Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Februari 2013 20:53 wib
8.234 views
Antara Harun Nasution, Attaturk dan Sekularisme
Jum'at, 08 Februari 2013
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
EKSPOINEN neo-Mu’tazilah, Harun Nasution (1919-1998) menyatakan bahwa Mustafa Kemal Attaturk merupakan orang penting dalam pembaruan dalam tubuh Turki Utsmani. Dalam bahasa Harun, “Dalam suasana inilah muncul Mustafa Kemal, seorang pemimpin Turki baru, yang menyelematkan Kerajaan Usmani dari kehancuran total dan bangsa Turki dari penjajahan Eropa. Ialah pencipta Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar Attaturk (Bapak Turki).” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 142).
Jadi, menurut Harun, Attaturk adalah pemimpin Turki baru, yang menyelamatkan Kerajaan Usmani sehingga Turki berubah menjadi “modern”. Dengan prestasi pembaruan itu lah Mustafa Kemal menjadi “Bapa Turki” Modern (Attaturk). Padahal, dalam pembaruannya – seperti juga diakui oleh Harun – Attaturk dipengaruhi oleh ide golongan “nasionalis” dan ide golongan Barat. Harun juga menambahkan dengan jujur, “Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru dimulai, yaitu: perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban Barat akan diambil bukan hanya sebahagian-sebahagian, tetapi dalam keseluruhannya.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 147).
Ini mirip dengan pemikir sekular asal Mesir, Thaha Husein, yang menyatakan, “Kita harus mengadopsi peradaban Barat manis dan getirnya.” (Ṭāhā Ḥusayn, Mustaqbal al-Tsaqāfah fī Miṣr)
Sejatinya pembaruan yang diajukan oleh Attaturk, sebagaimana dicatat juga oleh Harun ketika mengutip pandangan Ahmed Agouglu dalam The Development of Secularism, adalah “sekularisasi”.
Dalam satu pidatonya, Attaturk menyampaikan bahwa di zaman yang dalamnya ilmu-pengetahuan membawa perubahan terus-menerus bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi tua lagi usang, tidak akan dapat mempertahankan wujudnya.
Masyarakat Turki harus dirobah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus dihancurkan. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 148). Menyimpulkan ide pembaruan Attatur, Harun mencatat, “Westernisme, sekularisasi, dan nasionalisme itulah yang menjadi dasar pemikiran pembaharuan Mustafa Kemal.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 149).
Statemen Attaturk yang gandrung kepada Barat dan peradabannya dapat dilihat dalam pernyataanya berikut:
“There are a variety of countries, but there is only one civilization. In order for a nation to advance, it is necessary that it join this civilization. If our bodies are in the East, our mentality is oriented toward the West. We want to modernize our country. All our efforts are directed toward the building of a modern, therefore Western, state in Turkey. What nation is there that desires to become a part of civilization, but does not tend toward the West?” (Lihat, Alev Ҫinar, Modernity, Islam, and Secularism in Turkey: Bodies, Places, and Time (Minneapolis-London: University of Minnesota Press, 2005), hlm. 5).
Namun ternyata, ide pembaruan ala Barat yang dipaksakan oleh Attaturk itulah sejatinya awal-mula bencana yang menimpa Turki Usmani. Sampai akhirnya Attaturk punya andil dalam menghapuskan Kekhalifan Turki Utsmani tahun 1924. Dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Umat Islam, Hamka menulis bahwa lafadz azan pun diubah oleh Attatur, dari Allahu Akbar menjadi Allah Buyuk. Karena, Harun juga mencatat, Mustafa Kemal melihat bahwa jabatan khalifah juga harus dihapuskan dan soal ini dibicarakan oleh Majlis Nasional Agung di bulan Februari 1924. Perdebatan berjalan sengit, tetapi akhirnya pada tanggal 3 Maret 1924, suara di Majlis memutuskan penghapusan jabatan Khalifah. Khalifah Abdul Majid diperintahkan meninggalkan Turki, dan ia bersama keluarganya pergi ke Swiss. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 151).
Dan jangan lupa, Majlis Nasional ini adalah bentukan Mustafa Kemal bersama teman-temannya tahun 1920. Melalui gerakannya ini sekutu akhirnya mengakui bahwa Attatur dan kawan-kawan dianggap sebagai penguasa de facto dan de jure di Turki. Dan pada tanggal 23 Juli 1923 ditanda-tangani Perjanjian Lausanue, dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan internasional. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 147).
Dalam posisi ini sejatinya Harun Nasution keliru besar jika menganggap westernisasi dan sekularisasi rakyat Turki yang dilakukan oleh Attaturk sebagai “pembaruan”. Jelas ini adalah “pembaratan” (westernisasi). Karena Harun sendiri mencatat, “Betul syariat telah dihapus pemakaiannya dan pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 152).
Begitu pun, menurut Harun, Turki belum sekular “kāffah”. Anehnya, Harun malah mencatat demikian, “Mustafa Kemal sebagai rasionalis dan pengagum Barat tidak menentang Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional dan perlu bagi umat manusia. Tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh tangan manusia. Oleh sebab itu itu ia melihat perlunya diadakan pembaharuan dalam soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Bentuknya pembaruan yang diusulkan oleh Attatur adalah: Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, khutbah Jum’at dilakukan dalam bahasa Turki, bahkan tahun 1931 azan dalam bahasa Turki resmi diberlakukan. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Benar-benar tragis. Begitu pun ia harus tetap dianggap sebagai “pembaruan”. Bagaimana mungkin Harun menyimpulkan Attatur tidak menentang Islam. Justru Attaturk adalah antek-Barat yang takut terhadap syariat Islam, makanya dihapuskan dari bumi Turki.
