Selasa, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Agutus 2010 06:20 wib
14.549 views
Kekeliruan Dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan
Sebentar lagi kita kedatangan tamu dari Allah yang mulia, pasti kita sebagai orang Islam bergembira dalam menyambutnya, namun kita tetap harus memperhatikan ketentuan syariat dengan menjauhi kekeliruan menyambut bulan tersebut.
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian, dapat mendoakan mereka sewaktu-waktu. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan dan meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang mengajarkan hal ini.
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya seputar masalah ini:
Apakah ziarah kubur pada hari-hari raya halal atau haram ?
Beliau menjawab: hal itu tidak mengapa, kapan saja boleh, tetapi mengkhususkannya pada hari raya tidak benar, apabila mempercayai bahwa ziarah pada hari raya lebih utama atau semacamnya, adapun apabila pengkhususan dikarenakan waktu yang luang, maka tidak mengapa karena ziarah tidak ada waktu yang khusus, boleh berziarah dimalam hari atau siang, pada hari-hari raya atau selainnya, tidak ada ketentuannya, tidak ada waktu yang khusus, karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: (ziarahilah kuburan, karena itu dapat mengingatkan kepada kalian akhirat), dan beliau tidak menentukan waktunya, maka setiap muslim dapat menziarahinya disetiap waktu, dimalam hari, dan siang, dan pada hari-hari raya, dan lainnya. Namun tidak mengkhususkan hari tertentu dengan maksud bahwa hari itu lebih utama dari lainnya, adapun jika mengkhususkannya karena tidak ada waktu selain itu maka tidak mengapa.
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan ikhtilath campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini, apalagi jika hal itu dilakukan secara berjamaah dengan dipimpin oleh seseorang karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu.
Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih).
Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
9. Kebiasaan ibu-ibu rumah tangga berbelanja besar-besaran ketika menyambut ramadhan:
Hal ini sebenarnya malah bertentangan dengan satu maksud dan tujuan puasa yaitu supaya kita prihatin ikut merasakan penderitaan kaum fakir miskin, bukan justru memindahkan waktu makan atau malah menambah porsi makan kita dari diluar Ramadhan. Apalagi hal seperti dapat mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kalau kita bercermin pada para salaf dahulu, dimana untuk menyambut Ramadhan mereka lebih mempersiapkan fisik dan mental dengan melakukan pemanasan ibadah di bulan Sya’ban, barangkali untuk memaksimalkan ibadah dibulan Ramadhan.
Jika kita melihat kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibulan Sya’ban sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau banyak berpuasa dibulan tersebut.
Begitu juga para salaf dahulu sudah mulai memperbanyak bacaan Al-Qur’an sejak bulan Sya’ban.
Salamah bin Kuhail berkata: Dahulu kami menyebut bulan Sya’ban sebagai bulan para pembaca Al-Qur’an.
‘Amru bin Qois ketika masuk bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan menyibukkan dengan membaca Al-Qur’an.
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau ketika dibulan Ramadhan mengurangi aktivitas dakwah dan memperbanyak ibadah dan khalwat dengan Rabnya.
Inilah cara para salaf dahulu menyambut bulan Ramadhan yang mulia ini.
10. Menyambut Ramadhan dengan bermain petasan dan mercun.
Ini jelas dilarang dalam Islam, karena selain menghamburkan harta untuk hal yang tidak bermanfaat, karena setiap rupiah yang kita belanjakan akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’alaa, juga dapat menganggu orang lain yang pastinya juga diharamkan apalagi saat bulan Ramadhan ketika kebanyakan manusia tengah khusyuk dalam beribadah.
(ar/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!