Rabu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 4 Juli 2012 19:31 wib
12.560 views
Haram, Dana BPIH Ditempatkan di Bank Konvensional
TASIKMALAYA (VoA-Islam)– Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia keVI di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, juga dibahas soal Hukum Penempatan Dana BPIH pada bank konvensional. Seperti diketahui, dana setoran haji yang berupa Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) ditempatkan oleh Pemerintah (Kementerian Agama) pada bank-bank konvensional.
Melihat hal tersebut, sejumlah Ormas Islam mempertanyakan hukum penempatan BPIH pada bank konvensional, karena bank konvensional menggunakan system bunga (yang termasuk riba nasi’ah). Padahal haji adalah perbuatan ibadah yang seharusnya terhindar dari proses yang diharamkan.
Lalu, bagaimana hukumnya menempatkan dana BPIH pada bank konvensional? Apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah (Kementerian Agama) dalam penempatan Dana BPIH tersebut?
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan, dana BPIH tidak boleh (haram) ditempatkan di bank-bank ribawi (konvensional), karena haji adalah perbuatan ibadah yang suci yang harus terhindar dari yang haram dan syubhat.
Dana BPIH seharusnya ditempatkan oleh pemerintah pada bank-bank syariah, karena bank-bank syariah beroperasi sesuai syariah yang substansi/ruhnya sejalan dalam mendukung kesucian ibadah haji (karena terhindar dari transaksi yang diharamkan, dan mendukung pertumbuhan industri keuangan syariah.
Ijma’ ulama tentang keharaman riba, bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr, t.th.], juz 9, h. 391). Terkait riba juga dijelaskan dalam Peraturan Perundang-undangan dan Fatwa DSN-MUI: UU no 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Ají (pasal 22), UU no 19 tahun 2008 tentang perbankan Syariah, UU 21 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Fatwa MUI tno 11/01/2000 tentang Hukum Bunga Bank; Fatwa DSN MUI 01/DSN-MUI/2000 tentang Giro; Fatwa DSN MUI 02/DSN-MUI/2000 tentang Tabungan; Fatwa DSN MUI 03/DSN-MUI/2000 tentang Deposito.
Dana Talangan Haji
Tak kalah menarik, dalam sidang Komisi B-2, ulama juga membahas soal Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH yang masuk daftar tunggu (Waiting List). Ketika ketersediaan kuota haji terbatas, sementara minat untuk melakukan ibadah haji semakin meningkat, maka melahirkan waiting list yang jumlahnya signifikan. Antrian pendaftar yang ingin melakukan ibadah haji mengakibatkan adanya “pengendapan” dana pada rekening pemerintah (Kementerian Agama) yang kepemilikannya dipertanyakan oleh sejumlah masyarakat.
Pertanyaannya, siapakah pemilik dana setoran haji yang waiting list; pemerintah atau calon jama’ah haji? Bagaimana posisi dana tersebut secara hukum; harus dikelola atau tetap diendapkan di rekening tanpa menghasilkan apa-apa? Apabila dana tersebut boleh dikelola, siapakah yang berhak mengelola, dan hasilnya milik siapa?
Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama mengenai Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH yang masuk daftar tunggu (Waiting List) menjelaskan, dana setoran haji yang ditampung dalam rekening Menteri Agama yang pendaftarnya termasuk daftar tunggu (waiting list) secara syar’i adalah milik pendaftar (calon jamaah haji). Oleh sebab itu, apabila yang bersangkutan meninggal atau ada halangan syar’i yang membuat calon jamaah haji yang bersangkutan gagal berangkat, maka dana setoran haji wajib dikembalikan kepada calon jama’ah haji atau ahli warisnya.
Dana setoran haji calon jamaah yang termasuk daftar tunggu yang terdapat dalam rekening Menteri Agama, selayaknya di-tasharrufkan untuk hal-hal yang produktif serta dikelola dengan mitigasi risiko yang tinggi. Oleh karena itu, atas nama pemilik, pemerintah disilakan mentasharrufkan dana tersebut pada sektor yang halal, yaitu sektor yang terhindar dari maisir, gharar, riba, dan lain-lain; membiarkan dana tersebut mengendap dalam rekening pemerintah tidaklah termasuk perbuatan bijak dan baik.
Dana hasil tasharruf adalah milik calon jamaah haji yang termasuk dalam daftar tunggu (antara lain sebagai penambah dana simpanan calon jamaah haji atau pengurang biaya haji yang riil/nyata); sebagai pengelola, pemerintah (Kementerian Agama) berhak mendapatkan imbalan (ujrah) yang wajar/tidak berlebihan sebagai dijelaskan dalam hadits ibn Umar tentang hak pengelola wakaf. Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!