Buktinya, gelombang sekularisme dan sekularisasi yang ditentang oleh golongan Islam dipatahkan oleh Attaturk. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153). Ini bukti jelas bahwa Attaturk membenci Islam dan syariatnya. Tapi lucunya, dengan lugunya Harun Nasution tetap membela Attaturk sembari menulis dengan entengnya, “Sekularisme Mustafa Kemal tidak menghilangkan agama Islam dari masyarakat Turki, dan Mustafa Kemal memang tidak bermaksud demikian. Yang ia maksud adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan.” (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 154).
Di sini tampak jelas bahwa bukan hanya Attaturk yang setuju dengan “sekularisme” dan “sekularisasi” tetapi juga Harun Nasution. Ide ini memang yang dikagumi dan dihayati oleh kaum liberal-sekular, faṣl al-dīn ‘an al-dawlah (memisahkan agama dari negara). Satu ide Barat-Kristen yang sekular: yang memisahkan hak raja dan kaisar. Padahal, seperti kata Mohamad Natsir, Islam itu adalah ideologi.
Dengan tegas Natsir menyatakan, “Menegakkan Islam tidak dapat dengan membiarkan pembinaan masyarakat dan bernegara dengan cara paham lain. Oleh sebab itu, dalam masa Revolusi, umat Islam di Indonesia bukan saja dijiwai oleh aspirasi nasional melainkan juga aspirasi Islam.” Pandangan Natsir itu dapat disimak dalam tulisannya “Islam sebagai Ideologie" (Jakarta: Penyiaran Ilmu, 1951), hlm. 62).
Di mana menurutnya Islam sebagai risalah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. telah memberikan pedoman untuk menyelenggarakan pemerintahan agar negara kuat dan masyarakatnya sejahtera. Namun, Natsir menolak sistem kependetaan, sebagaimana pernah diterapkan oleh negara-negara Barat di Abad Pertengahan (di zaman Montesquieu). Dalam “Sumbangan Islam bagi Perkembangan Dunia” Natsir menyebutkan:
“Orang Islam tidak memerlukan kependetaan. Dalam Islam ada ahli-ahli agama yang disebut ulama. Mereka itu adalah guru dari pelbagai cabang ilmu agama…Fukaha dan guru-guru hukum Islam…Tetapi mereka bukanlah pendeta…Mereka tidak lebih hanyalah Imam, pemimpin shalat…Imam itu hanya suatu jabatan berdasar keperluan-keperluan praktis untuk penyelenggaraan shalat, tidak suatu jabatan resmi.” (Lihat, H. Mas’oed Abidin, Gagasan dan Gerak Dakwah Natsir (Yogyakarta: Gre Publishing, 2012), hlm. 98-99).
Maka wajar jika Attaturk begitu benci kepada Islam berikut syariatnya. Karena ide pembaruannya adalah “westernisasi” dan “sekularisasi”. Ini jelas ide Barat. Dan Barat dipastikan anti-Islam. Salah satunya dianut dimana-mana oleh negara jajahan Barat, yakni “nasionalisme”. Namun harus disyukuri bahwa spirit Islam kembali kepada tubuh Turki yang mati-suri itu. Bediuzzaman Said Nursi disinyalir memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap keberagamaan negara Turki yang menggeliat cepat hari ini. Ia bahkan diposisikan vis-à-vis sekularisme Kemalism. (Lihat, Umuat Azak, Islam and Secularism in Turkey: Kemalism, Religion and the Nation State (London-New York: I.B. Tauris, 2010).
Selain Nursi tentunya masih ada pemikir lain yang coba mengembalikan Islam ke Turki, termasuk dari sisi pemerintahan yang akhir-akhir ini banyak menyentak dunia Barat. Istilahnya: azan dan jilbab kembali ke Turki. Memang begitulah. Pembaruan tak akan harmonis dengan sekularisme. Dan pembaruan tidak serta-merta dimaknai sebagai tajdīd. Konon lagi dikaitkan dengan westerniasi, sekularisasi, dan liberalisasi. Karena konsep tajdīd dalam Islam bukan merusak Islam, apalagi membenci dan memberangusnya. Tajdīd adalah kebutuhan umat, karena di dalamnya ada proses pengembalian umat kepada Islam, agar meraka kembali menghayati Islam. Dan tajdīd tidak membenci al-Qur’an, karena pelakunya adalah manusia-manusia yang dekat dengan waḥyu. Makanya tajdīd diakui Nabi.
Di sini tampak bahwa ide-ide pembaruan hari ini asalnya adalah Barat, karena isinya adalah: sekularisme. Dan sekularisme tidak lahir dari Islam, jelas tidak akan pernah diakui apalagi ditiru dan digugu. Seperti kata Olivier Roy, Secularism Confronts Islam (New York: Columbia University Press, 1893). Wallāhu al-hādī ilā sabīl al-rasyād!
Penulis adalah guru ngaji di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara dan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Sumatera Utara
Red: Cholis Akbar
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!