Senin, 28 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Juli 2010 10:13 wib
6.828 views
Sunni-Syiah di Dunia Arab Kehilangan Ulama Bijak
Jejak langkahnya diharap para penerusnya agar para musuh dari luar tidak memanfaatkan perpecahan Sunni-Syiah
Oleh Musthafa Luthfi*
PADA Selasa (6/7) umat Islam di Libanon mengantar tokoh Syiah terkemuka negeri itu dan dunia Arab pada umumnya, Sayyid Mohammad Hussein Fadhlallah ke tempat peristirahatan terakhir. Umat Islam di negeri itu dan bangsa Arab pada umumnya merasa kehilangan seorang pemersatu dan pendukung kuat perlawanan terhadap zionisme.
Umat Islam dari kalangan Sunni di dunia Arab mungkin merasa lebih kehilangan dibandingkan kaum Syiah dikarenakan sikap dan pendirian sang ulama dan marji`(otoritas fiqih) bijak ini yang dikenal anti terhadap perpecahan mazhab. Ia dikenal dengan semboyan "marilah kita bersatu dibawah naungan Allah daripada berpecahbelah atas nama Allah."
Sejak kemunculannya sebagai marji' Syiah utama di Libanon dan dunia Arab, tokoh bijak ini tidak pernah terlibat dalam perseteruan antar golongan lebih-lebih antara Sunni-Syiah. Karenanya tidak mengherankan bila, ketokohannya sebagai ulama terkemuka bukan hanya di kalangan kaum Syiah tapi kalangan umat Islam pada umumnya.
Salah satu pendirian Hussein Fadhallah yang tidak mungkin dilupakan kaum Sunni dan akan selalu tercatat dengan tinta emas sepanjang sejarah adalah pendirian tegasnya menyangkut Ummul Mu`minin (para ibu kaum Mu`min/para istri Nabi SAW) dan para sahabat. Ia dengan tegas mengharamkan pengutukan atas Ummul Mu`minin dan atas sebagian sahabat Nabi.
Karenanya, tak aneh bila situs Islam terkemuka, islamonline.net menyebutnya saat mengomentari kematian sang ulama Syiah ini sebagai ulama Syiah pertama yang berani menfatwakan hal tersebut. Masih menurut situs ini, mungkin dialah ulama Syiah yang dengan berani mengingkari riwayat yang menyebutkan bahwa Umar Bin Khattab radhiallahu anhu pernah memukul putri Baginda Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra.
Pendirian Al-Allamah Fadhlallah yang membuatnya sebagai salah satu tokoh pemersatu umat Islam menurut islamonline adalah penolakannya terhadap Al-Qur`an Fatimah dan mengakui Al-Qur`an yang dicetak di kota Madinah, Arab Saudi serta menolak setiap perkara yang bertentangan dengan Al-Qur`an cetakan Saudi tersebut.
Lebih dari itu, ulama kharismatik ini juga mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Usman radhiallahu anhum sambil menegaskan bahwa sayyidina Ali adalah salah seorang penasehat mereka dan pembantu meraka. Dia juga menolak taqdis (pengkudusan/pensucian) para Iman di kalangan Syiah dan menolak bahwa mereka mengetahui tentang hal-hal ghaib.
Itulah beberapa pendirian sang ulama bijak itu yang membuatnya demikian dicintai di kalangan kaum Sunni sehingga kepergiannya dari alam fana ini bukan saja kehilangan besar bagi saudara seiman dari kaum Syiah, namun bahkan kaum Sunni merasa lebih kehilangan. Sayyid Fadhlallah juga menolak pembentukan Dewan Tinggi Syiah di Libanon karena ia hanya menginginkan pembentukan Dewan Islam yang menyatukan Sunni dan Syiah.
Pendirian sang marji` Syiah ini yang bersebrangan dengan para marji` Syiah umumnya menyebabkannya ia disebut sebagai mujaddid (pembaharu). Pendirian ini merupakan unsur utama menuju keutuhan kesatuan Sunni-Syiah di dunia Arab sehingga tidak dapat dimanfaatkan musuh sebagai sarana memecah belah umat.
Salah seorang kolumnis Arab, Habib Al-Asoud mengisahkan bahwa beberapa orang tangan kanannya pernah menjelaskan tentang usaha-usaha untuk memperkuat posisi Syiah. Namun Al-Allamah Fadhlullah mengingatkan mereka agar mengusahakan cara yang terbaik untuk berdedikasi sepenuhnya kepada umat Islam.
“Karena itu, tidak berlebihan bila kepergiannya adalah kerugian besar bagi Syiah dan Sunni secara bersamaan karena dialah ulama sebagai unsur penentu utama taqaarub (pendekatan) kedua mazhab ini, sumber kebijaksanaan, tidak seperti sebagian ulama lainnya yang sering memunculkan perpecahan antar mazhab,” papar sang kolumnis.
