Kamis, 3 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Mei 2011 08:04 wib
11.842 views
Komunitas Jurnalis Amerika Berdialog dengan Habib Rizieq
Jakarta (voa-Islam) – Kemarin siang hingga sore hari, Rabu (11 Mei 2011) di Kantor ICIS (International Conference of Islamic Scholars), Jl. Dempo No. 54, Matraman, Jakarta Pusat, sejumlah jurnalis media asing asal Amerika Serikat yang tergabung dalam International Reporting Program melakukan pertemuan dan dialog dengan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. A. Hasyim Muzadi -- yang juga Ketua Umum ICIS – dan sejumlah pimpinan ormas Islam lainnya, seperti Habib Rizieq Syihab (Ketua Umum FPI) dan Ismail Yusanto (Jubir HTI), serta Abdul Mu'ti (mewakili Muhammadiyah).
Banyak hal yang ditanyakan oleh komunitas jurnalis asal Amerika Serikat itu., mulai dari terorisme, radikalisme, Negara Islam, Usamah bin Ladin, Abu Bakar Baa’syir, hingga gerakan FPI itu sendiri.
Perlu diketahui, International Reporting Program adalah sebuah kegiatan yang melibatkan para jurnalis di AS untuk mendapatkan informasi soal Islam di Indonesia secara langsung dari narasumbernya. Dengan demikian, para jurnalis asing ini bisa mendapatkan informasi secara konprehensif ihwal Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Terlihat, para jurnalis itu sangat antusias dengan keramah-tamahan Habib Rizieq yang sangat terbuka dan lugas menjawab seluruh pertanyaan.
Ketika mereka bertanya soal negara Islam, Habib Rizieq menjelaskan, sebelum indonesia merdeka, yakni sejak bangsa ini dijajah, lalu merdeka hingga saat ini, Indonesia sudah merupakan negara Islam. FPI sebagai organisasi Islam Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) atau sunni berpegang pada defenisi negara Islam yang berada pada kitab-kitab kuning. Di dalam pemahaman Aswaja disebutkan, setiap negeri yang dikuasai oleh umat Islam, berpenduduk mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, lalu umat Islam dengan bebas melaknakan ibadahnya, dan sebagian besar syariatnya bisa dijalankan syariatnya, maka itu sudah dikategorikan sebagai negara Islam.
“Jadi bagi FPI, tidak perlu lagi mendirikan negara Islam Indonesia, karena negara ini adalah negara Islam yang bernama Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, berbendera Merah Putih, yang sekarang ini dipimpin oleh Presiden SBY. Terpenting, sebagian besar hukum Islam sudah berjalan di republik ini, dan itu sudah bisa dibuktikan secara ilmiah,” tegas Habib Rizieq.
Penjelasan Hasyim Muzadi
Sementara itu dikatakan, KH.Hasyim Muzadi, NU dan Muhammadiyah bersama organisasi yang lain, turut terlibat merumuskan dasar-dasar negara dan konstitusi negara ini. Bersama dengan kelompok nasionalis Indonsia yang dipimpin oleh presiden pertama Indonesia Soekarno, kemudian diputuskanlah ideologi negara yang berdasarkan Pancasila yang konstitusinya UUD 45. Lalu UUD ini dirinci dalam peraturan peundangan yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.
“Saya ingin menyampaikan kenapa negara ini berdasarkan Pancasila? karena Indonesia terdiri dari beberapa agama dan kultur, sehingga kalau dilakukan dengan menggunakan Islam sebagai dasar negara, maka tidak akan terwujud Republik Indonesia,” kata KH Hasyim.
Oleh karenanya, lanjut kiai Hasyim, dicarilah formula yang dapat diterima oleh semua agama yang dikenal dengan Pancasila. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, Maknanya, semua beragama pasti berketuhanan. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu juga merupakan ajaran semua agama, termasuk ajaran Islam. Ketiga, Persatuan Indonesia. Yang kita bangun adalah RI. Secara geografis, masyarakat RI yang berada di bagian Indonesia sebelah barat dihuni oleh orang-orang Islam, sedangkan yang di sebelah timur dihuni oleh orang-orang Kristen. Ketika Islam digunakan sebagai dasar negara, pasti terpecah, tidak mungkin ada persatuan Indonesia.
Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan Indonesia. Ini berarti wujud demokrasi. Namun demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi di Barat. Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang tumbuh dari nilai agama dan etnis yang ada di Indonesia. Jadi demokrasi adalah potret dari Kebhinekaan, tapi yang disatukan menjadi satu.
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh trakyat Indonesia. Keadilan itu meliputi keadilan di bidang hukum, ekonomi, politik, dan hak warga negara yang berbeda-beda. Dari sila pertama hingga kelima, ini semua adalah Islami. Nilai-nilai dari formula dasar negara ini, disahkan dan diterima oleh tokoh Islam Islam ketika itu, seperti : KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, Cokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan para pendiri republik Indonesia lainnya.
Selanjutnya, dasar negara Pancasila ini dikonstruksikan di dalam hukum konstitusi, UUD 45 terdiri dari muqaddimah dan batang tubuh UU. Nah muqaddimah ini isinya terdiri dari nilai-nilai universalisme, yakni bagaimana posisi Indonesia didalam kemanusiaan, yang secara global diwujudkan dalam kebersamaan itu.
“Pernah ada perdebatan, kenapa Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak mendirikan negara Islam? Yang jelas, NU dan Muhammadiyah tetap mempertahankan Pancasila. Pernah ada usaha-usaha untuk formalisasi state, tapi tak pernah berhasil. Sejarah mencatat, negara ini akhirnya (tahun 1959) dikembalikan pada Pancasila dan UUD 1945.
Kiai Hasyim Muzadi menjelaskan, semua umat Islam membagi perjuangan Islam menjadi dua: yang tekstual dan syariah berada pada NGO, sedangkan yang masuk pada negara, masuk dalam konstruk UUD 45 itu.
"Jadi ada dua jalur, misalnya NU, MUhammadiyah HTI, FPI, dipersilahkan mengguanakn amaliyah dan syariah menurut golongannya, tapi yang masuk pada state, harus pada konstruksi UUD yang bisa diterima oleh seluruh warga negara Indonesia.”
Soal Ustadz Abu Bakar Baasyir
Perjuangan menegakkan syariat Islam di negeri ini, seperti yang diupayakan Ustadz Abu Bakar Baasyir, kata Muzadi, termasuk upaya Islamisasi formal atau formalisasi Islam konstitusional. Islam sebenarnya bisa masuk pada konstitusi itu, tapi nilai-nilainya, seperti UU anti korupsi, UU tentang ekonomi dan sebagainya yang bisa diterima. Tapi Ustadz Baasyir menghendaki Pancasila diganti oleh formal Islam, ini tentu sulit diterima oleh yang lain. Di Indonesia, belum ada ceritanya upaya gerakan seperti ini berhasil. Yang jelas, sempat ada konflik di masyarakat tanpa hasil yang jelas.
Mengenai Usamah bin Ladin, informasi yang masuk ke Indonesia, begitu simpangsiur. Dari pihak kedubes Iran, pernah memberi informasi, bahwa Usamah sudah mati sebelumnya, sebelum ada serangan itu. Lalu, ada juga teman-teman yang masih meragukan kematiannya. Bagi Indonesia, Usamah mati atau tidak mati, itu tidak penting.
Adapun kekerasan-kekerasan di dunia, dijelaskan Kiai Hasyim, terdiri dari berbagai sebab. Ada kekerasan yang karena perang kemerdekaan, seperti Palestina melawan Israel. Pasti disitu ada perang dan teror. Lalu ada juga teror yang semata-mata tidak ada hubungannya dengan Palestina dan Israel, tapi untuk melawan AS. Kemudian, ada juga teror lokal di masing-masing negara, yang tidak setuju dengan konstitusi negara bersangkutan.
Teror di Indonesia sendiri, baru terjadi setelah 12 tahun terakhir belakangan ini. Sebelumnya tidak ada kekerasan dan teror. Setelah reformasi, keterbukaan Indonesia mengakibatkan dua hal: Pertama, demokratisasi. Kedua, masuknya pengaruh-pengaruh global di Indonesia, baik dari Barat maupun di Timur Tengah. Akhirnya saling bertabrakan sebagai ring dari pertentangan itu.● Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!