Survei: 37 Persen remaja Yahudi AS Bersimpati Pada HamasSabtu, 23 Nov 2024 20:25 |
SUMENEP (voa-islam.com) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumenep K. Syafraji mendukung jika pemerintah kabupaten akan membuat peraturan darah (perda) tentang pengemis. Hal itu akan sangat berguna dalam rangka penataan dan pengaturan pengemis yang belakangan terus menjadi sorotan.
Syafraji menjelaskan, perda pengemis sebagai langkah untuk penanganan pengemis yang ada, sehingga tidak liar. Sebab, sambungnya, akhir-akhir ini banyak orang yang meminta-minta hanya untuk memperkaya diri.
Dia mencontohkan, banyak orang yang meminta dengan memakai mobil pikap dan ternyata hasil yang didapat bukan untuk kepentingan umum. Tetapi malah dibagi-bagi. "Siapa tahu dengan perda hal itu bisa diminimalisasi, karena itu tidak baik," terangnya.
Dalam pandangan MUI, pengemis perlu diatur lantaran dalam praktiknya bias. Untuk itu, Syafraji bahkan mengategorikan pengemis ke dalam dua hal. Yakni, pengemis yang halal, merujuk pada kenyataan mereka betul-betul tidak mampu secara ekonomis. Dan, pihak tetangga mengiyakan kondisi tersebut. Artinya, pekerjaan mengemis dilaksanakan karena faktor ekonomi yang tidak mencukupi.
"Banyak orang yang meminta dengan memakai mobil pick up dan ternyata hasil yang didapat bukan untuk kepentingan umum, tetapi malah dibagi-bagi. "Siapa tahu dengan perda hal itu bisa diminimalisasi, karena itu tidak baik," terang Syafraji.
Sedangkan pengemis yang dilarang atau diharamkan adalah pengemis yang menurut pandangan agama mampu untuk mencukupi kehidupan keluarganya, namun masih tetap 'berpraktik'. Atau, malah menjadi komoditas bisnis untuk kepentingan pribadi. "Yang seperti ini harus dilarang, karena cenderung mendekati penipuan," katanya.
Untuk itu, MUI telah mengirim surat edaran ke semua pihak -termasuk bupati, DPRD, camat dan lembaga lain, yang memiliki keterkaitan dengan masalah pengemis. Dalam surat tersebut, MUI mengklasifikasikan pengemis dalam dua macam, yakni pengemis yang dibolehkan (halal) dengan pengemis yang tidak diperbolehkan (haram).
Sayangnya, sikap MUI belum sepenuhnya mendapat respons. Sepertinya, MUI harus menunggu lama rampungnya perda pengemis. Pasalnya, hingga kini, DPRD Sumenep masih belum 'melirik' aturan tersebut.
Ketua Komis A DPRD Sumenep Abrori mengatakan, inisiatif diadakannya perda larangan mengemis itu bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Meski begitu, perda bukanlah satu-satunya solusi untuk meminimalisasi angka kemiskinan.
Karena itulah, komisi A masih mencari solusi terbaik untuk meminimalkan angka kemiskinan dan maraknya pengemis. "Jika ada solusi lain mengenai persoalan itu, kenapa harus dibuat perda," kata anggota DPRD asal Fraksi PKB itu.
Sebab, menurut Abrory, adanya perda dinilai normatif dan memerlukan pengawasan. Menurutnya, jika perda ini dibuat dipastikan memerlukan tim yang bertugas mengawasi pengemis. Misalnya, satuan polisi pamong praja (satpol PP).
Kapan perda larangan mengemis akan dibuat? Abrory menjelaskan, pihaknya masih mencari tahu dahulu persoalan sebenarnya di lapangan. Kemudian, akan dibicarakan di internal komisi A.
Di samping itu, terang Abrory, sebelum perda dirancang, pihaknya akan mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk membicarakan persoalan tersebut. Sehingga, dengan melibatkan masyarakat akan diketahui sejauh mana kepentingannya terhadap perda.
"Jika perda tersebut tidak akan membawa dampak terhadap menurunnya angka kemiskinan dan mengurangi pengemis, kenapa harus diperdakan," terang Abrory kemarin siang.
Namun, kata Abrory, upaya mengurangi angka kemiskinan dan pengemis perlu dilakukan melalui penyadaran. Misalnya, penyuluhan atau pelatihan ketenagakerjaan. Menurutnya, jika warga sudah sadar dengan sendirinya, sejumlah pengemis akan berhenti beroperasi.
"Jika perda tersebut tidak akan membawa dampak terhadap menurunnya angka kemiskinan dan mengurangi pengemis, kenapa harus diperdakan," terang Abrory.
"Selama masih ada solusi yang lebih baik dan dinilai efektif untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengemis tidak usah diperdakan. Sementara ini, kami masih mencari tahu apakah perda menjadi solusi terbaik atau tidak," pungkasnya.
Perda Pengemis Dinilai Bukan Solusi Tepat
Pola penertiban pengemis yang diupayakan melalui peraturan daerah (perda) yang diusulkan berbagai kalangan mendapat sorotan pengamat sosial. Rencana pengaturan tersebut dinilai bukan satu-satunya jalan untuk menertibkan pengemis.
