Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Januari 2011 07:15 wib
16.988 views
Insiden Ciketing Dipicu Pemalsuan Data dan Kasus Suap Pendirian Gereja HKBP
BEKASI (voa-islam.com) – Konflik jemaat gereja ilegal HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Mustika Jaya Bekasi dengan warga setempat, melahirkan insiden Ciketing 12 September 2010 dengan tertusuknya jemaat HKBP Hasian Sihombing dan beberapa korban luka warga Muslim.
Momen kekisruhan tersebut justru dimanfaatkan pihak HKBP dan para liberalis untuk mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Pendeta Bonar Napitupulu, Ephorus HKBP, beralasan bahwa PBM tersebut tidak senapas dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pendeta Bonar mengatakan hal itu secara khusus kepada pers di Jakarta, Selasa (13/9/2010).
Pernyataan Bonar itu mengada-ada dan tidak konsisten, karena tuntutan pencabutan PBM itu memang sudah dirancang sejak awal, jauh sebelum pecahnya insiden Ciketing.
Buktinya, sebulan sebelumnya, HKBP sudah memproklamirkan penolakan PBM dalam acara kebaktian terbuka yang dibungkus dengan tema ‘Ibadah Syukur Perayaan Kemerdekaan RI ke-65,’ di stadion Patriot Bekasi, Jawa Barat (29/8/2010). Di hadapan sekitar seribu jemaat HKBP se-Jabodetabek itu, Sekjen HKBP Pdt Ramlan Hutahaean berkhotbah menyoal PBM. Menurutnya, campur tangan pemerintah dalam menentukan proses perizinan rumah ibadah ini tidak sesuai bagi umat Kristiani dan harus dicabut.
Naifnya, acara kontra PBM ini dihadiri oleh Ketua Umum PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia), Pendeta Andreas Yewangoe. Padahal, PGI adalah institusi yang ikut merancang lahirnya PBM.
Sebagaimana dimaklumi, PBM itu disusun dan disepakati oleh berbagai institusi agama yang diakui di Indonesia, termasuk Kristen Protestan yang diwakili oleh PGI selaku induknya. Karena HKBP adalah salah satu anggota PGI, maka penolakan HKBP terhadap PBM justru memamerkan perpecahan internal dalam tubuh kekristenan, antara HKBP dengan PGI.
Di balik tuntutan pencabutan PBM itu, sebenarnya HKBP frustasi dengan kekurangan internal yang tidak bisa memenuhi syarat-syarat pendirian gereja sebagaimana ditentukan dalam PBM.
HKBP mengeksploitasi insiden penusukan dan bentrokan fisik HKBP dengan warga setempat, tanpa menjelaskan fakta-fakta pemicu konflik kepada publik. Misalnya, manipulasi tanda tangan warga dalam proses perizinan legalisasi pembangunan gereja di lahan kosong kampung Ciketing Asem (Cikeas) Mustikajaya.
Contohnya, dalam surat pernyataan persetujuan warga terdapat tanda tangan Banah binti Bandul. Dalam KTP bernomor 3275.1153016.00001, nenek yang tinggal di Ciketing Asem RT 5/RW 6 ini tidak bisa membuat tanda tangan, sehingga ia hanya membubuhkan cap jempol. Anehnya, dalam surat pernyataan persetujuan warga tercantum tanda tangan nenek Banah. Setelah diselidiki oleh Forum Umat Islam Mustika Jaya (FUIM), ternyata tanda tangan dalam surat pernyataan tersebut dipalsukan.
Tanda tangan Siti Jubaidah, warga Mustika Jaya RT 03/RW 06 pun tidak beres. Tanda tangan dalam surat pernyataan persetujuan gereja jauh melenceng dari tanda tangan asli dalam KTP bernomor 10.5501.631274.1002.
Warga Muslim lainnya yang tanda tangan KTP-nya berbeda dengan surat pernyataan persetujuan gereja HKBP, antara lain: Pak Milih (54 tahun), Sinan (35 tahun), Arief (28 tahun), Niden (38 tahun), Sarwono (34 tahun), Manih (47 tahun), Kumin (60 tahun), Karsin (45 tahun), Didin (31 tahun), Nurjayadi (47 tahun), dll.
Buntut dari manipulasi dalam proses pendirian gereja HKBP tersebut, Nicing (Ketua RT 03/RW 06) dan Rimin Sairi (Ketua RW 06) kelurahan Mustika Jaya Bekasi membuat pernyataan tertulis, bahwa dalam berkas-berkas permohonan perizinan gereja HKBP itu terdapat pemalsuan data identitas dan pemalsuan tanda tangan warga. Dalam surat berstempel RT dan RW tertanggal 1 Agustus 2010 itu dilampirkan surat pernyataan ratusan warga Mustika Jaya yang menolak berdirinya gereja HKBP dengan latar belakang pemalsuan data dan penyuapan. Uang suap yang dikucurkan HKBP untuk satu buah foto copy KTP berkisar dari Rp 100.000 hingga 1 juta rupiah.
Demi mendapatkan izin gereja sesuai aturan PBM, dilakukanlah transaksi suap-menyuap, lalu memalsukan identitas dan tanda tangan warga. Setelah terbongkar kedoknya, warga pun mencabut pernyataan persetujuan, hingga kandaslah izin gereja. Setelah gagal mendapat izin sesuai peraturan PBM, kini HKBP menuntut pencabutan PBM. [Ahmad Hizbullah MAG/Suara Islam]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!