah obral tuduhan terorisme dalam dua bulan terakhir ini. Saya melihat Densus 88 dan Satgas BNPT saat ini “terkunci” langkahnya.
...Dalam kasus teror yang terjadi dua bulan terakhir ini, sikap Mabes Polri sebenarnya cukup proporsional, yakni tidak mudah menarik kesimpulan bahwa ini adalah kasus terorisme...
Apalagi BNPT yang kini dipimpin oleh Petrus Reinhard Golose, Ansyaad Mbai dan ditambah satu lagi mantan Komandan Grup 3 Sandiyudha Kopassus pada 2002 Agus Surya Bakti, seperti tidak punya panggung atas berbagai kasus teror yang terjadi.
Lalu yang *ketiga, ada pengurangan dana yang signifikan bagi Densus 88 dan khususnya untuk Satgas BNPT, dan hal ini sangat memberi pengaruh besar keapda mereka untuk semakin sulit “bergerak” dan bermanufer sesukanya.
Maka wajar jika kemudian pihak BNPT dan kru perlu memainkan “mindset contro”, yaitu media seperti TV One untuk membangun propaganda dan tekanan opini agar bisa melabeli aksi-aksi teror selama ini benar adanya adalah terorisme.
Jadi dengan langkah seperti itu bisa diharapkan tergelarnya “karpet merah” bagi Densus 88 dan Satgas BNPT untuk kembali eksis dan mendapat panggung kemudian berikutnya adalah kucuran dana dan dollar yang lebih besar lagi dari majikannya, yakni Amerika Serikat (AS) dan Australia.
...Densus 88 dan BNPT berharap dengan penggiringan opini di ILC TV One bisa kembali eksis dan mendapat kucuran dollar yang lebih besar lagi dari majikannya, yakni Amerika Serikat (AS) dan Australia...
Dibalik hiruk pikuk berita aksi penembakan polisi, di sana seebtulnya ada “pertarungan” yang tidak wajar dari pihak BNPT dan Densus 88, yang intinya mereka harus punya “panggung eksistensi” dan demi kelangsungan perut mereka.
Akhirnya, diluar upaya pengungkapan kasus yang dilakukan oleh Mabes Polri yang sedang berjalan, justru BNPT diluar kerangka tersebut sangat kontraproduktif dan bernafsu membangun opini dan propaganda dengan beragam statemen.
Hal ini terlihat jelas dilakukan para pejabat teras BNPT sampai para pengamat binaan mereka dan para pengamat partner mereka, bahkan para kombatan yang loyal menjilat semua kata-kata mereka, seperti Noor Huda Ismail, Al Chaidar dan Abdul Rahman Ayyub.
...Di Indonesia, terorisme versi BNPT dan Densus 88 sudah bergeser sedemikian rupa, dan yang terjadi lebih banyak adalah “teroris opini” dibandingkan dengan teroris sebagai sebuah aksi...
Wajar saja, karena kerjanya kontra terorisme akhirnya setiap kasus kejahatan dan teror diruang publik disimpulkan adalah aksi terorisme. Padahal dalam kasus teror, tidak menutup kemungkinan adanya langkah-langkah intelijen “ilegal” reproduksi “teror” yang digunakan sebagai pembenaran dan keberlangsungan proyek kontra terorisme.
Di Indonesia, terorisme versi BNPT dan Densus 88 sudah bergeser sedemikian rupa, dan yang terjadi lebih banyak adalah “teroris opini” dibandingkan dengan teroris sebagai sebuah aksi yang sesungguhnya layak disemati secara obyektif dengan label terorisme.
Semoga masyarakat makin cerdas dan bisa membedakan manakah media TV yang obyektif dan manakah yang subyektif tendensius menyudutkan Islam dan menjadi corong kepentingan-kepentingan tertentu yang opuntunir. [Khalid Khalifah]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!