Editor senior TV CNN, Octavia Nasr juga tidak kuasa menahan rasa kekagumannya terhadap tokoh Syiah yang meninggal Ahad (4/7) itu sehingga ia menuliskan rasa kagum tersebut di jejaring sosial Twitter. Meskipun, goresan kekaguman tersebut menyebabkan ia akhirnya kehilangan pekerjaan sebagai wartawati senior di salah satu TV paling berpengaruh di AS itu.
Bapak Spiritual perlawanan
Ulama Syiah yang menjadi marji` independen (terpisah dari marji` di Iran) ini lahir di kota Najef Al-Ashraf, Iraq tempat sang ayah menuntut ilmu saat itu, pada 5 Sya`ban 1354 H atau 2 Nopember 1935. Di kota suci kaum Syiah itulah ia besar dan menuntut ilmu dan dikenal sebagai salah seorang murid menonjol karena penguasaannya terhadap disiplin ilmu yang ditekuninya.
Sang ayah, Ayatullah Al-Sayyid Abdul Raouf Fadhlallah berasal dari daerah pegunungan di utara Libanon dan bermigrasi serta menetap di kota Najef cukup lama untuk belajar dan mengajar disana mengingat Najef saat itu dikenal sebagai salah satu pusat keilmuan terkemuka di Arab.
Pada 1966 ia kembali ke Libanon, daerah asalnya untuk mengamalkan ilmunya. Setelah berada di kembali di negeri asalnya, dakwah yang disampaikan tidak hanya sebatas dakwah teoritis namun dibarengi pula dengan dakwah secara praktisi termasuk melalui pelayanan sosial seperti pendirian rumah sakit, klinik, panti asuhan dan masjid.
Ketika perang saudara berkecamuk di Libanon, ia pindah ke wilayah selatan negeri itu. Disana ia melanjutkan dakwah dan mendirikan sejumlah panti asuhan, klinik dan masjid. Di tempat inilah ia melakukan penggemblengan terhadap kaula muda negeri itu akan pentingnya perlawanan menghadapi penindasan kaum zionis.
Karenanya, meskipun ia secara struktural tidak duduk dalam jabatan tertentu dalam organisasi perlawanan Hizbullah di Libanon Selatan, namun dia dianggap sebagai bapak spiritual perlawanan menghadapi penjajahan zionisme. Pengalaman di bidang dakwah, sosial dan pelayanan kepada kaum dhua`afa selama 50 tahun menjadikannya sebagai referensi bagi Hizbullah hingga akhir hayatnya.
Tentang jiwa perlawanannya terhadap zionisme ini, harian Al-Quds Senin (5/7) memberitakan bahwa ketika sempat siuman menjelang beberapa saat sebelum dijemput maut, seorang suster yang merawatnya bertanya tentang permintaan terakhirnya. Sheikh Fadhlullah hanya menjawab "saya hanya ingin melihat eksistensi zionisme musnah."
Maka tidak aneh bila ulama terkemuka Syiah ini termasuk daftar yang paling dibenci zionis Israel sehingga semasa hidupnya telah beberapa kali mengalami usaha pembunuhan. Paling tidak sebagian dari harapannya telah terwujudnya yakni enyahnya pasukan pendudukan zionis dari Libanon Selatan pada bulan Mei 2000.
Dari perjalanan hidup sang ulama Syiah yang anti fanatik golongan itu, yang paling penting dicatat bagi umat Islam kawasan ini adalah pendiriannya yang teguh untuk menyatukan Sunni-Syiah bagi kejayaan umat Islam dengan melepaskan baju golongan yang dapat membawa perpecahan. Satu lagi, keberaniannya untuk mengoreksi pendapat yang dianggapnya tidak tepat seperti tradisi kecaman terhadap sebagian sahabat dan Ummul Mu`minin serta ke-maksuman (kesucian) imam yang tentunya sangat besar pengaruhnya untuk mempersempit kesenjangan dua golongan mazhab terbesar umat Islam ini.
Memang tak dapat dipungkiri, kepergian ulama bijak ini terjadi pada saat upaya musuh untuk makin menjauhkan kesenjangan antara syiah dan Sunni sedang berlangsung demikian dahsyat. Tidak mudah menemui ulama Syiah sekaliber Al-Allamah Fadhlullah saat ini yang telah membuktikan upayanya, baik dengan ucapan dan tindakan bagi terciptanya kesatuan umat Islam dari unsur Sunni dan Syiah.
Diharapkan jejak langkahnya akan mengilhami para penerusnya agar para musuh dari luar tidak memanfaatkan perpecahan Sunni-Syiah untuk melakukan hegemoni di dunia Arab dan Timur Tengah pada umumnya. [Sana`a, 28 Rajab 1431 H/hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!