Rabu, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 2 Juni 2010 06:34 wib
10.217 views
Tips Sehat Juwariyah Hingga Usia 130 Tahun: Tawakal, Doa dan Tahajud
JEMBER (voa-islam.com) - Di usia 130 tahun, Juwariyah, wanita tertua di Jawa Timur ini masih kuat ingatannya. Resepnya, pasrah terhadap kehendak Allah, rajin shalat malam dan mendoakan anak-anak dan cucunya.
Dalam usianya itu, wajah Juwariyah jernih. Tatapan matanya tak lamur. Pipinya kendur, tapi giginya tak semua tanggal. Ia tak ingat kapan persisnya dilahirkan, namun ia masih bisa mengingat: "Saya hidup di masa Ratu Wilhelmina dan Juliana."
Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau berkuasa di Kerajaan Belanda sejak 1890 hingga 1948. Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-NassaU, anak Wilhelmina, menggantikannya pada tahun 1947.
"Bapak saya Bahrum," kata Juwariyah dalam bahasa Madura. Namun ia berusaha mengingat keras nama ibunya. Juwariyah tak pikun, dan mengurut nama saudara-saudaranya sembari menghitung dengan jemarinya. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara.
Juwariyah dilahirkan di Pacitan, namun sudah lama tinggal di Dusun Krajan Desa Karangsono Kecamatan Bangsalsari. Bersama suaminya, Siraj, ia berdagang untuk menyambung hidup, di sebuah masa di mana 'tuan-tuan' berkuasa. Demikianlah Juwariyah menyebut para aparatur kolonial Belanda di masa itu.
Tuan-tuan itu berbuat semaunya. "Sawanun mati di dekat kebun bambu sana. Dibedil sama Tuan." Juwariyah mengenang salah satu tetangganya.
'Tuan-tuan' itu pergi, dan datanglah Nippon. Orang-orang bertubuh pendek seperti dirinya. Dengan bedil pula, Nippon memaksa warga desa menjadi romusha. Tenaga rodi. Juwariyah tak bisa menakar, mana yang lebih kejam antara Nippon dengan Tuan-Tuan. Namun para serdadu Nippon itu memang benar-benar mudah naik darah, bahkan oleh siulan kentut.
"Nenek saya ini pernah bilang, orang-orang yang antre bayaran kerja tak akan dibayar kalau kentut," Munah, cucu Juwariyah, bercerita. Juwariyah ikut tertawa, saat Munah menceritakan itu kembali.
Juwariyah melewati masa-masa kelam di Republik ini dengan selamat, dan merasakan masa-masa enam rezim di republik ini, di mana Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono bergantian jadi presiden. Ia selalu ikut pemilu dengan patuh, walau tak selalu tahu benar, siapa dan partai apa yang dipilihnya. Mungkin ia tak peduli, entahlah. Ia tak mengatakannya. Namun, ia tak tahu siapa presiden Indonesia hari ini. "Kalau Bung Karno, tahu."
Hari ini, usianya sudah 130 tahun. Bahagiakah Juwariyah karena panjang umur? Ia meneteskan air mata menyaksikan suaminya meninggal lebih dulu, tiga puluh lima tahun silam. Ia menyaksikan satu demi satu saudaranya mati, lima anaknya pergi, dan kawan-kawannya tak ada lagi.
...Juwariyah tak pernah sakit parah. Saat orang-orang kaya itu dilarikan ke klinik luar negeri, ia hanya diantarkan ke puskesmas oleh cucunya. Jantungnya masih kuat."...
Juwariyah tak pernah sakit parah. Saat orang-orang kaya itu dilarikan ke klinik luar negeri, ia hanya diantarkan ke puskesmas oleh cucunya. Kadang kepalanya hanya pusing, kadang pinggangnya sakit. Mungkin encok. Cucunya cemas, dan menangis, Juwariyah akan pergi sebentar lagi. Namun sang perawat klinik hanya tersenyum. "Kenapa menangis? Jantungnya masih kuat."
Seorang pasien dengan nada guyonan, mungkin kagum, mungkin juga iri, lantas berceletuk: "Mungkin Malaikat lupa, jadi nyawanya tak dicabut."
"Saya apa kata Yang Kuasa. Kalau saya minum obat (maksudnya, bunuh diri minum racun, red.) lalu mati, nanti saya berdosa."
Juwariyah hanya menjalani hidup sederhana dan menerima apa adanya. Para tetangga masih memintanya untuk memijat anak-anak mereka yang sakit. Tangan dan jari jemarinya tak sekuat dulu. Namun, para tetangga itu mengharapkan doa dari perempuan tua yang menjalani hari-harinya dengan zuhud. Mereka memberikan beberapa ribu perak sebagai imbalan. Hari ini, ia menunjukkan selembar uang lima ribuan dan selembar sepuluh ribuan yang disimpannya di secarik kain yang dibuntal dan diikatkan di pinggang.
Juwariyah mencintai malam dibanding siang. Tengah malam, ia terjaga, menuju ke bilik mandi yang hanya ditutupi dengan kain kumal. Ia berdoa menyebut nama Allah, dan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya. Lalu, ia menunaikan shalat malam. Sendirian. Doanya terdengar keras di keheningan: doa untuk anak-anak dan cucunya.
...Juwariyah mencintai malam dibanding siang. Tengah malam, ia terjaga, mandi lalu menunaikan shalat malam, dan berdoa untuk anak-anak dan cucunya....
Dalam sunyi, Juwariyah pernah tergoda untuk bertanya: "Kenapa saya masih dipelihara oleh Allah? Kenapa saya belum diambil."
Tak ada yang pernah tahu jawabnya tentu saja. Namun ia berbaik sangka: mungkin Tuhan memang menakdirkannya untuk menyaksikan zaman yang berubah. Ia teringat ucapan sang suami kepadanya: "Kelak kamu akan hidup di masa di mana ada suara tapi tak ada orangnya."
Juwariyah tak tahu apa yang dimaksud sang suami. Namun hari ini, kita tahu, apa yang dimaksudkan sang suami: radio. Dan, mungkin yang tak terpikir oleh sang suami: telepon seluler. [taz/beritajatim]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!