Ahad, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 18 November 2012 23:22 wib
8.149 views
Solo Tidak Terkoyak, yang Ada Adalah Usaha Mengoyak Kota Solo
SOLO (voa-islam.com) – Sebanyak 139 peserta tamu undangan yang terdiri dari para tokoh masyarakat lintas agama yang merupakan perwakilan dari enam agama dan ormas-ormas islam yang ada di kota Solo Raya pada Sabtu siang (17/11/2012) dari jam 13.00 -16.00 WIB berkumpul di d’Java Resto Solo dalam acara temu tokoh dan dialog publik bertajuk “Merajut Solo Yang Terkoyak” yang diprakarsai oleh Lembaga Kajian Lintas Kultural (LKLK) dan yang juga punya nama lain Forum Komunikasi Lintas Kultural (FKLK).
Acara yang digelar di sebuah resto yang terletak dijalan Honggowogso no. 98 kota Solo itu juga dihadiri oleh Kasat Intel Polresta Solo, Kompol M. Fahrudin yang mewakili Kapolresta Solo Kombes Pol. Asjima’in, ketua Bidang Ukhuwah MUI Solo Ustadz Dahlan yang mewakili ketua MUI Solo dan Bp. Suharso selaku Kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas) yang mewakili aparat pemerintahan kota Solo.
Sedangkan narasumber yang dihadirkan dalam acara tersebut antara lain ketua Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) Ustadz Edi Lukito, SH., ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surakarta KH. Solikhan Mahdum Cahyana, perwakilan Lembaga Perdamaian Lintas Agama (LPLA) dan Golongan Gereja Kristen Jawa Timur Utara (GKJTU) Pajang Surakarta Pdt. Adi Daan Basmono dan Ketua DPRD Surakarta YF. Soekasno yang juga pengurus DPD PDI-P Surakarta.
Akan tetapi, karena YF. Soekasno tidak bisa hadir disebabkan ada tugas dari partai untuk menghadiri acara di Yogyakarta sampai hari minggu, akhirnya dia digantikan oleh Muhammad Subchan selaku ketua DPC Solo.
Menurut Sofwan Faisal Sifyan selaku ketua panitia pelaksana dan juga ketua LKLK, latar belakang diadakannya acara tersebut berangkat dari sebuah keprihatinan atas 13 peristiwa yang terjadi di kota Solo sejak kejadian bentrok di Gandekan pada tanggal 3-4 Mei 2012, penyerangan beberapa pos polisi di Solo, ditembaknya Farhan dan Muhsin di Tipes Solo, sampai peritiwa yang terakhir yakni penyerangan tempat pengajian Ingkarus Sunah di Solo, Karang Anyar dan Sukoharjo.
“Acara ini kita adakan sebagai sebuah bentuk keprihatian atas terjadinya beberapa kasus, yang dalam data kita itu ada 13 kasus, dari bentrok Gandekan, ada sweeping di Brondongan Serengan, ada penyerangan terhadap pos polisi pada bulan Ramadhan sampai tertembaknya Farhan dan Muhsin itu, ada juga sweeping terhadap Ingkarus Sunah, termasuk penangkapan-pengkapan terduga teroris”, ujarnya kepada voa-islam.com disela-sela acara.
Sofwan pun menjelaskan dengan memberi satu contoh kasus atas keprihatinan LKLK terhadap permasalahan yang ada, yakni tentang pemberantasan terorisme. Menurutnya, harusnya polisi bisa lebih bersikap reaktif dalam menangani kasus yang menyangkut masalah terorisme dengan mengedepankan dialog dan cara-cara yang lebih rasional untuk mengetahui akar permasalahan terorisme.
“Penangkapan-penangkapan terduga teroris itu juga merupakan sebuah keprihatinan bagi kami. Harusnya teroris tidak langsung ditembak aja, kenapa tidak ditangkap lalu diadili, itu lebih fair. Kalau langsung ditembak mati, kan gak ada penjelasan, siapa yang bisa dimintai keterangan kalau sudah ditembak mati? Sehingga dengan hal itu akan menimbulkan gejolak baru dan permusuhan baru”, paparnya.
Sedangkan tema dialog yang diangkat bertajuk “Merajut Solo Yang Terkoyak” juga tidak lepas dari sorotan para narasumber dan peserta yang hadir. Bahkan menurut mayoritas peserta yang hadir, mereka menyatakan pendapatnya bahwa tema tersebut sangat “provokatif”.
Menanggapi hal itu, Sofwan yang juga ketua Lembaga Al Iqtida’ Bi Akhlaqirrosul itu berpandangan berbeda. Menurutnya, perbedaan dalam menyikapi tema yang diangkat dalam dialog terbuka tersebut tergantung dari cara pandang seseorang dalam melihat dan memahami kondisi beberapa kasus yang melanda Solo.
