Senin, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 30 Agutus 2010 16:00 wib
18.086 views
Kapan Mengawali dan Mengakhiri I'tikaf?
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Kita sudah berada di ujung sepuluh hari kedua dari bulan Ramadlan. Berarti sepuluh hari terakhir dari bulan ini sudah di ambang pintu. Dan menurut penuturan hadits shahih, pada salah satu dari malam sepuluh hari terakhir itulah terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, yaitu lailatul qadar.
Dari Aisyah radliyallahu 'anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan dan bersabda, 'Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam upaya untuk mencari dan mendapatkan lailatul qadar tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan i'tikaf. Yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah Ta'ala yang dilaksanakan oleh pribadi tertentu dengan bentuk yang khusus. (Dikutip dari Fiqih I'tikaf, DR. Khalid bin Ali al-Musyaiqih)
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)
Anjuran i’tikaf ini juga berlaku dan disyariatkan atas kaum muslimin sebagai bentuk ittiba' kepada sunnah nabinya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala dalam ayat al-Shiyam dengan khitab hamba-hamba-Nya yang beriman,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu (istri-istrimua), sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid." (QS. Al-Baqarah: 187)
Kaum wanita juga disyari'atkan melaksanakannya. Dasarnya adalah hadits dari Aisyah radliyallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir. Kemudian Aisyah meminta izin kepada beliau untuk ikut beri'tikaf, dan ternyata beliau mengizinkannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih dari Aisyah radliyallahu 'anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i'tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, dibolehkannya wanita melakukan i'tikaf kalau memenuhi dua syarat: Pertama, mendapatkan izin dari suami. Kedua, selama i'tikaf yang dilakukannya tidak menimbulkan fitnah. (Disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal Salim)
Dan waktu paling utama untuk beri’tikaf adalah pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa allam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘Azza wa Jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kapan Dimulainya I'tikaf?
Jumhurul ulama, di antaranya Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, dan Ahmad rahimahumullah berpendapat seorang mu'takif yang beri'tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan mulai memasuki masjid sebelum terbenamnya matahari pada malam ke 21 Ramadlan. Mereka berhujjah dengan beberapa beberapa dalil, di antaranya:
Pertama, terdapat riwayat pasti dan jelas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan (Muttafaq 'alaih)
Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf dengan berpatokan pada malam bukan siang, karena lafadz 'Aysr (sepuluh) identik dengan malam-malam dan digunakan untuk menyebut jumlah malam-malam terakhir dari bulan Ramadlan. Seperti firman Allah Ta'ala, وَلَيَالٍ عَشْرٍ " Dan malam yang sepuluh." (QS. Al-Fajr: 2)
Dari situ, sepuluh hari terakhir dimulai sejak malam ke dua puluh satu. Karenanya, seorang mu'takif mulai memasuki masjid sebelum terbenamnya matahari malam ke 21.
Kedua, mereka berkata, "Sesungguhnya inti utama dari pelaksanaan i'tikaf adalah mencari lailatul qadar. Dan malam ke 21 termasuk salah satu dari malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadlan. Dan malam tersebut bisa jadi adanya Lailatul Qadar. Karena itulah dianjurkan untuk beri'tikaf di dalamnya. Demikianlah yang dijelaskan Imam al-Sundi dalam Hasyiyah al-Nasai. (Lihat juga Al-Mughni: 4/489)
Tapi dalam riwayat al-Bukhari (2041) dan Muslim (1173), dari Aisyah radliyallahu 'anhashallallahu 'alaihi wasallam apabila ingin beri'tikaf, beliau shalat Fajar kemudian masuk ke tempat i'tikafnya." berkata, "Adalah Rasulullah
Sebagian ulama salaf ada yang memahami hadits ini dari dzahir teksnya, yaitu beliau masuk ke tempat i'tikaf sesudah shalat fajar dan ini yang dipilih oleh Lajnah Daimah (10/411), Syaikh Ibnu Bazz (15/442), Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqih Sunnah (Tarjamah: 3/210-211).
Namun, Jumhur memberikan jawaban atas hadits ini dengan dua jawaban: Jawaban pertama, Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sudah mulai beri'tikaf sebelum terbenam matahari tetapi tidak memasuki tempat khusus untuk i'tikaf kecuali setelah shalat fajar.
