Jakarta (voa-islam.com) — Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Junto menilai anggaran belanja baju Presiden yang nyaris mencapai Rp 1 miliar seperti yang dilansir LSM Fitra tidaklah wajar. Menurut dia, Rp 80 juta saja sudah cukup untuk Presiden belanja pakaian sepanjang masa jabatannya.
..."Itu sudah bikin satu pabrik baju. Presiden sedang bisnis pakaian dan atau apa? Seharusnya Presiden jangan jadi salah satu pelaku pemborosan uang negara,"...
"Itu sudah bikin satu pabrik baju. Presiden sedang bisnis pakaian dan atau apa? Seharusnya Presiden jangan jadi salah satu pelaku pemborosan uang negara," katanya seusai menghadiri diskusi DPD di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (24/9/2010).
Jika pun memang ada jatah anggaran belanja pakaian sedemikian besar, kata Emerson, Presiden yang katanya prorakyat seyogianya bisa mengembalikan jika dirasa anggaran tersebut terlalu besar. "Presiden kan harusnya jadi panutan mendorong efisensi penggunaan anggaran," tambahnya.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kata Emerson, jika Presiden menggunakan jatah belanja pakaiannya untuk membeli produk luar negeri sehingga total belanjanya sedemikian tinggi. "Kita khawatir yang dibeli Presiden bukan produk dalam negeri, harganya jadi lebih mahal," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, lembaga swadaya masyarakat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyampaikan, anggaran pakaian dinas, furniture, dan rumah dinas Presiden mencapai puluhan miliar. Rinciannya, antara lain, alokasi pembelian baju Presiden Rp 839 juta, furnitur rumah dinas Rp 42 miliar, dan pengamanan VVIP Presiden Rp 52 miliar.
Tak Sesuai dengan Kampanye Hemat SBY
Sementara itu, peneliti Hukum dan Politik Anggaran Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam menilai hal ini dinilai tidak sesuai dengan kampanye SBY yang selalu mengajarkan masyarakat untuk hidup hemat dan sederhana.
..."Rakyat diserukan untuk hidup hemat sementara presidennya sendiri tidak hidup hemat dan sederhana. Bagaimana ini?...
"Rakyat diserukan untuk hidup hemat sementara presidennya sendiri tidak hidup hemat dan sederhana. Bagaimana ini?" ujar peneliti Hukum dan Politik Anggaran Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, Jumat (24/9/2010).
Meskipun presiden merupakan simbol kepala negara rasanya anggaran yang diberikan pada SBY terlalu besar. Anggaran itu justru menunjukkan presiden ingin memperkaya dirinya sendiri.
"Cara pandang yang salah kalau presiden sebagai simbol negara harus diberi anggaran dengan segitu banyaknya. Harusnya kalau presidennya makmur, masyarakatnya juga dong. Tapi ini kan nggak," kata Roy.
Anggaran dengan nilai fantasi ini bagi Roy juga tidak sesuai dengan kondisi ekonomi bangsa yang saat ini justru sedang memprihatinkan. "Terbukti sekali pemimpin kita sensitifitasnya masih sangat rendah," imbuh Roy.
Roy berharap kepada seluruh pejabat pemerintah, agar tidak menyalahkan kepercayaan yang rakyat berikan. Jika memang ada anggaran negara untuk memfasilitasi para pejabat tersebut, sebaiknya mereka menggunakan angggaran pribadi bukan milik negara.
"60 Persen anggaran kita itu untuk kepentingan birokrasi. Maka itu saya harap baik presiden maupun pejabat negara lainnya harus lebih efisien dalam hal budgeting," jelasnya.
"Ketika substansi anggaran itu tidak bersinggungan dengan negara, sebaiknya semua pejabat menggunakan uang sendiri, seperti baju dan furniture. Jangan karena mereka pejabat semua menjadi beban rakyat," tegas Roy.
Di lain tempat, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi membantah soal anggaran ini. Menurut dia, Presiden sama sekali tidak pernah meminta negara menganggarkan hal yang aneh-aneh untuk kepentingan pribadinya selama menjabat sebagai kepala negara hingga jabatannya pada kali kedua ini, apalagi untuk alokasi dana bagi pakaian dan furniture rumah dinasnya.
"Mana mungkin Presiden meminta-minta anggaran untuk pakaian, furniture, dan lain-lainnya? Satu sen pun Presiden tidak pernah memakainya untuk kepentingan pribadinya. Jadi, data lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu sama sekali tidak benar," papar Sudi. (LieM/dbs)