Rabu, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Juli 2011 14:53 wib
15.121 views
Jadikan Pena sebagai Senjata untuk Melakukan Perlawanan
Pertarungan ideologi terus berlangsung. Ketika buku dijadikan alat propaganda anti Islam dan pemikiran sesat, umat Islam jangan jadi pecundang. Jadikan pena sebagai senjata untuk melakukan perlawanan.
Para mujahid dakwah perlu disadarkan, bahwa untuk berjihad di jalan Allah dan memerangi musuh-musuh Islam, tidak cukup hanya dengan mengangkat senjata. Ketika Islam diserang dengan pemikiran, misalnya, maka harus dilawan pula dengan pemikiran dan pena. Kini, umat Islam harus menghadapi tantangan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Perang pemikiran, itulah yang harus dihadapi dengan memunculkan mujahid - mujahid pena.
Yang jelas, pertarungan ideologi bukanlah hal yang baru. Pertarungan itu sudah terjadi sejak abad permulaan Islam. Sebut saja misalnya kasus hukum mati atas al Hallaj atau vonis murtad bagi Ibnu Arabi karena memiliki gagasan wahdatul wujud. Di Tanah air, Syeh Siti Jenar yang memiliki konsep manunggaling kawula gusti juga mendapat perlawanan oleh sembilan Walisongo. Syekh Siti Jenar pun divonis hukuman mati.
Tak dipungkiri, pertarungan ideologi tetap berlangsung hingga saat ini. Dalam Nizham al-Islam, Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan, bahwa ideologi itu cuma ada tiga: ”Kapitalisme, Komunisme, dan Islam”. Mereka berlomba-lomba menciptakan teori-teori baru untuk meyakinkan masyakarakat dunia, bahwa ideologi yang diusungnya adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik. Mereka ingin menjadi pemenang dalam pertarungan ideologi.
Francis Fukuyama misalnya, meyakinkan bahwa kemenangan ada pada kaum kapitalis, yang menawarkan demokrasi liberal sebagai ideologi terbaik. Begitu juga dengan Karl Marx yang memelopori teori materialisme dan tumbuhnya faham sosialis.
Di Tanah Air, Indische Partij, Sarekat Islam (SI), dan Indisch Social Democratische Vereniging (ISDV) telah merumuskan ideologinya masing-masing sebagai alat perjuangan. Setelah kemerdekaan, pemerintah mulai mengalami kesulitan menangani perbedaan ideologi-ideologi yang ada, mulai dari pemberontakan kaum komunis di Madiun, DI/TII hingga Tragedi PKI tahun 1965.
Sejak itu, bangsa Indonesia seolah-olah trauma dengan sejarah pertarungan ideologi. Lalu lahirlah rezim penguasa yang represif yang mewajibkan ormas dan orpol menggunakan satu asas: Pancasila sebagai ideologi. Kendati dalam praktiknya, bangsa ini terseret jauh dalam sistem ekonomi kapitalisme. Di era reformasi, negeri ini mulai kembali diramaikan oleh berbagai ideologi, mulai dari Islam, Nasionalisme, Sosialisme, Marhaenisme, Kristen dan sebagainya.
Pertarungan ideologi mungkin saja berakhir, tapi bagi masyarakat dunia, ancaman pertikaian yang lebih besar menjadi potensial untuk terjadi. Tesis Samuel P Huntington dalam bukunya ”The Clash of Civilization and The Remaking of World Order” sejak tahun 1993 telah mengingatkan itu, yakni tentang kemungkinan benturan antar peradaban dunia di masa depan, yang antara lain meliputi budaya dan agama.
Sejarah mencatat, dari zaman ke zaman, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya melancarkan propaganda ideologi sesatnya melalui pemikiran dan pena. Namun, setiap kali ada serangan, selalu saja muncul mujahid pembela Islam yang tampil untuk melakukan perlawanan. Sebut saja Ahmad Deedat, seorang pakar Kristologi kaliber internasioal, yang mengcounter pandangan salah misionaris Kristen tentang konsep ketuhanan di dalam Bibel. Kemudian Harun Yahya (Adnan Oktar) yang banyak menulis buku tentang perlawanannya terhadap teori Evolusi Charles Darwin, termasuk membongkar dan menyerang gagasan materialisme dan ateisme. Karya-karyanya, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Di era pra kemerdekaan, Soekarno pun pernah berpolemik dengan A. Hasan (tokoh Persis) tentang Islam dan paham kebangsaan (nasionalisme). Lewat tulisan-tulisannya di Majalah Pembela Islam, A Hasan menghantam dengan keras semua pendapat Soekarno tentang nasionalisme. Seperti diketahui, Soekarno menulis artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” pada harian Suluh Indonesia Muda tahun 1926. Faham-faham itulah yang menjadi roh pergerakan di Indonesia, bahkan di Asia. Sebagai alat propaganda, Soekarno juga menerbitkan surat kabar Fikiran Rakyat, koran yang ia gunakan untuk mengemukakan gagasannya.
Yang menarik, kendati terjadi polemik antara A. Hasan dan Soekarno, namun keduanya tidak sampai terbawa dalam pergaulan sehari-hari. Mereka menganggap bahwa perbedaan pendapat dan sikap, tak harus memutuskan silaturahim. Hal itu tampak, saat Sooekarno dijebloskan oleh Belanda ke penjara Sukamiskin, Bandung, A. Hasan selalu menjenguknya sambil membawa buku-buku bacaan dan tak lupa panganan kecil untuk Bung Karno. Tak heran, bila Soekarno selalu menganggap A. Hasan tidak hanya sekadar lawan berdebat, namun juga teman berfikir dan sekaligus gurunya.
