Selasa, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Mei 2011 08:02 wib
5.866 views
Tuntutan Penjara Ustadz Ba'asyir Seumur Hidup, Jelas Rekayasa
Jakarta (voa-Islam) – Tuntutan hukuman pidana seumur hidup oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah kadzaliman dan bertentangan dengan hatinurani. Tuntutan tersebut tidak berdasarkan hukum dan fakta persidangan, melainkan atas dasar asumsi, rekayasa dan pesanan. Demikian ditegaskan Direktur Jamaah Ansharut Tauhid Media Center (JMC) Sonhadi kepada wartawan.
Dalam sidang lanjutan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kemarin, Senin (30 Mei 2011) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) membantah materi pembelaan (pledoi) Ustadz Abubakar Ba'asyir melalui repliknya sebanyak 11 halaman. Dalam persidangan itu, Jaksa hanya membahas satu poin utama yakni yang menguatkan tuntutan jaksa soal video rekaman pelatihan militer di Aceh.
"Hanya satu yang patut kami tanggapi yakni saol video yang dikatakan sudah beredar dimasyarakat. Menurut saksi Abdul Haris, video tersebut diputar awal Februari 2010. Begitu juga saksi Soleh, mengetahui keberadaan televisi yang dipinjam untuk menonton video pelatihan militer di Aceh, di kantor JAT di Jakarta," kata tim jaksa yang di ketuai Andi Muhamad Taufik.
Fakta tersebut, kata jaksa, membuat keyakinan bahwa Ba'asyir telah mengetahui pelatihan militer tersebut. Jaksa membantah Ustadz Abu yang dalam pledoinya, mengatakan, ia mengetahui pelatihan militer dari media massa setelah pelatihan tersebut dilakukan. "Menurut saksi Abdul Haris, video tersebut telah ditonton bersama di Narogong Bekasi. Video itu juga telah di-upload ke internet pada Maret 2010," tandas jaksa.
Jaksa meminta majelis hakim untuk menolak isi pledoi Ba'asyir yang dibacakan 25 Mei lalu. Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan vonis seperti tercantum dalam tuntutan jaksa, hukuman seumur hidup. Sidang rencanya akan dilanjutkan Senin pekan depan untuk mendengar duplik Ba'asyir. Duplik merupakan sesi terakhir sebelum hakim menjatuhkan vonis kepada Ba'asyir.
Sidang Rekayasa
Dalam sidang sebelumnya (25 Mei 2011), Tim Advokat Abu Bakar Ba’asyir (TAABB) saat pembacaan Nota Pembelaan di PN Jakarta Selatan menilai Majelis Hakim tidak fair dalam memimpin persidangan, yakni ketika Majelis Hakim mengabulkan permohonan JPU untuk pemeriksaan saksi secara teleconference. JPU berdalih, teleconference tersebut dalam rangka perlindungan saksi.
“Sejak awal, Majelis sudah menentukan sikapnya untuk mengabulkan teleconference, sehingga apapun keberatan dari penasehat hukum tidak akan membawa pengaruh pada penetapan Majelis,” kata tim advokat.
Seperti diketahui, JPU menggunakan Pasal 173 KUHP, yaitu mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakwa. Tim Advokat Abu Bakar Ba’asyir kecewa dengan teleconference tersebut. Apalagi ketika terdakwa meninggalkan persidangan, ke 16 saksi tetap diperiksa secara teleconference. Seharusnya, Majelis bisa menghentikan teleconference dan memanggil para saksi untuk hadir di persidangan.
Dari segi pembuktian, persidangan ini menjadi tidak sah, dan tidak mempunyai legitimasi karena tidak terpenuhinua minimal alat bukti yang diisyaratan oleh KUHAP. Terlebih alat bukti saksi dari JPU hanya diperoleh dari kesaksian secara teleconference. Dengan demikian, teleconference adalah pelanggaran terhadap ketentuan KUHAP, yakni Pasal 185 (1) yang menjelaskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Beberapa penasihat Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengaku pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa Majelis Hakim telah menyampaikan Penetapan, perihal permohonan pemeriksaan saksi yang dipisahkan dengan terdakwa (teleconference) sudah dalam bentuk ketikan rapi pada saat JPU menyampaikan permohonan pemeriksaan melalui teleconference tersebut. Ini menunjukkan, telah ada pembicaraan di luar sidang antara JPU dengan Majelis Hakim tentang masalah teleconference yang secara diam-diam tanpa sepengetahuan terdakwa atau penasihat hukumnya. Cara-cara bersidang seperti ini jelas melanggar azas dalam Hukum Acara Pidana.
Konyolnya, ada beberapa saksi yang meminta untuk diperiksa secara langsung diruang sidang pengadilan, akan tetapi, anehnya Majelis Hakim menolak dan tetap menghendaki mereka memberi keterangan melalui teleconference.
Pelanggaran cara bersidang itulah yang kemudian dilaporkan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir da penasihat hukumnya kepada Komisi Yudisial RI atas sikap Majelis Hakim yang dinilai tidak lagi independen dan impartial dalam menyikapi perkara ini.
Dakwaan Tidak Terbukti
Masih dalam nota Pembelaan Tim Advokasi Abu Bakar Ba’asyir. Berdasarkan fakta persidangan, JPU sendiri telah menyatakan bahwa Ustadz Ba’asyir tidak terbukti terlibat maupun mengetahui akan pengadaan atau pembelian senjata api berikut amunisinya yang dipergunakan dalam pelatihan militer di Jalin Jantho Aceh. Namun aneh bin ajaib, JPU masih saja menuntut terdakwa bersalah.
Lain persoalan, apabila fakta di persidangan terungkap bahwa terdakwa tidak terlibat, tetapi terdakwa mengetahui akan pengadaan atau pembelian senajata berikut amunisinya yang digunakan untuk pelatihan militer du Aceh. Maka terdakwa dapat dijerat dakwaan lebih subsidair. Namun, karena faktanya terdakwa tidak terlibat dan tidak mengetahui, maka dengan begitu, JPU telah membabi buta menuntut terdakwa bersalah dengan tuntutan yang sangat tinggi, yaitu seumur hidup. Seharusnya JPU menuntut terdakwa bebas dari segala dakwaan. ● Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!