Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 17 November 2009 11:45 wib
3.282 views
SBY Bisa Lengser Seperti Soeharto
Jakarta (voa-islam.com)--Setelah ditunda sehari, pagi ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menerima rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum dua Pimpinan Nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Tim 8.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil mengingatkan agar Presiden SBY tidak main-main dan harus segera menindaklanjuti rekomendasi final yang disampaikan Tim 8.
"Rekomendasi itu tidak boleh menggantung lagi. Kalau menggantung, itu artinya presiden tengah bermain api. Kalau bermain api, akan terbakar," kata politisi PKS dari Daerah pemilihan NAD itu.
Jika tidak ditindaklanjuti, akan menimbulkan distrust yang lebih besar. Menunjukkan SBY main-main dengan apa yang dibuatnya sendiri
Menurut Nasir Jamil, potensi gerakan kekuatan rakyat (people power) yang selama ini sudah mewarnai aksi-aksi di jalan dan gerakan online sudah di depan mata. "Jika tidak ditindaklanjuti, saya memprediksi akan ada mobilisasi massa. Semacam mosi tidak percaya kepada pemimpin bangsa ini, karena dia bermain-main dengan penegakan hukum," tegasnya.
Menurut Jamil, posisi SBY saat ini ibarat di persimpangan jalan. Apa pun keputusan yang dibuat SBY akan berimplikasi ganda. "Kalau dia membebaskan Bibit dan Chandra, dia memberitahukan kepada publik bahwa jajarannya (Polri dan Kejaksaan) tidak profesional. Sama artinya menampar polisi," jelas Jamil.
"Jika tidak ditindaklanjuti, akan menimbulkan distrust yang lebih besar. Menunjukkan SBY main-main dengan apa yang dibuatnya sendiri," tutur Nasir jamil.
Bisa Lengser seperti Soeharto
Peringatan lebih jauh disampaikan pengamat politik Fadjroel Rachman. Fadjroel bahkan mendesak Jaksa Agung Hendarman Supandji menutup kasus komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. Bila kasus tersebut tetap digantung katanya, rakyat bakal turun ke jalan. "Ini sangat berbahaya. Bahkan people power ini bisa saja melengserkan SBY dari tampuk kekuasaan seperti yang dialami Soeharto sebelas tahun silam."
Sebenarnya dalam penanganan kasus Bibit-Chandra, kata Fajroel, rakyat meminta pihak-pihak yang berusaha menyeret Bibit dan Chandra sebagai tersangka harus dibersihkan termasuk Kapolri Bambang Hendraso Danuri (BHD) dan Jaksa Agung Hendarman Supandji dicopot dari jabatannya.
Soalnya, baik Kapolri maupun Jaksa Agung tidak mampu membina anak buahnya sehingga mereka bertindak 'liar'. "Rakyat hanya menuntut itu. Tapi, bila kehendak ini tak dipenuhi, tentu rakyat yang berdaulat merasa dibohongi pemimpin mereka. Kalau sudah begitu, wajar bila mereka turun ke jalan. Bahkan bukan tak mungkin, Presiden SBY ikut diminta mundur," kata dia.
Polemik antar KPK dan Kepolisian, yang melebar ke Kejaksaan dan kini imbasnya ke tim 8, adalah puncak dari kekusutan sistem hukum di Indonesia. Hukum terkontaminasi dengan kepentingan politik kepentingan para elit
Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi. Apalagi, Soeharto yang berkuasa lebih dari empat dasawarsa dijatuhkan melalui people power. Saya hanya mengkhawatirkan itu," jelasnya.
Sebelumnya, rekomendasi sementara sudah disampaikan Tim 8 kepada Presiden 9 November lalu, tapi belum ditanggapi Presiden secara langsung. Masih bersikukuhnya Polri dan Kejaksaan dalam memproses kasus Bibit-Chandra, mengesankan SBY menggantung hasil rekomendasi. Tim 8 menyebut kasus 2 pimpinan nonaktif KPK itu tidak cukup bukti untuk diteruskan proses hukumnya.
Sementara pengamat politik UI Boni Hargens, juga memperingatkan, SBY bisa jatuh jika tidak waspada. "Saya kira bukan soal hukum Chandra dan Bibit saja, tapi juga soal lainnya seperti skandal Century. Kalau presiden membiarkan dan salah mengambil posisi, ia bisa saja jatuh. Meski terlalu dini memprediksi SBY bakal lengser, namun kewaspadaan itu perlu ada," katanya.
Polemik antar KPK dan Kepolisian, juga melebar ke Kejaksaan dan kini imbasnya ke tim 8, adalah puncak dari kekusutan sistem hukum di Indonesia. Hukum terkontaminasi dengan kepentingan politik kepentingan para elit.
"SBY juga mesti melihat dampak jauh ke depan. Artinya, secara politis people power juga tak akan menguntungkannya. Makanya, SBY harus mendukung aspirasi publik secara moral dan hukum. Bukan intervensi, karena ini kepentingan banyak orang," papar Boni.
Boni khawatir, citra buruk aparat penegak hukum di mata masyarakat berimplikasi pada presidensial. Publik cenderung skeptis, apatis terhadap sistem dan kelembagaan hukum.
"Ini adalah kumpulan dari bermacam persoalan, bukan perkara Chandra dan Bibit saja, tapi juga Century, yang mengindikasi ada kejahatan perbankan dan kebijakan politis," tandasnya.
Seperti Menampar Muka Sendiri
Dengan gaya analogi, Zainal Arifin Muchtar, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, mengatakan apapun rekomendasi yang diberikan Tim 8, Presiden SBY harus melaksanakannya. Karena Tim 8 dibentuk SBY sebagai respon atas desakan kebutuhan adanya tim independen untuk menangani kasus ini.
"Rekomendasi harus dilaksanakan. Kalau tidak, ini sama dengan SBY menampar mukanya sendiri," ujar Zainal.
Dalam analogi Zainal, Tim 8 ibarat koki yang diminta SBY untuk mengumpulkan bahan makanan, kemudian memasaknya. Jadi akan terasa janggal kalau SBY tidak memakan hidangan yang telah dibuat Tim 8 sebagai koki.
"SBY meminta koki untuk memasak. Tapi kan lucu kalau masakan yang sudah jadi itu tidak dimakan SBY," jelas Zainal.
Apalagi, tambah Zainal, SBY juga telah menunjuk orang yang dia percaya untuk masuk Tim 8. "Denny Indrayana kan staf khusus Presiden. Amir Syamsuddin juga kan orang (Partai) Demokrat," ucap dosen hukum UGM ini. [taz/dari berbagai sumber]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!