Ketika Soekarno dibuang ke Ende, Flores tahun 1933, ia bahkan melahap banyak buku keislaman, termasuk Buku The New World of Islam karya Lothrop Stoddard telah menjadi rujukan utama dalam kajian Soekarno tentang Islam dari berbagai literatur, mulai dari bahasa Belanda, Jerman hingga Prancis. Ia juga mendalami pemikiran Maulvi Muhammad Ali (Tokoh Ahmadiyah Lahore) dan Khwaja Kamaluddin, serta banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat menyurat (korespondensi) dengan sejumlah tokoh Islam seperti Mohammad Natsir (tokoh Masyumi). Soekarno menulis di Majalah Pedoman Masyarakat Medan pada 1938 yang diasuh orang Masyumi. Tulisan lain “Islam Sontoloyo” dimuat di Pandji Islam 1940.
Buku sebagai Alat Perjuangan
Tahukah, ulama terdahulu, selain mengangkat senjata, juga menjadikan pena sebagai alat perjuangannya. Itulah sebabnya tradisi keimuan ulama terdahulu adalah banyak menghasilkan karya melalui sejumlah kitab yang ditulisnya. Dalam QS. At Taubah: 122, Allah berfirman: ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Buku ternyata menjadi alat perjuangan sekaligus propaganda bagi para agen perubahan. Sebut saja Eduard Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli menulis buku Max Havelar (1860), sebuah buku yang mengandung gugatan tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa bumiputera di Hindia Belanda (Lebak).
Kemudian RA Kartini yang menulis kondisi perempuan pribumi, lalu lahirlah buku ”Habis Gelap Terbitlah Perang”. Muhammad Hatta juga banyak menulis tentang ketidakadilan sistem ekonomi, sistem pajak dan model pendidikan kolonial. Kecintaannya pada buku, sampai-sampai ia jadikan buku sebagai mas kawin ketika menikahi Rahmi ketika itu. Bahkan, saat di pembuangannya di Digul – Papua pun, Hatta ditemani buku-bukunya sebanyak 16 peti.
Seorang Adolf Hitler pun ketika berada di dalam penjara (selama tiga belas bulan), karena melakukan kudeta yang gagal, berjuang melalui tulisan. Di tangannya, lahir buku berjudul ”Mein Kampf” (Perjuanganku). Pada terbitan pertama tahun 1925, buku ini meledak di pasaran hanya dalam waktu singkat. Mein Kampf ternyata mampu mengubah Jerman yang terpuruk akibat kekalahan dalam Perang Dunia (PD) I.
Tulisan Hitler betul-betul menyihir sebagian besar masyarakat Jerman untuk bangkit dan membangun kejayaan bangsanya sebagai Third Reich (Kekaisaran Ketiga). Selama PDI II, Jerman bahkan memiliki angkatan perang yang sulit dihancurkan oleh sekutu yang mengeroyoknya.
Sayyid Quthb juga melahirkan karya besar (Tafsir Fii Zhilalil Qur’an) di dalam penjara. Namun, belakangan terdengar desakan dari negara dan kelompok Islam tertentu untuk melarang buku-buku tulisan Sayyid Qutb. Alasannya, buku-buku inilah yang menyuburkan ideologi 'terorisme' di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Dengan menghentikan cetakannya, distribusinya dan melarangnya dianggao sebuah solusi yang dianggap sangat efektif untuk mematikan ideologi 'teror'.
Bukan hanya Sayyid Quthb, pemerintah Tunisia pun mencekal semua karya Syeikh Yusuf Qaradhawi, tepatnya sejak tahun 1996. Termasuk buku-buku Hassan al Banna, Said Ramadhan al Buti dan beberapa tokoh lain. Pokoknya buku-buku karya tokoh Islam gerakan yang berhaluan kanan. Di Tunisia, misalnya, buku-buku Qaradhawi susah dicari. Tetapi, buku-buku keislaman kontemporer kekiri-kirian malah beredar luas.
Melawan dengan Buku
Belakangan, para orientalis banyak menulis buku dengan tematik Islam. Katakanlah 90% isinya bagus, tapi 10% nya racun. Itu strategi mereka untuk memasuki pemikiran yang salah dan sesat. Yang namanya orientalis mustahil menulis tentang keislaman secara objektif. Pemahaman mereka soal Islam tidak benar, dan selalu menebar racun di dalamnya. Karena itu, umat Islam perlu memiliki imunitas pemikiran. Mengingat tidak semua umat ini bisa menganalisa dan mengunyah buku-buku seperti tiu, sehingga perlu bantuan dari ulama untuk menolak dan menyaring faham-faham sesat
Menurut Penulis Islam Ustadz Hartono Ahmad Jaiz perlawanan dari para penulis dan penerbit Islam seyogianya tak kalah gencar dengan pemikir liberal dan aliran sesat lain yang kerap menyerang Islam lewat tulisan. ”Berdakwah tidak cukup lewat lisan, tapi juga dengan tulisan. Itulah manhaj dakwah yang dilakukan ulama terdahulu," kata Hartono.
Maka jadilah Mujahid Pena. Jangan anggap remeh pena, sebab ia akan mengubah dunia. ■
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!