Hidayatullah.com—Di Kota Surabaya, Jawa Timur, tepatnya di belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Surabaya ada Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berkonsepkan seni arsitektur China, maka di Malaysia juga terbangun sebuah masjid yang serupa, yaitu Masjid Beijing atau dikenal dengan masjid China.
Terletak di Rantau Panjang, Negeri Bagian Kelantan, Malaysia. Kurang lebih dua kilometer dari perbatasan Malaysia-Thailand. Pintu masuk sebelah timur ke Malaysia dari negara tetangganya Thailand.
Masjid Beijing tampak bagaikan istana maharaja China di zaman silam. Saat saya mengunjunginya baru-baru ini, saya tidak percaya bahwa bangunan unik itu adalah sebuah masjid. Kalau tidak ada menara adzan yang berdiri disampingnya, orang akan keliru dan menganggapnya sebuah pagoda. Ada kemiripan dengan sebuah tokong atau pagoda. Keindahan dan keunikan bangunannya sebagai sesuatu unik dalam sejarah Islam dan arsitektur Islam di Kelantan, Malaysia.
Terletak di tepi Lebuhraya Pasir Mas-Rantau Panjang, masjid yang berjuluk ‘Masjid Jubli Perak Sultan Ismail Petra’ ini dibangun atas ide Menteri Besar (Gubernur) Kelantan, Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat sepuluh tahun dulu. Tok Guru, demikian panggilan Nik Abdul Azis Nik Mat, mengusulkan gagasan ini karena melihat belum ada satu pun masjid di Malaysia yang berkonsepkan dan berarsitektur China. Padahal komunitas Muslim China Malaysia jumlahnya ratusan ribu. Mereka juga memerlukan sebuah masjid yang bercirikan arsitektur mereka sendiri.
Bagi Tok Guru, bangsa China lebih dahulu memeluk Islam di Nusantara. Karena itu, wajar jika pemerintah negeri Kelantan membangun sebuah masjid khusus seperti itu sebagai lambang penyatuan umat.
Tak Bedakan Suku
Masjid Beijing dibangun di atas tanah seluas 3.7 haktar. Arsitek dan pekerja ahli didatangkan langsung dari China. Sementara ukiran dan hiasan dalam masjid merupakan hasil tangan juru ukir dari Uzbekistan. Diawali tahun 1996, masjid ini baru selesai pada akhir tahun 2009. Namun sejak 2007 sudah digunakan untuk shalat tarawih dengan seorang imam yang didatangkan dari Republik Rakyat China. Hal ini sekaligus untuk menepati kehendak Tok Guru yang menginginkan seorang imam dari bangsa China untuk sholat jamaah di negeri Kelantan.
Pembangunan masjid ini menelan biaya tak main-main, sekitar RM8.8 juta (setara dengan Rp 24 m). Penuh pernik-pernik dan hiasan warna hijau, masji unik ini mampu memuat sekitar seribu jamaah. Di sampingnya berdiri tegak sebuah menara yang dipuncaknya dihiasi lilitan serban atau kopiah sebagai simbol golongan ulama.
Yang tak kalah menarik adalah tiang menara yang diukir dengan nama 25 rasul untuk mengingatkan kita bahwa nama-nama Rasul Allah itu penting.
Selanjutnya, selain ruang sholat utama di lantai dua, terdapat juga kamar imam, ruang VIP dan ruang audio visual. Di lantai bawah terdapat ruang serbaguna, perpustakaan, ruang rapat, kantor, klinik, tempat mengaji anak-anak (TPA), kelas fardhu ‘ain (ruang kuliah/mengaji), ruang pengurusan jenazah dan WC/toilet.
Tak sedikit orang mengecam dan mengkritik kerasa pada awal proses pembangunan masjid ini. Sebagian bahkan mengatakan, penggunaan arsitekstur China –apalagi mirip sebuah pagoda-- hanya akan menghilangkan ciri Melayu.
Namun bagi Tok Guru punya alasan lain. Menurutnya, Islam tak pernah membeda-bedakan warna kulit dan suku bangsa.
“Dalam Islam bangsa tidak penting, yang terbaik di sisi Allah SWT adalah mereka yang bertakwa,” ujarnya.
Meski Masjid Beijing sudah bisa digunakan, namun pembukaannya secara resmi belum dilakukan. Pemerintah Kelantan merencanakan, selain Masjid Beijing yang sudah dibangun, juga akan menwujudkan sebuah pusat perdagangan yang dikenal sebagai Cheng Ho City yang akan dimulai 2011 ini.
Tak hanya itu, pemerintah Kelantan juga akan mempromosikan perdagangan makanan halal China.
“Kita juga akan adakan World Halal Trade Centre untuk memudahkan produk-produk halal dipasarkan di pasar berkenaan selain dilengkapi dengan Uighur Street,” ujar Menteri Kabinet Negara Malaysia, Haji Husam Musa. */N.Aminah-Ross