Sabtu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Agutus 2011 22:54 wib
10.846 views
Umar Abduh: Radikalisasi Diciptakan & Dipelihara oleh Pemerintah
Jakarta (Voa-Islam) - Menggeneralisasi pesantren sebagai inkubator teroris merupakan kesimpulan yang amat berlebihan dan sangat tidak arif. Buktinya, lebih banyak alumnus pesantren yang tidak menjadi teroris.
"Hanya dikarenakan banyak diantara para pelaku pada aksi-aksi terorisme di Indonesia dilakukan oleh alumni pesantren, hal tersebut semakin memperkuat asumsi mereka yang sentimen terhadap Islam, seolah pesantren menjadi breeding ground radikalisme dan terorisme di Indonesia.”
Demikian dikatakan pengamat intelijen Ustadz Muhammad Umar Abduh dalam diskusi publik “Radikalisasi Pesantren: Akar Penyebab dan Penyelesaiannya” yang diselenggarakan CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations), Jum’at (13/8) di Jl. Kemiri, Menteng, Jakarta Pusat,
Dikatakan Umar Abduh, pertarungan antara Islam dan Nasionalis Pancasila yang digalang pemerintah, merupakan bukti adanya upaya sistematis yang mengarah kepada konflik horizontal. Pelibatan dan penggalangan terhadap civil society secara massif yang dilakukan pemerintah tanpa malu-malu dalam menghadapi radikalisme, dinilai sebagai bentuk kelicikan pemerintah.
Menurut Umar Abduh, upaya dan kebijakan pecah belah antara sesama umat Islam oleh pemerintah seperti ini, mengingatkan kita kepada Snouck Hurgronje di masa penjajahan Belanda, yang merusak Islam dan umat Islam dari dalam.
“Kita akan maklum, jika yang melakukan itu adalah manusia penjajah berkebangsaan Belanda. Tetapi jika yang melakukan upaya pecah belah, adu domba antara sesama warga negara dan sesama agama, bahkan antar agama tersebut adalah pemerintah NKRI sendiri, maka nyatalah jika pemerintah NKRI merupakan kepanjangan tangan penjajah Belanda yang kelakuannya lebih buruk dari Belanda,” ujar Umar.
Lebih lanjut, Umar Abduh menegaskan, terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang dituduhkan pemerintah sebagai kekerasan atas nama agama, dalam pandangan umat Islam, justru merupakan hasil kebijakan culas, keji dan jahat kaum Nasionalis Pancasila dalam bersaing mengisi kemerdekaan dan memenangkan ideologi politik.
Setidaknya, lanjut Umar Abduh, terdapat tiga akar besar dan tiga akar kecil yang menjadi penyebab terjadinya radikalisasi terhadap kalangan Islam dan pesantren yang merupakan pusat dan benteng pertahanan Islam, yakni adanya kebijakan pemerintah NKRI yang sejak awal mengisi kemerdekaan dalam menghadapi persaingan politik & ideologi bangsa, dengan dalih membangun karakter nasionalisme bangsa dan segala konsekuensinya.
Tiga Akar Besar
Adapun tiga akar besar yang menjadi penyebab terjadinya radikalisasi terhadap kalangan Islam adalah: Pertama, adanya penetapan ideologi Pancasila bagi bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang final, sehingga menutup rapat tentang kemungkinan adanya ideologi lain untuk boleh ada dan eksis. Ideologi tersebut adalah Islam.
Kedua, adanya penetapan kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan dan penerapan ideologi Pancasila atas bangsa yang dilaksanakan secara Top Down, sehingga mengharuskan pemerintah bersikap dan terjebak ke dalam perspektif negara diktator dan otoriter .
Ketiga, Konsekuensi dari kebijakan sistem Top Down dalam menghadirkan dan menerapkan ideologi Pancasila berdampak pada langkah-langkah dan tindakan politis pemerintah, untuk menyalahgunakan kekuasaan, abuse of power yang dilakukan melalui operasi intelijen yang dirancang dalam rangka mengalahkan (provokasi, pembusukan & assassination) terhadap potensi ideologi Islam – guna memenangkan Penguasa.
