Rabu, 14 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Agutus 2009 14:13 wib
7.259 views
Tanya Jawab Seputar Ramadhan (2)
Haruskah niat shaum Ramadhan diucapkan dengan lafadz tertentu?
Niat merupakan syarat shanya shaum Ramadhan. Sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya amal-amat itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang I a niatkan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Niat shaum Ramadhan boleh dilakukan setiap malam sebelum fajar (shubuh), atau hanya diawal bulan Romadhan sebagaimana pendapat Malikiyah, namun Jumhur mengharuskan setiap malam sebelum fajar, Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hafsah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa tidak menguatkan niat shaum sebelum fajar, maka ia tidak mendapatkan shaum.” (HR.Ahmad)
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat Malikiyah karena ketika seseorang berniat diawal Ramadhan maka dia seperti berniat sebulan penuh, karena seluruh bulan merupakan satu kesatuan.
Hal itu karena seandainya seseorang tertidur sebelum terbenam matahari, lalu bangun ketika terbit fajar, maka menurut pendapat Jumhur puasanya tidak sah, karena dia tidak berniat dimalam harinya, sedangkan menurut Malikiyah sah puasanya.
Niat itu sah dilakukan bagian malam mana saja, dan tidak perlu diucapkan dengan lisan karena niat itu merupakan pekerjaan hati, dan Rasulullah shallawahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengajarkannya, begitu pula para sahabat, bahkan melafazkan niat merupakan sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Barangsiapa yang melakukan makan sahur dengan maksud berpuasa besok harinya, maka ia telah mempunyai niat shaum Ramadhan.
Apa hal-hal yang membatalkan shaum?
Yang membatalkan shaum ada dua macam. Pertama, yang harus dibayar dengan qadha saja, dan kedua yang harus dibayar dengan qadha dan kaffarah. Yang harus dibayar dengan qadha (mengganti puasa di hari lain) saja: makan dan minum bagi orang yang mempunya udzur syar’I seperti sakit dan lain-lain, muntah dengan sengaja, haid dan nifas, walaupun terjadi beberapa saat sebelum maghrib, istimnaa (mengeluarkan mani dengan sengaja), baik dengan cara mencium atau memeluk isteri ataupun dengan tangan (onani), makan sesuatu yang tidak layak ayau tidak lazim dimakan, seperti kertas atau tanah; berniat membatalkan puasa, walaupun tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum; makan, minum, dan jima’ (senggama0 karena mengira bahwa matahari sudah terbenam (maghrib) atau karena mengira bahwa waktu shubuh belum tiba, kemudian terbukti bahwa yang terjadi bukan seperti yang dikira; dan lain sebagainya.
Adapun yang harus dibayar dengan qadha dan kaffarah adalah jim’a’ pada waktu shaum. Abu Hurairah meriwayatkan: “Ketika kamu duduk di sisi Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya celaka!” Rasulullah berkata, “Apa yang membuatmu celaka?” Ia berkata, “Saya menggauli isteri saya dalam keadaan saya berpuasa.” Kata Rasulullah, “apakah kamu punya budak untuk kamu merdekakan?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah berkata, “Bisakah kamu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah saw berkata, “Bisakah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak” Rasulullah saw berkata, “Tunggulah!” Lalu datang kembali Rasulullah saw dengan membawa sekantong kurma seraya berkata, “Mana sipenanya itu?” “Saya” Jawab orang itu. Rasulullah berkata, “Ambillah ini dan sedekahkanlah!” Ia berkata, “Kepada orang yang lebih faqir dari saya?” Demi Allah tidak ada keluarga yang lebih faqir dari saya di dua kampung itu selain keluarga saya.” Maka Rasulullah saw tertawa hingga tampaklah gigi-gigi taringnya, lalu berkata, “Berimakanlah keluargamu dengannya.” (HR.As Sittah kecuali AnNasai).
Siapakah yang mendapat rukhsah untuk tidak shaum?
