Rabu, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Januari 2010 12:25 wib
23.594 views
Bersuci dan Urgensinya dalam Ibadah
Bersuci dalam istilah syar'i dikenal dengan THAHARAH. Sedangkan thaharah menurut bahasa adalah kebersihan atau bersih dari berbagai kotoran, baik yang bersifat hissi (nyata) seperti air kencing, kotoran manusia, dan selainnya; maupun yang bersifat maknawi seperti aib dan perbuatan maksiat. Sedangkan kata tathhir bermakna tandzif (membersihkan), yaitu membersihkan pada tempat yang terkotori.
Adapun secara syar'i, thaharah adalah menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi shalat berupa hadats atau najis dengan menggunakan air dan debu (tanah) yang suci lagi menyucikan dengan tata cara yang telah ditentukan oleh syari’at.
Hukum thaharah
Menghilangkan dan menyucikan najis adalah wajib, jika diketahui dan mampu melakukannya.
Allah berfirman,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu bersihkanlah." (QS. Al-Mudatstsir: 4)
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
"Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: 'Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujudi'." (QS. Al-Baqarah: 125)
Sementara menyucikan diri dari hadats hukumnya wajib jika ingin melaksanakan shalat. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci." (HR. Muslim)
Menghilangkan dan menyucikan najis adalah wajib, jika diketahui dan mampu melakukannya.
Urgensi bersuci
Kegiatan bersuci atau thaharah memiliki peran yang penting dalam syariat Islam, di antaranya:
1. Menjadi syarat sahnya shalat
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
"Tidak diterima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu." (Muttafaq 'alaih)
Oleh karenanya, bab thaharah selalu didahulukan dalam pembahasan-pembahasan fiqih karena thaharah (bersuci) merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sedangkan shalat adalah rukun Islam kedua sesudah dua kalimat syahadat. Jadi, syarat sahnya shalat tentu harus didahulukan pembahasannya daripada yang disyaratkan, yaitu shalat.
Bab thaharah selalu didahulukan dalam pembahasan-pembahasan fiqih karena thaharah (bersuci) merupakan salah satu syarat sahnya shalat.
Mengerjakan shalat dengan bersuci terlebih dahulu menunjukkan pengagungan kepada Allah. Sementara hadats dan junub -walau bukan najis yang terlihat- adalah najis maknawi yang menyebabkan kotornya sesuatu yang berhubungan dengannya. Keberadaannya bisa menghilangkan pengagungan kepada Allah dan menafikan prinsip kebersihan.
2. Allah memuji orang-orang yang bersuci
Firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah; 222)
Allah juga memuji para penghuni masjid Quba' dalam firman-Nya,
لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
"Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bershalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." (QS. At-Taubah: 108)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan hadits Abu Hurairah radliyallah 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "ayat ini diturunkan pada ahli Quba, "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri". Beliau bersabda, "mereka beristinja' (bercebok) dengan air, maka diturunkanlah ayat ini menerangkan kondisi mereka."
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan aktifitas thaharah yang dilakukan penduduk Quba' sehingga Allah memuji mereka. Lalu mereka menjawab, "demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa-apa, kecuali kami memiliki tetangga dari kalangan Yahudi yang mencuci dubur mereka (bercebok dengan air) sehabis buang air, lalu kami bercebok sebagaimana yang mereka lakukan."
3. Kelalaian membersihkan diri dari najis menjadi salah satu sebab turunnya siksa kubur.
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radliyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melewati dua kubur lalu beliau bersabda:
إِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا هَذَا فَكَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ
"Sesungguhnya penghuni dua kubur ini sedang di adzab. Dan tidaklah mereka berdua diadzab karena suatu perkara yang besar (sulit untuk dikerjakan). Adapun orang ini, ia tidak membersihkan diri dari air kencingnya . . ." (HR. Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah dengan sanad shahih).
"Sesungguhnya penghuni dua kubur ini sedang di adzab. Dan tidaklah mereka berdua diadzab karena suatu perkara yang besar (sulit untuk dikerjakan). Adapun orang ini, ia tidak membersihkan diri dari air kencingnya . . ." al-Hadits
Jenis-jenis Thaharah
Ulama membagi thaharah syar'iyah atau bersuci yang dituntunkan oleh syariat menjadi dua macam. Pertama, thaharah haqiqiyah, yaitu thaharah atau bersuci dari najis yang terdapat pada tubuh, pakaian, dan tempat.
Kedua, thaharah hukmiyah, yaitu thaharah atau bersuci dari hadats. Hal ini khusus pada badan. Thaharah jenis ini terbagi menjadi tiga macam: thaharah kubra, yaitu mandi; dan thaharah shughra, yaitu berwudlu; Tayamum sebagai pengganti keduanya bila tidak mampu melakukan keduanya.
(PurWD/voa-islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!