Survey yang dibuat oleh Kompas, menempatkan posisinya paling atas, dan seolah-olah Jokowi itu manusia "sakti mondroguno", manusia "segala-galanya", sehingga sekarang ini berhasil diciptakan demam "Jokowi" di mana-mana.
Kalau Jokowi menjadi presiden semua pasti beres. Semua persoalan alias 1001 masalah semua akan selesai. Begitu dahsyatnya hembusan lewat para "buzzers" (tukang gelembung suara) yang terus menggelembungkan sosok Jokowi lewat kicauan mereka di media sosial, tanpa henti dan jeda.
Mereka berusaha menampilkan Jokowi sebagai manusia paripurna. Manusia akhir zaman yang dapat menyulap masalah berubah menjadi berkah.
Padahal,selama menjadi walikota Solo, tak banyak yang bisa dibanggakan dari Jokowi. Tidak ada perubahan yang sangat luar biasa, pembangunan ataupun kehidupan rakyatnya. Semua biasa-biasa saja. Pasar Klewer tetap suntuk, dan tidak ada pembangunan yang nampak begitu luar biasa yang bisa langsung dirasakan rakyat.
Kemenangan Jokowi di DKI, tidak amat-amat hebat. Karena, hanya mendapat dukungan suara 53,18 persen belaka. Sedang, Foke mendapatkan suara 47 persen. Tetapi, jangan lupa, Golput di DKI, jumlahnya lebih 45 persen. Jadi tidak perlu menggelembungkan Jokowi sebagai "superman".
Selama menjadi Gubernur, tidak spektakuler gebrakannya di DKI. Paling-paling lelang pejabat di DKI, seperti lurah, camat, dan pejabat lainnya, yang sebagian besar, 85 persen, masih wajah lama. Mungkin yang spektakuler, hanya mengangkat Lurah Lenteng Agung, perempuan dan beragama Nasrani.
Jakarta tetap macet. Banjir tetap banjir. Kumuh tetap kumuh. Kalau ada perubahan di Pluit, yang mereka tinggal dipinggir-pinggir danau Sunter, digerus, dan sudah hilang, entah kemana mereka.
Konon mereka sudah tinggal di Rusun (rumah susun). Tetapi, masih begitu banyak rakyat yang "jembel", yang sekarang entah bagaimana nasibnya.
Kartu Sehat mendapat penolakan rumah-rumah sakit, karena Pemda DKI, tidak lancar menggantinya, dan banyak rumah sakit, yang akhirnya menolak. Sekolah-sekolah dengan berbagai cara tetap memungut bayaran. Tidak ada yang gratis. Mungkin yang digembar-gemborkan tentang keberhasilan menggusur pedagang kaki lima di Tanah Abang yang sekarang ini bersih.
Belakangan, Jokowi kerap kali ditunjuk menjadi juru kampanye bagi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDI Perjuangan, dan gagal.
Efek "Jokowi" ternyata hanya kosong melompong. Pilkada-pilkada yang didukung Jokowi dan PDI tidak otomatis langsung menang. Sosok Jokowi yang katanya merakyat ternyata tidak bisa otomatis menarik simpati rakyat jelata. Jokowi sejatinya hanya citra yang diciptakan media, diantaranya seperti Kompas. Tidak lebih.
Saat pemilihan gubernur Jawa Barat, Jokowi menjadi juru kampanye Rieke-Teten, begitu juga saat Pilgub Sumatera Utara, Jokowi berjuang untuk Effendi Simbolon dan Jumiran. Namun nasib berkata lain, dua pasangan itu kalah. Di Jawa Timur, Jokowi menjadi jurkam Bambang DH, semuanya yang mendapatkan dukungan Jokowi "jontor", dan kalah. Di Bali, Jokowi yang sudah kampanye untuk pasangan Puspayoga-Sukrawan, kalah. Jokowi effect kembali gagal mendongkrak suara pasangan TB Suwendi Dedi Gumelar (Miing) - Suratno dalam pilkada Kota Tangerang 2013.
"Masyarakat kan sudah pada pintar, meskipun Jokowi jadi jurkam, tapi tetap saja yang dipilih bukan calon yang didukung Jokowi, jadi Jokowi sifatnya hanya membantu," ujar seorang pengamat.
Jokowi ... , begitu hebat pasukannya, yang terus menggerakkan jari-jari mereka, setiap hari, siang dan malam, sebagai "buzzers", yang terus berkicau di media sosial, dan mengkampanyekan sosok Jokowi, sebagai pemimpin masa depan, yang unggul, paripurna, merakyat, dan solutif, ternyata semuanya hanyalah fatamurgana.
Fatamurgana, bagi mereka yang dahaga, seperti melihat air, semakin didekati semakin jauh, dan semakin dikejar, semakin tak nampak, serta akhirnya yang mendekati dan mengejar itu, semuanya mati.
Mereka para "buzzers", setiap hari terus menaikkan citra Jokowi, dan tanpa mengenal lelah, dan henti, sambil membully (mengejek) bagi mereka yang mengkritik manusia yang dianggap super itu.
Ketika tahun 2004, bagaimana media-media menggelembungkan SBY, dan mengejek Megawati, dianggap gagal dan tidak becus. Sekarang mereka yang menggelembungkan SBY, hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, dan menggigit jarinya.
Pemerintahan SBY penuh borok, lingkaran, dan partainya terjebak dalam permaian korupsi, yang sangat mengerikan. Termasuk elite Partai Demokrat, tak lepas dari jeratan korupsi. Partai yang mengatakan "tidak" kepada korupsi ternyata, Demokrat "embahnya" korupsi di Indonesia.
Maka, rakyat Indonesia jangan lagi mau dibodohi dan ditipu oleh media yang penuh dengan konspiratif, dan siapa sejatinya dibelakang Jokowi itu? Apa target mereka, para pendukung, dan orang-orang yang berada di belakang dan sekitar Jokowi yang sekarang ini all out menggolkannya? af/hh