Orang yang mendapatkan rukhsah untuk tidak shaum ada dua kelompok. Kelompok pertama yang harus menggantinya dengan qadha, yaitu orang yang sakit (namun masih ada harapan sembuh) dan musafir (orang yang berpergian). Firman Allah SWT: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya perbuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari lain.” (QS.2:185)
Sakit yang membolehkan seseorang berbuka adalah sakit yang akan menjadi parah atau lama sembuhnya jika menjalankan puasa. Adapun dalam masalah jarak safar (berpergian) yang membolehkan seseorang berbuka puasa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat batas minimalnya adalah satu farsakh (kurang dari 5541 m), ada yang mengatakan 81 km, dan sebagainya. Memang di AlQur’an tidak memberikan taqyid (batasan) tentang safar. Sedangkan hadits-hadits yang ada berkaitan dengan hal itu mengundang iktilaf (perbedaan pendapat), di samping ada hadits yang dhaif (lemah). Meskipun demikian kebanyakan ulama membatasi masalah safar ini dengan assafarath-thawil (berpergian jauh). Jadi akhirnya terpulang pada ‘urf (tradisi) yang berlaku. Artinya, jarak berpergian yang layak disebut safar berdasarkan ‘urf.
Adapun kelompok kedua, adalah orang yang harus menggantinya dengan fidyah (memberi makan pada fakir miskin) yaitu: orang yang sudah tua bangka; orang yang sakit dan tidak ada harapan sembuh; orang yang bekerja berat dan tidak punya peluang untuk bekerja mencari rezeki dengan cara pekerjaan lain yang lebih ringan; serta wanita hamil dan menyusui anaknya. Allah SWT berfirman: “Dan bagi orang yang melaksanakannya dengan susah payah, maka (jika mereka tidak berpuasa) harus membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.” (QS. 2:184)
Lebih jauh tentang wanita hamil dan menyusui adalah pendapat Ibnu Abbas dan segolongan ulama. Pendapat itu mengatakan bahwa kehamilan dan menyusui merupakan ‘udzur (alasan) yang kontinyu dan berulang. Kedua orang itu seperti orang sakit yang tidak ada harapan sembuh kembali. Maka dari mereka (yang hamil dan menyusui) itu jauh kewajiban shaum dan qadha, serta hanya diwajibkan membayar fidyah, jika mampu. Keduanya tercakup oleh keumuman ayat.
“Dan bagi orang yang melaksanakannya dengan susah payah, maka (jika mereka tidak berpuasa) harus membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.” (QS.2:184)
Hujjah pendapat ini jelas. Yaitu jika kita tidak mengelompokkan wanita hamil dan menyusui kepada orang yang sakit menahun, maka apa yang harus kita lakukan tentang kewajiban qadha ats mereka? Sedangkan kedua wanita itu tidak akan terlepas dari salah satu di antara dua kondisi: hamil atau menyusui. Maka jika ia menyapih anaknya, hamil lah dia. Itupun kalau kehamilan tidak datang begitu cepat, sehingga ia harus menyusui dalam keadaan hamil. Lalu, haruskah kita menuntut darinya agar ,enunggu sampai selesai masa hamil dan menyusui, yaitu sekitar empat puluh tahun (empat puluh kali Ramadhan)? Seperti apa keadaannya lima puluh tahun kemudian? Sungguh dia akan menjadi orang tua bangka.
Itulah pendapat yang menentramkan kami karena ia sejalan dengan tabi’at dan kemudahan syari’at serta dengan logika ayat. Hal lain yang memperkuat pendapat itu dan membuatnya layak diterima adalah riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah bin Abbas berkata kepada Ummu Walad (wanita budak yang hamil oleh pemiliknya/majikannya) yang sedang hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu melaksanakan puasa. Maka hendaklah engkau membayar fidyah, dan tidak perlu mengqadha.” Imam Ad-Daruquthni mensahkan sanad riwayat tersebut. Dari Nafi`, Abdullah bin Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Ibnu Umar berkata, :”Dia hendaknya berbuka dan menggantinya dengan memberi makan kepada orang miskin dengan satu mudd dari gandum.” (Diriwayatkan oleh Malik dan Al Baihaqi).
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!