“Itu cara pandang yang berbeda, tapi fakta dilapangan demikian adanya. Setidaknya menurut penelitian kami, ada 13 kejadian kekerasan. Dan itu mengoyak semua korban. Siapa yang tidak terkoyak ketika seorang polisi ditembak mati? Seorang Farhan ditembak mati padahal baru terduga teroris? Gimana terduga teroris yang ditangkap kemudian dilepaskan karena tak cukup bukti? Lha keluarganya gimana? Apakah mereka tidak sakit hati, dendam atau ketakutan? Ini semua kan bukti kalau di Solo emang ada yang terkoyak”, ungkapnya.
Sementara itu, dari keempat narasumber yang hadir dalam menyatakan analisanya dan pemarapannya, menyatakan bahwa Solo tidak ada yang terkoyak. Jadi, jika jika tidak ada yang terkoyak, maka untuk apa harus dirajut. Menurut keempat narasumber, realita yang yang mereka temui dan jumpai dari berbagai kasus yang melanda kota Bengawan yakni adanya usaha-usaha untuk mengoyak ketentraman warga kota Solo dan membenturkan antar umat beragama di kota Solo.
KH. Sholihan MC. yang ditunjuk sebagai pemateri awal menyatakan bahwa kota Solo dalam kondisi kondusif dan tidak ada yang terkoyak di kota Solo. “Apa yang dijadikan acuan kerja dan dasar dari diadakannya dialog publik ini oleh Lemabaga Kajian Lintas Kultural hanya menggambarkan sebagian kecil dari kondisi kota Solo yang sebenarnya cukup kondusif. Hal itu terbukti dengan adanya berbagai event tingkat lokal, nasional dan internasional yang terjadi di kota Solo”, beber Kyai yang juga ketua Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) Jawa Tengah itu.
Sedangkan Ustadz Edi Lukito sebagai pemateri kedua menyatakan bahwa tidak ada yang terkoyak dan Solo dalam kondusi kondusif. “Solo dalam keadaan kondusif. Ada kepentingan yang mengoyak-oyak Solo. Contoh kasus bom bunuh diri di Gereja Kepunton. Saya sudah bilang bahwa pelakunya bukan asli Solo. Seakan-akan ada rekayasa. Tapi Solo tidak bisa terkoyak”, paparnya.
Beliaupun menambahkan bahwa umat dan masyarakat harus mewaspadai politik adu domba. Sebab berbagai kasus yang ada menurut Edi Lukito, memang ada upaya untuk mengoyak ketentraman kota Solo yang hal ini merupakan politik adu domba pihak-pihak tertentu.
“(Pimpinan Ormas, masyarakat dan pimpinan lembaga pemerintahan-red) Harus mewaspadai politik adu domba dengan menghembuskan issue suku agama dan ras, SARA, dengan memanfaatkan ormas yang ada. Jadi memanfaatkan ormas untuk issue SARA. Atau memanfaatkan ormas tertentu itu untuk politik adu domba. Ini berbahaya, sebab ini sumber konflik”, tegasnya.
Sementara itu, Pdt. Basmono menyatakan bahwa Jawa merupakan pusat 4 aliran yang saling bersinergi. Dan diantara 4 aliran tersebut jangan sampai dipinggirkan atau berusaha untuk dilenyapkan. Karenanya, mereka-mereka yang dituduh sebagai teroris itu juga punya hak untuk hidup dan mendapatkan bagian dari apa yang mereka yakini.
“Menurut 4 aliran yang kuat, ada aliran menekankan pada hukum, ada aliran yang menekankan adat dan budaya (jawa-red), ada aliran yang melebur antara iman kristiani dengan budaya atau aliran kebarat-baratan, itu gak bisa dilenyapkan. Semuanya harus diakomodir, jangan malah salah satu antara itu dipingggirkan” ucapnya.
Dia juga menambahkan bahwa ketegangan antar elemen masyarakat di Jawa pada umumnya dan kota Solo pada khususnya merupakan hal wajar. Maka pancer (pusat) dari itu semua harus bisa mengakomodir dan menyikapinya dengan bijak.
“Karena tidak mungkin orang jawa itu menghilangkan ketegangan, kerena kalau menurut ilmu jawa, jawa inilah pusatnya, kalau dalam istulah jawa itu “kliwon-nya” (antara Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing-red). Jadi kalau Jawa ini goyang, maka sudut-sudut yang lainnya juga akan ikut goyang. Nah itulah pemamahan tentang sedulur papat (saudara empat-red) dan limo pancer (lima pusat-red)”, jelasnya. (Bekti/VOA)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!