Sedangkan tiga akar kecil, yakni: Pertama, kemenangan politis, ideologis dan strategis pemerintah terhadap Komunisme tahun 1965 dan segala dampak aturan yang dibuat selanjutnya di masa Orde Baru untuk mendukung sistem Top Down ideologi Pancasila menjadi ideologi Kekuasaan.
Di era orde baru inilah potensi Islam ideologis dirangkul atau digalang untuk dibusukkan melalui operasi intelijen. Sementara kalangan Islam moderat dikungkung melalui partai dan ormas yang pimpinan dan kordinatornya merupakan hasil dropping penguasa.
”Dari sini kita melihat, yang namanya problema internal bangsa ini merupakan buah tangan dan ciptaan pemerintah sendiri. Belum puas dan tidak cukup dengan skenario domestic, pemerintah Orde Baru menggunakan skenario internasional, yaitu melibatkan kelompok Islam ideologis ke dalam konflik agama di dunia internasional, seperti Afghanistan, Kashmir, Palestin, Mindanau, Bosnia & Chechnya, setelah sebelumnya membuka pintu lebar-lebar masuknya paham islam ideologis dan radikal dari timur tengah, yang hasilnya adalah munculnya kelompok-kelompok Islam ideologis dan radikal.”
Kedua, kebijakan pemerintah era reformasi yang membenturkan antara kalangan pesantren dan atau komunitas muslim awam dengan kalangan Katholik & Protestan di kawasan Poso dan Maluku, dengan membiarkan munculnya semangat di kalangan Katholik & Protestan untuk mendirikan Negara Kristen Raya sekaligus membiarkan kalangan Katholik & Protestan melakukan pembantaian massal terhadap kalangan muslim pondok pesantren di Poso dan di Ambon Maluku.
Pembiaran pemerintah terhadap konflik dan pemanfaatan moment tersebut untuk meningkatkan eskalasi konflik melalui fasilitasi peralatan tempur dengan melibatkan para veteran Mujahidin Afghan, Bosnia, Mindanau dan yang lain. Ada pihak-pihak berkepentingan yang menjadikan konflik sebagai ajang jual-beli persenjataan.. “Jumlahnya bisa mencapai ribuan pucuk. Belum lagi hasil impor dari Mindanau, selama konflik Maluku berlangsung.“
Ketiga, lemahnya kesadaran umat Islam terhadap rekayasa pemerintah yang melancarkan sikap dan permusuhan, kebencian ideologis dan segala instrument jebakan politis dan intelijen yang dilakukan secara sistematis, sehingga meembuat pemerintah begitu leluasa memainkan peran dan fungsi alat keamanan dan birokrasinya untuk memecah belah, dan menempatkan sebagian kalangan Islam dan Pesantren menjadi pihak yang pantas dituduh, patut dihukum dan menjadi musuh bersama.
Lemahnya kemampuan ummat Islam dalam menghadirkan Islam dengan segala budaya dan sistem pengelolaan kekuasaan dengan tanpa harus terjebak dengan provokasi maupun gangguan pemerintah, menyebabkan Pesantren yang merupakan benteng pertahanan terakhir ummat Islam mulai menjadi target sasaran yang akan dihancurkan pemerintah.
Jangan Dikte Umat Islam
Umar Abduh mengungkapkan, Pemerintah selama ini melakukan kebijakan radikalisasi terhadap warga dan bangsanya sendiri. Untuk itu, pemerintah harus menghentikan niat dan kinerja buruknya memusuhi warga dan bangsanya sendiri. Tanggungjawab pemerintah terhadap Islam dan umat Islam harus bertanggungjawab dalam mengisi dan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam wujud kemandirian, tidak bisa didikte, apalagi menjadi boneka negara lain.
Pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islam untuk menghadirkan Islam dan segala kebaikannya yang rahmatan lil ‘alamin tanpa harus mencampuri dengan keinginan untuk mengarahkan paham serta penjelasan tentang Islam menjadi seperti apa.(Desastian)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!