Pria murah senyum itu, Dian Apriyadi, 46 tahun, dipanggil H. Paimun, Kepala Humas JIC yang menyambut hidayatullah.com siang itu di kantornya.
“Ok, siap. Habis shalat Ashar ya,” ujar Dian, menanggapi permintaan bincang-bincang hidayatullah.com. Seraya mengulum senyum lebar, kami bergegas menuju ruang utama masjid karena kumandang adzan Ashar telah berbunyi.
Berkarir sebagai sekuriti di lingkungan Jakarta Islamic Center yang luasnya 5,6 hektar itu, begitulah kesibukan sehari hari lelaki yang biasa disapa Pak Dian ini. Melaporkan, mendatangi panggilan, menyampaikan pesan, dan mengamankan, sekaligus menjadi “ahli masjid”.
Di JIC, Dian bekerja sebagai sekuriti selama 8 jam sehari dengan sistem shift malam dan siang. Kalau bertugas malam ia berangkat jam 05:00 kalau tugas siang star jam 07:00.
***
Dian adalah anak Betawi asli lahir di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta Pusat, 46 tahun silam. Masa kanak kanak hingga dewasa dihabiskan di Tanjung Priok. Di daerah inilah ia kemudian pernah berkenalan serta bergumul dengan pikuk erotisme malam malam di Kramat Tunggak, lokalisasi seks populer di Jakarta, yang kini telah disulap menjadi Islamic Centre (JIC).
Dian bekerja sebagai tukang parkir dan keamanan di lokalisasi Kramat Tunggak sejak tahun 1972. Kala itu, biaya parkir masih 100 perak. Keberadaan Kramat Tunggak kala itu sebenarnya diuntukkan pertama kali untuk rehabilitasi dengan nama "Teratai Harapan". Harapannya, agar para pelacur bisa dibina. Namun lama lama, karena tidak ada perhatian serius dari pemerintah, "Teratai Harapan" berubah fungsi menjadi lokalisasi mewah bisnis esek esek di Jakarta.
“Dulu daerah ini susah dijangkau,” kisah Dian.
Selain menjadi preman dan juru parkir, ia juga menjadi guide (pemandu) para lelaki hidung belang yang datang “bertamu”. Tugasnya memperkenalkan bos-bos yang datang dengan para pelacur melalui mucikari. Ia kemudian mencocok-cocokkan pilihan pelanggan yang datang.
Selama menjadi preman itu, Dian merasa kehidupannya sudah sangat glamor. Uang tidak pernah putus di kantong. Namun masalahnya, uangnya lekas sekali habis tanpa arti karena dipakai minum dan main judi.
“Walaupun serba cukup, tapi saya rasakan tidak ada enaknya,” katanya mengenang.
Ia mengisahkan, bersama sejumlah sejawatnya di lokalisasi itu, mabuk mabukan sudah menjadi tradisi dan dianggap sebagai bahasa pengantar wajib dalam setiap momentum. Baginya, kalau tidak minum, maka tidak dapat duit. Dan hal itu sudah menjadi semacam kesepakatan tak tertulis di antara mereka.
Karena kebiasaan buruk itu, bahkan ketika Kramat Tunggak telah ditutup dan ia telah bekerja di JIC tahun 2004, tradisi buruk itu masih berlanjut. Pernah bulan Ramadhan ia berfoya foya seenak hati. Akibatnya, empat hari menjelang lebaran, gaji yang sudah diterimanya di awal, ludes total.
Dalam keadaan miskin harta , Dian memberanikan diri pulang ke rumah. Ia disambut istrinya dan sempat menanyakan apakah ada uang untuk beli pakaian baru lebaran anak anak.
"Kok bapak masih mabuk aja, gak ada kapok kapoknya," cecar istrinya ketika itu. Dian beringsut, yang ia rasakan, kepalanya mau pecah saja.
"Saya juga bingung, saya juga mau berubah," begitu jawab Dian.
Setelah kejadian itu, Dian acap kali merenung. Tak jarang ia berfikir, salah apa dirinya kok tidak bisa berubah dan tidak bisa bertaubat.
Apalah daya, duit tak punya. Selama 3 hari setelah lebaran tahun itu, Dian tidak pulang ke rumah. Padahal jarak rumahnya dengan JIC hanya sepelemparan batu. Dian mengaku sangat malu kepada istri dan anak anaknya. Bersama sejumlah teman-teman dekatnya, saban malam ia tidur di bekas gedung milik Adi Karya yang berlokasi sekitar JIC.