Imam al-Nawawi berkata, "Apabila hendak beri'tikaf beliau shallallahu 'alaihi wasallam shalat fajar terlebih dahulu kemudian memasuki tempat i'tikafnya. Dari sini ada orang yang berpendapat: dimulai i'tikaf sejak awal siang. Inilah pendapat imam Al-Auza'i, al-Tsauri, dan al-Laits dalam salah satu pendapatnya. Imam Malik, Abu Hanifah, Al-Syafi'i, dan Ahmad berkata, "Beliau memasukinya sebelum matahari tenggelam, yaitu apabila beliau hendak beri'tikaf sebulan atau sepuluh hari." Mereka mentakwil hadits Aisyah, sebenarnya beliau sudah masuk masjid, menetap di sana, dan menyendiri sesudah shalat Shubuh. Jadi waktu itu bukan dimulai i'tikaf, tapi sebelum maghrib beliau sudah beri'tikaf, menetap di masjid, maka apabila selesai shalat shubuh beliau menyendiri." (Selesai keterangan dari Imam al-Nawawi)
Jawaban kedua, Al-Qadli Abu Ya'la menjawab, dari kalangan madhab Hambali menakwilkan hadits ini bahwa beliau melaksanakan itu pada hari ke 20. Al-Sundi menilai jawaban inilah yang tepat, karennaya dia lebih layak dijadikan sandaran.
Syaikh Ibnu Utaimin ditanya dalam Fatawa Shiyam, (hal. 501): "Kapan dimulai I'tikaf?"
Beliau menjawab, "Jumhur ulama berpendapat bahwa dimulainya i'tikaf sejak malam ke 21, bukan dari fajar tanggal 21. Walaupun sebagian ulama berpendapat dimulai i'tikaf dari fajar tanggal 21 dengan dasar dalil hadits Aisyah radliyallahu 'anha yang diriwayatkan al-Bukhari, "Maka ketika beliau sudah shalat shubuh beliau memasuki tempat i'tikafnya." Namun jumhur memberikan jawaban atas hal itu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyendiri (menjauh dari manusia) sejak pagi. Sedangkan niatan i'tikaf ada sejak awal malam, karena kata 'asyr (sepuluh) terakhir dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari ke 20."
Beliau juga berkata serupa dalam hal. 503, bahwa masuknya seorang mu'takif pada sepuluh hari terakhir ketika terbenamnya matahari pada malam ke dua puluh satu, karena saat itu adalah waktu masuk (dimulainya) sepuluh hari terkahir. Ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu 'anha karena lafadz teksnya bermacam-macam (berlainan). Maka diambillah yang paling dekat dengan sisi pendalilan secara lughawi. . . . ."
Kapan Keluar dari Tempat I'tikaf?
Keluar dari tempat i'tikaf ketika matahari tenggelam pada hari terkahir dari Ramadlan.
Syaikh Ibnu Ustaimin ditanya, "Kapan seorang mu'takif keluar dari i'tikafnya, apakah setelah matahari tengelam pada malam Ied ataukah setelah fajar di hari Ied?"
Beliau menjawab, "Seorang mu'takif keluar dari i'tikafnya apabila selesai Ramadlan. Dan selesainya Ramadlan dengan teggelamnya matahari pada malam Ied." (Fatawa Shiyam, hal. 502)
Dalam fatawa Lanjah Daimah (10/411), "Masa I'tikaf sepuluh hari Ramadlan akan habis dengan tenggelamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadlan."
Dan apabila dia memilih tetap di masjid sampai shalat Fajar lalu keluar dari tempat i'tikafnya menuju ke tempat shalat Ied tidak apa-apa. Dan sebagian ulama salaf menyukai hal itu.
Imam Malik melihat sebagian ahli ilmu apabila beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan tidak pulang ke keluarga mereka sehingga mereka menghadiri shalat Ied bersama manusia. Imam Malik berkata, "Dan telah sampai kepadaku hal itu dari sebagian orang mulia yang telah mendahului (meninggal), dan ini merupakan persoalan dalam hal itu yang paling aku suka dari yang pernah aku dengar."
Imam al-Nawawi dalam Al-Majmu' (6/323) berkata, "Imam Syafi'i dan sahabatnya berkata, "Dan siapa yang hendak mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam i'tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadlan, maka seharusnya dia masuk masjid sebelum matahari tenggelam pada malam ke 21 Ramadlan. Supaya dia tidak luput dari salah satu dari hal itu (sepuluh hari terakhir) dan keluar sesudah matahari tenggelam pada malam Ied, baik bulan itu sempurna (30 hari) atau kurang (29 hari). Dan yang paling afdhal adalah dia tetap tinggal di masjid pada malam Ied sampai dia melaksanakan shalat Ied di situ, atau keluar dari situ menuju ke mushala untuk shalat Ied jika dia manusia melaksanakannya di mushala."
Dan apabila keluar dari i'tikaf langsung menuju shalat Ied, maka disunnahkan untuk mandi dan berhias sebelum keluar menuju ke sana, sebab hal ini termasuk sunnah dalam berhari raya. Wallahu a'lam bil shawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!