Jum'at, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Desember 2010 14:00 wib
13.156 views
Pornografi Merusak Moral dan Otak, tapi Sanksi Hukumnya Terlalu Ringan
JAKARTA (voa-islam.com) – Meski pornografi sangat berbahaya dan merusak moral bangsa, tapi sanksi hukuman yang diatur dalam UU Pornografi terlalu ringan. Media liberal pun kerap mendukung pornografi.
Bak virus yang mematikan, ”produk” pornografi kini tak sulit lagi diakses. Orang tidak harus pergi ke Kota atau ke Glodok untuk membeli DVD ”bokep”. Dari telepon seluler, anak SD pun sudah lihai mendownload foto dan video bermuatan porno. Itulah sebabnya, perlu payung atau perlindungan hukum untuk melindungi masyarakat dari virus berbahaya tersebut.
Menurut Juniwati T Masjcun Sofwan, pornografi itu jelas merusak moral dan otak. Terlebih, pornografi kini mengancam anak-anak SD. Karena itu UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan pers.
”Saat ini, kita mendapat tantangan dari pers liberal itu sendiri yang kerap mendukung pornografi dengan dalih membelenggu pers. Itulah akibat demokrasi kita sudah liberal, sudah menjadi tujuan, bukan alat. Melanggar asusila pun dianggap berdemokrasi. Jadi, kebebasan pers harus bertanggungjawab, karena pornografi jelas mengancam generasi muda,” ujarnya kepada voa-islam.com di sela-sela Workshop ”Kerusakan Otak Akibat Pornografi,” di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta Kamis (23/12/2010).
....pers liberal itu sendiri yang kerap mendukung pornografi dengan dalih membelenggu pers....
Bila mengetahui tujuan UU Pornografi itu sebetulnya mulia, di antaranya: mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
UU itu juga memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat, mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Juniwati menjelaskan, yang dimaksud pornografi (menurut UU No 44 tahun 2008 pasal 1) adalah berupa gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukkan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Adapun yang dimaksud jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perorangan atau korporasi melalui pertunjukkan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Lebih lanjut, Juniwati juga memaparkan larangan dan batasan pornografi. Dalam pasal 4 disebutkan, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi (onani), ketelanjangan atau tampilan yang mengesakan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak.
Larangan lainnya adalah meminjamkan atau mengunduh pornografi (pasal 5), memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi (pasal 6), mendanai atau memfasilitasi pornografi (pasal 7), memberi persetujuan atas dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (pasal 8), larangan menjadikan orang lain sebagai objek atau model pornografi (pasal 9), dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan yang bermuatan pornografi.
Juniwati menyesalkan sanksi hukuman yang diatur dalam UU Pornografi, karena dianggap terlalu ringan. Dalam Bab VII UU No 44/2008 pasal 29 tentang ketentuan pidana, disebutkan pelaku pornografi dikenakan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun. Atau denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 6 miliar. ”Sanksi yang dijatuhkan seharusnya seumur hidup,” tegas Juni.
....sanksi hukuman yang diatur dalam UU Pornografi terlalu ringan. Untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pornografi, pemerintah harus melibatkan masyarakat....
Untuk mencegah dan menanggulangi bahaya pornografi, pemerintah harus melibatkan masyarakat. Begitu juga sebaliknya. ”Jika masyarakat melaporkan pengaduan sebuah warnet yang menyediakan akses pornografi pada aparat, tapi diabaikan, ya tidak ada gunanya UU Pornografi itu,” kata Juni menyayangkan. [taz/desastian]
Baca artikel terkait:
- Inilah Cara Blokir Situs Porno: Singkat, Mudah dan Gampang.
- Pornografi Merusak Fungsi Otak dan Seksual. Inilah Cara Mencegahnya.
- Pornografi Merusak Moral dan Otak, tapi Sanksi Hukumnya Terlalu Ringan.
dengan risiko ketergantungan yang mengarah pada cyber sex
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!