Suatu malam, ia mendapatkan kejadian yang tak bisa lepas dari ingatannya. Saat itu, di malam ketiga, sekitar pukul 02:00 WIB, ia baru saja mabuk bungsa selasih. Dian tiba-tiba terjaga dari peraduannya dan berkomat-kamit menyebut asma Allah berjanji tidak akan merokok dan minum minum lagi.
Sejak peristiwa yang tak bisa dilaupakannya itu, Dian tidak pernah lagi merokok dan minum.
Kisah spiritual yang didapatkan Dian dilalui dengan beberapa kejadian-kejadian yang dialaminya. Pernah juga, saat sedang bekerja menjadi juru parkir, dari dalam Masjid JIC, Dian mendengar ustadz berceramah membahas tentang infaq.
“Setiap penghasilan kita ada hak orang lain 2,5 persen," ucap Dian menirukan kalimat yang menyentuh hatinya itu.
Siang itu, setelah mendengar ceramah itu, Dian pun berjanji dalam hati akan mengeluarkan infaq 25 ribu dari gajinya nanti.
“Alhamdulillah, tenyata benar benar ada perubahan,” imbuhnya.
Berkah Kehidupan
Menurut pengetahuan Dian, Kramat Tunggak ditutup bukan karena ada demo. Justru demo mulai marak dilakukan ketika menjelang penutupan saja pada tahun 1999. Dian memuji Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kala itu yang dinilai punya cara bagus menutup lokalisasi pelacuran tersebut.
“Beliau mengajak mediasi seluruh masyarakat. Gubernur datang memantau, mahasiswa datang meneliti. Mereka menasehati,” demikian kisah suami dari Juriyah ini.
Pada saat penggusuran terjadi, jelas Dian, dirinta sangat bersyukur. Bukan karena mendapat ganti rugi, tapi dia mengaku malah mendapat ganti untung. Yang sebelumnya tidak ada pekerjaan, kini ia bisa dapat pekerjaan tetap. Yang rumuahnya tergusur juga diganti.
Ketika lokalisasi ini ditutup oleh Gubernur Sutiyoso tahun 1999, pas juga menjelang Ramadhan. Sehingga kondisinya dinilai Dian, pas momennya. Semua orang pada tenang-tenang. Tidak ada keributan.
Kini, di luar kesibukannya, menjadi staf keamanan di JIC, Dian juga aktif menjadi pendidik dan guru untuk anak anaknya. Sebagai orangtua, Dian mengaku tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada anak anak. Dia bersyukur, sebab anak-anaknya baik-baik saja, tidak ada yang merokok, apalagi minum-minuman keras. Mereka juga sudah mengerti tentang latar belakang ayahnya.
Dalam membina anak-anaknya, Dian mengaku biasa melakukan sharing dengan istri tercintanya. Banyak hal yang mereka bicarakan tentang anak-anak mereka.
“Biasanya menjelang tidur, atau sebelum berangkat kerja,” papar pria yang gemar membaca ini.
Berhasilnya ia lepas dari jerat hitam Kramat Tunggak masa lalu, membuat Dian tak dapat membahasakan kesyukuran. Sudah lebih 10 tahun ini ia mengaku mendapatkan ketentraman hidup dan berumah tangga yang lebih baik sehingga bisa mengarahkan anak anak dan keluarga.
“Prinsip saya dalam mendidik, kita laksanakan dulu sebelum kita sampaikan nasehat kepada anak,” katanya.
Dian menceritakan, saat masih menjadi perokok berat, rutin pengeluarannya untuk biaya asap beracun dan kopi setiap bulannya tidak kurang dari Rp 400 ribu. Hebatnya, setelah berhenti, Dian justru bisa beli motor dengan cicilan selama 3 tahun saja. Pada tahun 2010 lalu, ia bahkan membeli rumah di Cikarang, Bekasi.
“Semua berawal dari berhenti merokok,” katanya.
“Saya seperti orang yang tercebur kemudian dimandikan. Alhamdulillah, kami bisa membersihkan diri di tempat dulu kami main kotor kotor,” ungkapnya, berkaca kaca.
Sekarang Dian sadar betul, bahwa jika mau menemukan ketentraman dan kebahagiaan adalah dengan mengikuti aturan dan tidak melanggar fitrah kemanusiaan.
Kini kakek yang sudah punya 1 orang cucu ini hidup bahagia di dekat masjid JIC bersama istri, keenam orang anaknya, dan Titin Kartina, ibundanya tercinta. * AC/hidayatullah.com