Moh. Ali Homaidi, salah satu peneliti pengemis di Madura yang juga staf dosen pengajar di STAIN Pamekasan menyambut baik upaya penertiban pengemis di Sumenep. "Langkah itu bisa dijadikan sebagai shock therapy bagi para pengemis yang banyak berkeliaran," katanya kemarin (13/12).
Hanya, sambung Malhum-panggilan Moh. Ali Homaidi, pihak terkait juga harus mempertimbangkan hak asasi manusia (human right). Sebab, tidak ada aturan yang membatasi ataupun melarang seseorang untuk bersedekah kepada orang lain.
"Siapa pun berhak meminta sedekah, tapi hak kita juga untuk memberi. Jadi, perda bukan solusi yang tepat untuk menertibkan pengemis. Perda menurut saya masih merupakan langkah yang dilematis," ujarnya.
"Siapa pun berhak meminta sedekah, tapi hak kita juga untuk memberi. Jadi, perda bukan solusi yang tepat untuk menertibkan pengemis. Perda menurut saya masih merupakan langkah yang dilematis," ujar Ali Homaidi
Menurut pria yang juga Direktur Taretan Institute, ini, sebelum pihak terkait memerdakan pengemis, mereka harus mempertimbangkan beberapa faktor dominan warga menamakan dirinya sebagai pengemis. Sehingga, penanganannya tepat sasaran.
"Temuan kami di tingkat akademis, banyak faktor yang membuat seseorang menjadi pengemis. Faktor dominan seseorang menjadi pengemis antara lain karena faktor ekonomi dan kemiskinan psikologi," cetusnya.
Dijelaskan, faktor ekonomi terkait dengan tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan secara materialistis. Sehingga, faktor tersebut dapat ditangani dengan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat. Pemerintah juga dapat melibatkan penduduk lokal dalam setiap pembangunan.
"Makanya, MUI jangan puas hanya dengan membuat fatwa haram. Tapi, sebagai lembaga agama juga harus mampu menggencarkan pendekatan spiritual kepada masyarakat sebagai langkah konkrit untuk mencegah kemiskinan psikologis," kata Ali Homaidi.
Sedangkan faktor kemiskinan psikologis, menjadi pengemis karena kebiasaan dalam suatu interaksi yang tercipta dalam situasi sosial. Sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan cara penguatan mental masyarakat oleh lembaga sosial dan agama.
"Makanya, MUI jangan puas hanya dengan membuat fatwa haram. Tapi, sebagai lembaga agama juga harus mampu menggencarkan pendekatan spiritual kepada masyarakat sebagai langkah konkrit untuk mencegah kemiskinan psikologis," katanya.
Pragaan dahulu dan Kini
Anda Tahu Pragaan? Hingga kini, masih menjadi tujuan semua mata tatkala masyarakat membicarakan masalah pengemis. Sebab, diprediksi banyak masyarakat setempat yang menekuni pekerjaan ini.
Memang, data yang ada masyarakat di Kecamatan Pragaan secara garis besar berada di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 11.684 rumah tangga di sana mengalami kemiskinan. Ini disebabkan kehidupan mereka tidak sesuai dengan masyarakat pada umumnya. Sehingga, dikategorikan dengan masyarakat miskin.
Meski demikian, budaya mengemis yang oleh banyak orang selalu diidentikkan dengan Pragaan ternyata untuk saat ini mulai bergeser. Pasalnya, banyak masyarakat Pragaan yang sudah berhenti menekuni budaya "warisan" tersebut. Mereka banyak memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih menguntungkan, lebih bermanfaat dan bermartabat.
Dari hasil penelusuran, banyak masyarakat Pragaan telah beralih profesi. Mereka lebih suka bercocok tanam dan melakukan aktifitas di laut dengan menjadi nelayan. Ini sekaligus menepis anggapan orang yang menganggap Pragaan sebagai daerah pengemis.
Kendati demikian, tidak semuanya berhenti melakukan aktifitas mengemis. Masih ada sebagian orang yang melakukan kegiatan mengemis. Namun, kondisi ini bukan lagi menjadi tradisi sebagaimana masyarakat yang hidup sebelum mereka.
Camat Pragaan Moh. Ramli juga mengakui, wilayah yang dipimpinnya tidak lagi dihuni oleh kalangan pengemis. Itu hanya terjadi pada masa lalu. "Kalau sekarang banyak masyarakat yang sudah beralih profesi. Saya kira ini merupakan perkembangan positif. Bahkan, semoga suatu saat habis total," jelasnya.
"Kalau sekarang banyak masyarakat Pragaan yang sudah beralih profesi. Saya kira ini merupakan perkembangan positif. Bahkan, semoga suatu saat habis total," jelas Camat Pragaan, Moh. Ramli.
Masyarakat Pragaan, sambungnya, sudah banyak menjadi nelayan dan ada juga yang melakukan aktifitas di sawah sebagai petani. "Kondisi ini sudah biasa pada aktifitas sehari-hari yang dilakukan masyarakat Pragaan. Itu perkataan orang yang tidak tahu kondisi objektif. Kalau tahu, pasti akan berkomentar sebaliknya," katanya.
Untuk itu, Moh. Ramli berharap jangan sampai masyarakat mengklaim Pragaan sebagai daerah pengemis sebelum tahu yang sebenarnya. "Saya harap masyarakat yang lain sadar bahwa di Pragaan telah terjadi pergeseran, mereka lebih suka melaut dan bertani," pungkasnya. [Ali/jpnn]
FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id
Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com
Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com
Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%.
Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com